Selasa, 15 November 2016

PBNU: Definisi dan Standar Penistaan Agama Tak Jelas


Ribuan massa melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, 4 November 2016. Dalam aksinya mereka menuntut dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diusut tuntas. FOTO: BeritaSatu Photo/Danung Arifin
Ribuan massa melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, 4 November 2016. Dalam aksinya mereka menuntut dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diusut tuntas. FOTO: BeritaSatu Photo/Danung Arifin

Jakarta - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), Rumadi Ahmad menilai tuduhan melakukan penodaan, penghinaan atau penistaan agama tidak jelas definisi dan standarnya.
Karena itu, tuduhan penodaan agama bisa dikenakan kepada siapa saja yang dianggap memusuhi Tuhan, melawan dogma agama, mempromosikan pemikiran-pemikiran yang dianggap merusak agama, bahkan orang yang dianggap meresahkan orang lain.
"Orang yang melakukan penodaan agama tidak perlu mempunyai intensi melakukan penghinaan terhadap Islam. Jika yang dilakukan itu dianggap meresahkan masyarakat, orang tersebut bisa dituduh melakukan penodaan agama," ujar Rumadi dalam diskusi Institute Demokrasi bertajuk "Penodaan Agama dan Penebaran Ujaran Kebencian dalam Perspektif HAM" di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (15/11).
Selain Ismail, hadir juga sebagai Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, Senior Advisor HRWG Choirul Anam dan Direktur Imparsial Al Araf.
Karena ketidakjelasan itu, kata Rumadi, tuduhan penodaan agama menjadi rentan penyalahgunaan oleh siapapun yang mempunyai otoritas politik, baik politik formal maupun non-formal.
"Tuduhan penodaan agama seringkali beririsan dengan manipulasi politik. Berbagai aksi penyerangan terhadap orang yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam sering tidak terjadi secara spontan, tetapi hasil dari manipulasi politik yang dilakukan secara sadar untuk membangkitkan semangat permusuhan," terang dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan proses hukum kasus penistaan agama biasanya akan mengikuti tekanan dan tuntutan dari masyarakat. Menurut dia, jarang kasus penistaan agama diproses hukum secara obyektif.
"Penegakan hukum terkait penodaan dan penistaan agama itu mulai dari zaman dulu hingga sekarang, selalu subyektif dan penegak hukum biasanya mengikuti selera serta tuntutan dari massa yang mempermasalahkan itu," katanya.
Rumadi mencontohkan proses hukum proses Lia Aminuddin alias Lia Eden dan Ki Pandjikusmin yang menuangkan pikirannya dalam buku berjudul Langit Makin Mendung. Dalam buku tersebut sangat jelas dan vulgar penodaan agama yang dibungkus dalam karya sastra.
"Bisa jadi kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok (Basuki T. Purnama) ini diproses karena ada desakan dan tuntutan massa. Sehingga timbul tuntutan penegakan hukum," ungkap dia
Yustinus Paat/CAH
BeritaSatu.com:
=============

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama

MUI Ajukan Praperadilan jika Ahok Tak Bersalah





Selasa, 15 November 2016 | 07:57
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (twitter)
Jakarta - Tim advokasi pandangan dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengajukan gugatan praperadilan jika pada gelar perkara kasus dugaan penistaan agama dinyatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bersalah.
"Kalau polisi dalam kesimpulan gelar perkaranya berpandangan bahwa tidak ditemukan dugaan penistaan dan penodaan agama, kami akan lawan dengan mekanisme hukum, yaitu mengajukan praperadilan," kata Koordinator Tim Advokasi MUI Ahmad Yani dalam konferensi pers di Gedung MUI Jakarta, Senin (14/11).
Ahmad mengatakan Tim Advokasi MUI akan mengawal seluruh proses hukum yang sedang berjalan terkait dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok.
Menurut dia, MUI menghormati sikap Polri untuk melakukan gelar perkara yang berlangsung pada esok (15/11), namun pihaknya tidak memperkenankan disiarkan secara langsung oleh media.
Melalui gelar perkara ini, penyidik akan memutuskan tentang kemungkinan adanya unsur pidana dalam kasus tersebut dan jika ada maka kasus ini akan dilanjutkan ke proses penyidikan.
Dari pandangan tim advokasi yang saat ini memiliki 481 anggota tersebut, kepentingan gelar perkara tidak diperlukan karena kasus ini sudah memenuhi unsur-unsur pidana.
"Pandangan kami ada atau tidak gelar perkara, kasus ini sudah memenuhi unsur pidana. Itu (gelar perkara) hak kepolisian, silakan saja," ujar Ahmad.
Ia pun juga meminta perwakilan dari tim advokasi MUI untuk diikutsertakan dalam gelar perkara tertutup yang akan dilakukan di Gedung Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri esok hari.
Dalam gelar perkara tersebut, Polri telah mengundang 20 saksi ahli untuk turut hadir, sementara perwakilan dari berbagai instansi dan lembaga terkait juga diundang.
Para saksi ahli nantinya secara bergiliran akan memberikan pandangannya sesuai bidang keahlian masing-masing.
Gelar perkara tersebut akan dipimpin oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.
/JAS
ANTARA
========

Gelar Perkara Kasus Ahok, Munarman Tak Boleh Masuk





Selasa, 15 November 2016 | 10:21
Suasana gelar perkara kasus Ahok di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Selasa 15 November 2016. Gelar perkara dipimpin Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto.
Suasana gelar perkara kasus Ahok di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Selasa 15 November 2016. Gelar perkara dipimpin Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto. (Antara)
Jakarta- Gelar perkara kasus dugaan penistaan agama sesuai pasal 156a KUHP yang melibatkan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok digelar di Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/11). Tak semua yang hadir diperkenankan masuk ke dalam acara yang dihadiri pelapor/terlapor, saksi ahli, dan dipimpin Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto itu.
Salah satu yang ditolak masuk adalah pelapor bernama Gus Joy Setiawan dan Panglima Laskar Umat Islam yang juga jubir Front Pembela Islam (FPI) Munarman. "Saya tidak boleh masuk karena saya tidak dapat undangan. Padahal saya sudah di BAP (berita acara pemeriksaan) pada 17 September kemarin," kata Joy.
Begitu pun Munarman sebagai kuasa hukum salah satu pelapor yang tidak dizinkan masuk. Padahal berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) 4/2014, tegas Munarman, pelapor kedua belah pihak atau kuasa hukumnya dibolehkan masuk. "Ini ada dari GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia) dan pelapor dari Palembang juga gak boleh masuk," tambah Munarman.
Dari 13 pelapor, menurut Munarman, yang dibolehkan masuk hanya lima pelapor. "Ini permainan, sandiwara, dan pura-pura dengan tindakan ini. Polisi sudah seperti kuasa hukum terlapor dan berlagak pengadilan untuk putuskan ini obstruction of justice, menghalang-halangi proses peradilan," kata Munarman.
Munarman sendiri muncul di Mabes Polri sekitar jam 09.00 WIB.
Farouk Arnaz/WBP
BeritaSatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar