Korban penculikan aktivis 1998 tidak satu suara dalam Pilpres 2019. Mereka saling tuding soal keterlibatan Prabowo Subianto.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) menyapa pendukungnya saat menghadiri silaturahmi dengan pengusaha Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (22/12/2018). ANTARA FOTO/Moch Asim/aww. |
tirto.id - Sejumlah aktivis 1998 pada Rabu, 13 Maret 2019 mendeklarasikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Alasannya, mereka tak ingin Prabowo Subianto yang dituding terlibat penculikan aktivis menjadi pemimpin di negeri ini.
Dalam konferensi pers di Hotel Grand Cemara Menteng, Jakarta Pusat, hadir sejumlah aktivis yang pernah diculik dan akhirnya kembali, seperti Mugiyanto, Faisol Riza, dan Aan Rusdianto.
Beberapa keluarga korban penculikan yang belum ditemukan hingga saat ini, seperti Wahyu Susilo, adik Widji Thukul juga hadir. Selain itu, Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, orang tua dari Gilang, Suyat, dan Petrus Bimo Anugrah juga hadir deklarasi.
Mugiyanto, salah satu aktivis yang ikut diculik pada 1998, mengatakan salah satu alasan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019 karena tak ingin membiarkan Prabowo, yang terindikasi menjadi dalang penculikan, menjadi pemimpin Indonesia.
“Salah satu capres, nomor 02 adalah yang secara langsung terkait dengan peristiwa yang kami alami. Waktu itu Prabowo adalah Danjen Kopassus dan kemudian diberhentikan secara tidak terhormat,” kata Mugiyanto saat konferensi pers.
Mugiyanto tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) yang terbentuk pada 1998.
Organisasi itu dibentuk dengan maksud untuk mencari kebenaran dan keadilan terhadap para korban. Menurut Mugiyanto, dokumen-dokumen yang dimiliki oleh IKOHI menyebutkan pelaku penculikan adalah Kopassus yang dipimpin Prabowo Subianto.
"Kami tidak ingin. Kami tidak punya bayangan bahwa pelaku pelanggaran HAM, pelaku penculikan yang belum mempertanggungjawabkan kesalahannya secara hukum, dipilih menjadi presiden. Kami tidak bisa membayangkan dipimpin oleh dia,” kata dia.
Namun, tak semua aktivis 1998 yang pernah diculik berada di kubu 01. Beberapa justru bersebrangan dan mendukung capres-cawapres nomor urut 02. Mereka antara lain: Desmon Junaidi Mahesa, Viva Yoga, Habiburokhman, hingga politikus Partai Demokrat Andi Arief.
Faisol Reza, aktivis 1998 yang saat ini menjadi politikus PKB, mengatakan tak masalah teman-teman seperjuangannya pada reformasi 1998 itu merapat ke orang yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis mahasiswa.
“Ya bagus, bagus-bagus saja. Mereka punya sikap dan pandangan. Punya kesimpulan terhadap kasus-kasus yang pernah mereka alami. Bagus-bagus aja," kata Faisol saat ditemui wartawan Tirto, Rabu kemarin.
Ia justru percaya bahwa teman-temannya sesama aktivis yang sekarang berada di kubu Prabowo, masih memiliki hati dan nurani untuk membantu para keluarga korban yang hingga saat ini belum menemui korban yang hilang.
“Saya pribadi, merasa kalau ditanyakan kepada hati nurani dan sanubari mereka, pasti mereka melakukan itu hanya untuk membantu agar kasus ini terselesaikan. Jadi mungkin mereka ke sana, ini menurut saya, itu untuk membantu kami membongkar dari dalam. Kira-kira itu. Tetap sama-sama niatnya," kata Faisol.
Habiburokhman, aktivis 1998 yang saat ini merupakan politikus Partai Gerindra, menanggapi ucapan Faisol Reza. Ia menilai Prabowo tak pernah terlibat dalam penculikan, seperti yang dituding orang-orang selama ini.
"Lebih baik mereka tagih saja janji Jokowi untuk selesaikan kasus-kasus dugaaan pelanggaran HAM berat yang selama ini mangkrak, daripada bersikap tendensius kepada kami," kata Habiburokhman saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (14/3/2019) sore.
Ia mempertanyakan apa saja yang sudah dilakukan Jokowi selama satu periode terakhir dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Habiburokhman mengatakan heran mengapa kubu 01 baru mengungkit-ungkit kasus penculikan aktivia 1998 menjelang Pilpres 2019.
Padahal, kata Habiburokhman, para aktivis tersebut dekat dengan kekuasaan yang memungkinkan menyelesaikan kasus lebih cepat.
“Jangan sampai kasus-kasus pelanggaran HAM justru dijadikan komoditas politik tiap jelang Pemilu. Saat ini pun mereka harusnya bisa ultimatum Jokowi untuk selesaikan, kan, Jokowi masih presiden aktif. Tapi, kok, isu HAM seolah hanya jadi alat kampanye?" kata dia mempertanyakan.
Mengenai kasus penculikan 1998, Andi Arief, politikus Partai Demokrat yang namanya mencuat di media sosial beberapa waktu terakhir, mengaku punya "perjanjian khusus" dengan Prabowo Subianto ihwal penyelesaian kasus.
"Saya punya teori sendiri soal kasus penculikan. Pak Jokowi tidak tepati janji 2014 selesaikan kasus ini. Saya sudah berkomunikasi dengan Pak Prabowo: 'satu jam setelah ditetapkan pemenang Pilpres, dia akan mencocokkan fakta dan menjelaskan apa adanya dan sekaligus solusinya,'" kata Andi Arief, lewat akun Twitter-nya, Selasa, 12 Maret 2019.
Dalam konferensi pers di Hotel Grand Cemara Menteng, Jakarta Pusat, hadir sejumlah aktivis yang pernah diculik dan akhirnya kembali, seperti Mugiyanto, Faisol Riza, dan Aan Rusdianto.
Beberapa keluarga korban penculikan yang belum ditemukan hingga saat ini, seperti Wahyu Susilo, adik Widji Thukul juga hadir. Selain itu, Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, orang tua dari Gilang, Suyat, dan Petrus Bimo Anugrah juga hadir deklarasi.
Mugiyanto, salah satu aktivis yang ikut diculik pada 1998, mengatakan salah satu alasan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019 karena tak ingin membiarkan Prabowo, yang terindikasi menjadi dalang penculikan, menjadi pemimpin Indonesia.
“Salah satu capres, nomor 02 adalah yang secara langsung terkait dengan peristiwa yang kami alami. Waktu itu Prabowo adalah Danjen Kopassus dan kemudian diberhentikan secara tidak terhormat,” kata Mugiyanto saat konferensi pers.
Mugiyanto tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) yang terbentuk pada 1998.
Organisasi itu dibentuk dengan maksud untuk mencari kebenaran dan keadilan terhadap para korban. Menurut Mugiyanto, dokumen-dokumen yang dimiliki oleh IKOHI menyebutkan pelaku penculikan adalah Kopassus yang dipimpin Prabowo Subianto.
"Kami tidak ingin. Kami tidak punya bayangan bahwa pelaku pelanggaran HAM, pelaku penculikan yang belum mempertanggungjawabkan kesalahannya secara hukum, dipilih menjadi presiden. Kami tidak bisa membayangkan dipimpin oleh dia,” kata dia.
Namun, tak semua aktivis 1998 yang pernah diculik berada di kubu 01. Beberapa justru bersebrangan dan mendukung capres-cawapres nomor urut 02. Mereka antara lain: Desmon Junaidi Mahesa, Viva Yoga, Habiburokhman, hingga politikus Partai Demokrat Andi Arief.
Faisol Reza, aktivis 1998 yang saat ini menjadi politikus PKB, mengatakan tak masalah teman-teman seperjuangannya pada reformasi 1998 itu merapat ke orang yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis mahasiswa.
“Ya bagus, bagus-bagus saja. Mereka punya sikap dan pandangan. Punya kesimpulan terhadap kasus-kasus yang pernah mereka alami. Bagus-bagus aja," kata Faisol saat ditemui wartawan Tirto, Rabu kemarin.
Ia justru percaya bahwa teman-temannya sesama aktivis yang sekarang berada di kubu Prabowo, masih memiliki hati dan nurani untuk membantu para keluarga korban yang hingga saat ini belum menemui korban yang hilang.
“Saya pribadi, merasa kalau ditanyakan kepada hati nurani dan sanubari mereka, pasti mereka melakukan itu hanya untuk membantu agar kasus ini terselesaikan. Jadi mungkin mereka ke sana, ini menurut saya, itu untuk membantu kami membongkar dari dalam. Kira-kira itu. Tetap sama-sama niatnya," kata Faisol.
Mereka yang Segaris dengan Prabowo
Habiburokhman, aktivis 1998 yang saat ini merupakan politikus Partai Gerindra, menanggapi ucapan Faisol Reza. Ia menilai Prabowo tak pernah terlibat dalam penculikan, seperti yang dituding orang-orang selama ini.
"Lebih baik mereka tagih saja janji Jokowi untuk selesaikan kasus-kasus dugaaan pelanggaran HAM berat yang selama ini mangkrak, daripada bersikap tendensius kepada kami," kata Habiburokhman saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (14/3/2019) sore.
Ia mempertanyakan apa saja yang sudah dilakukan Jokowi selama satu periode terakhir dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Habiburokhman mengatakan heran mengapa kubu 01 baru mengungkit-ungkit kasus penculikan aktivia 1998 menjelang Pilpres 2019.
Padahal, kata Habiburokhman, para aktivis tersebut dekat dengan kekuasaan yang memungkinkan menyelesaikan kasus lebih cepat.
“Jangan sampai kasus-kasus pelanggaran HAM justru dijadikan komoditas politik tiap jelang Pemilu. Saat ini pun mereka harusnya bisa ultimatum Jokowi untuk selesaikan, kan, Jokowi masih presiden aktif. Tapi, kok, isu HAM seolah hanya jadi alat kampanye?" kata dia mempertanyakan.
Mengenai kasus penculikan 1998, Andi Arief, politikus Partai Demokrat yang namanya mencuat di media sosial beberapa waktu terakhir, mengaku punya "perjanjian khusus" dengan Prabowo Subianto ihwal penyelesaian kasus.
"Saya punya teori sendiri soal kasus penculikan. Pak Jokowi tidak tepati janji 2014 selesaikan kasus ini. Saya sudah berkomunikasi dengan Pak Prabowo: 'satu jam setelah ditetapkan pemenang Pilpres, dia akan mencocokkan fakta dan menjelaskan apa adanya dan sekaligus solusinya,'" kata Andi Arief, lewat akun Twitter-nya, Selasa, 12 Maret 2019.
(tirto.id - Politik)
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz
sumber: https://tirto.id/baku-tuding-aktivis-1998-soal-prabowo-terlibat-kasus-penculikan-djwY
Fachrul Razi: Cerita Agum Soal Prabowo dan Penculikan Itu Benar
Kamis, 14 Maret 2019 06:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi membenarkan cerita Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar mengenai calon presiden Prabowo Subianto sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan 1998. "Apa yang disampaikan Pak Agum dalam video (yang beredar) itu benar adanya," ujar Fachrul kepada Tempo pada Rabu malam, 13 Maret 2019.
Fachrul yang saat itu menjabat Wakil Ketua DKP mengonfirmasi bahwa ia dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu termasuk yang turut menandatangani surat keputusan yang berakhir pada pemecatan Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus saat itu.
Pernyataan Agum yang dimaksud Fachrul Razi yakni;
(Terpotong di bagian awal) Subagyo HS waktu itu KSAD, anggotanya ada tujuh orang, letjen-letjen bintang-bintang tiga, karena yang diperiksa bintang tiga. Termasuk di dalamnya almarhum Letjen Arie J. Kumaat, Letjen Yusuf Karta (Kartanegara), Letjen Djamari Chaniago, Letjen Fachrul Razi, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen Agum Gumelar. Itulah anggota DKP. Tugasnya adalah memeriksa kasus ini, kasus pelanggaran HAM berat.
Berjalanlah DKP, bekerjalah DKP sebulan lebih memeriksa yang namanya Prabowo Subianto. Dari hasil pemeriksaan ternyata didapat fakta bukti nyata bahwa dia telah melakukan pelanggaran HAM berat. Saya di samping anggota DKP saya mantan Danjen Kopassus. Tim Mawar yang melakukan penculikan itu bekas anak buah saya semua itu. Saya juga pendekatan dari hati ke hati dengan mereka, di luar kerjaan DKP, karena dia bekas anak buah saya toh.
Ketika dari hati ke hati dengan mereka, di sinilah saya tau di mana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya saya tahu detail, gitu lho. Jadi DKP dengan hasil temuan seperti ini merekomendasikan kepada Panglima TNI, rekomendasinya apa? Dengan kesalahan terbukti, direkomendasikan agar supaya yang bersangkutan diberhentikan dari dinas militer. Tanda tangan semua. Subagyo HS tanda tangan, Agum Gumelar tanda tangan, SBY tanda tangan, semua tanda tangan.
Pengakuan dalam rekaman video ini beredar di media sosial. Tempo masih berusaha meminta konfirmasi dan wawancara lebih lanjut dengan Agum Gumelar mengenai hal ini.
DKP dibentuk untuk menyelidiki kasus penculikan aktivis 98 yang diduga dilakukan atas perintah Danjen Kopassus Letjen TNI Prabowo. DKP saat itu dipimpin Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Subagyo HS. Surat keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998. Dalam empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. TindakanPrabowo disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI AD, ABRI, bangsa, dan negara.
Mengenai pengakuan Agum yang mengatakan tahu detail di mana mati dan hilangnya korban penculikan dan penghilangan aktivis 98, Fachrul mengaku tidak tahu. "Saat itu kami lebih fokus pada penyelamatan korban-korban yang masih bisa diselamatkan," ujar Fachrul Razi.
Pernyataan Agum Gumelar Soal Penculikan Aktivis Beralasan
Kamis, 14 Maret 2019 08:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Inisiator Bravo 5 kubu calon presiden Jokowi - Ma’ruf Amin, Luhut Pandjaitan menilai pernyataan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Agum Gumelar mengenai pelanggaran HAM berat yang dilakukan calon presiden Prabowo Subianto bukan omong kosong. Menurut Luhut, ungkapan yang disampaikan purnawirawan jenderal TNI itu berdasar alasan yang kuat.
"Pak Agum ngomong pasti ada alasannya," kata Luhut saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu petang, 13 Maret 2019. Meski demikian, mantan Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat ini enggan berkomentar lebih jauh.
Jenderal TNI (purn) Agum Gumelar menghebohkan media sosial dengan kisahnya yang beredar lewat sebuah video baru-baru ini. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo ini membeberkan kesalahan calon presiden Prabowo Subianto sebagai pelaku pelanggaran HAM berat.
Agum adalah salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidangkan Prabowo Subianto. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus sebelum Prabowo ini mengaku bicara dari hati ke hati dengan anggota Tim Mawar, tim yang kemudian diketahui publik menculik dan menghilangkan aktivis 1997/1998, mantan bekas anak buahnya. "Ketika dari hati ke hati (bicara) dengan mereka, di situlah saya tahu di mana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya, saya tahu detail," kata Agum dalam sebuah video yang diunggah Ulin Niam Yusron di akun Facebooknya, Ahad, 10 Maret 2019.
Sambil duduk di dalam mobil Lexus LX 570 bernomor polisi R1 19, Luhut hanya tersenyum ketika dimintai pendapatnya soal narasi penculikan aktivis 98 yang diceritakan Agum. Luhut juga hanya tersenyum kala dimintai keterangan soal sidang DKP yang menghadirkan Prabowo hingga membuatnya dipecat. "Kalau itu tanya saja Pak Agum," ujar Luhut.
Pengakuan Agum memantik sejumlah komentar kubu Prabowo. Kemarin, politikus Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan Agum Gumelar berpotensi dihukum. Menurut Ferdinand, pernyataan Agum justru menunjukkan bahwa anggota dewan pertimbangan presiden itu menyembunyikan informasi terkait kejahatan masa lalu yang ia ketahui.
Ferdinand juga mengkritik mantan Danjen Kopassus sebelum Prabowo itu melontarkan pernyataan yang kurang tepat. "Posisi Agum Gumelar sebagai Wantimpres mestinya dan tidak sepatutnya bicara tentang politik seperti ini."
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BUDIARTI UTAMI PUTRI
Minta Pemerintah Pastikan Status Orang Hilang 1998
Kamis, 14 Maret 2019 06:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diminta memastikan status orang hilang korban penculikan 1998. Permintaan itu datang dari keluarga ke-13 aktivis yang hilang kepada Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko di Binagraha, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2019.
Perwakilan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto menyampaikan, keluarga memerlukan kepastian apakah para aktivis yang hilang masih hidup atau sudah meninggal. "Apalagi kasus ini juga sudah ada rekomendasi dari Komnas HAM dan DPR,” kata Mugiyanto seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu malam, 13 Maret 2019.
Mugiyanto mewakili keluarga aktivis yang hilang menyampaikan tuntutan lainnya. Mereka meminta pemerintah segera menerbitkan dokumen resmi soal status kependudukan korban hilang.
Tuntutan berikutnya, yakni pemberian kompensasi kepada keluarga korban dengan menjamin biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan. Permintaan terakhir agar pemerintah mempercepat ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa. "Tinggal satu konvensi ini yang belum diratifikasi," ucap Mugiyanto.
Dalam kesempatan itu, Moeldoko berjanji bakal meneruskan tuntutan para keluarga orang hilangkorban penculikan 1998 itu kepada Presiden RI Joko Widodo
Kubu Prabowo: Agum Gumelar Tutupi Informasi Penculikan Aktivis
Rabu, 13 Maret 2019 14:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga, Ferdinand Hutahaean, mempertanyakan sikap Agum Gumelar soal lokasi kuburan aktivis yang dibunuh pada 1997/1998. Agum dianggap menyembunyikan informasi terkait kejahatan yang dia ketahui.
"Semestinya dia memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden Jokowi untuk mengadili perkara ini," kata Ferdinand kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2019.
Dalam sebuah video yang beredar, Agum Gumelar bicara tentang kesalahan Prabowo dalam penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998. Mantan atasan Prabowo itu mengaku tahu di mana para aktivis dihilangkan dan lokasi pembuangan mereka.
Agum Gumelar mengaku bicara dari hati ke hati dengan anggota Tim Mawar--tim yang diduga melakukan penculikan dan penghilangan paksa aktivis. "Ketika dari hati ke hati dengan mereka, di situlah saya tahu di mana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya, saya tahu detail," kata Agum dalam video yang diunggah Ulin Niam Yusron di akun Facebooknya, Ahad, 10 Maret 2019.
Ferdinand mengatakan, dalam konteks hukum pidana, Agum Gumelar bisa dihukum lantaran dianggap menutupi atau menyembunyikan informasi terkait kejahatan yang dia ketahui. Dia juga menilai Agum bicara isu basi yang kerap diulang saat pilpres dan tak etis dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
"Saya pikir Agum Gumelar sedang berbicara tentang isu basi yang sudah usang. Itu yang pertama. Yang kedua, posisi Agum Gumelar sebagai Wantimpres mestinya dan tidak sepatutnya bicara tentang politik seperti ini," kata Ferdinand.
Ferdinand mengatakan, seorang Wantimpres harusnya melontarkan hal-hal yang bijak. Jika ingin bicara politik, kata politikus Demokrat ini, Agum sebaiknya mundur dulu dari jabatannya sebagai Wantimpres.
Kubu Prabowo Menilai Agum Gumelar Tak Etis dan Bicara Isu Basi
Rabu, 13 Maret 2019 13:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga, Ferdinand Hutahaean, menyebut ucapan Agum Gumelar tentang pelanggaran HAM berat oleh Prabowo merupakan isu basi. Ferdinand juga menilai Agum berlaku tak etis bicara politik dalam posisinya sebagai Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo.Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean di Jalan Mega Kuningan Timur VII, Jakarta Selatan, Ahad, 9 September 2018. Partai Demokrat merayakan ulang tahun yang ke-17, bertepatan dengan ulang tahun ke-69 Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. TEMPO/Budiarti Utami Putri. |
"Saya pikir Agum Gumelar sedang berbicara tentang isu basi yang sudah usang. Itu yang pertama. Yang kedua, posisi Agum Gumelar sebagai Wantimpres tidak sepatutnya bicara tentang politik seperti ini," kata Ferdinand kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2019.
Ferdinand mengatakan, seorang Wantimpres harusnya melontarkan hal-hal yang bijak. Jika ingin bicara politik, kata politikus Demokrat ini, Agum sebaiknya mundur dulu dari jabatannya sebagai Wantimpres.
Sebelumnya, beredar video Agum Gumelar dalam sebuah forum berbicara tentang kesalahan Prabowo dalam penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998. Agum merupakan salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira yang ikut menyidangkan Prabowo, hingga akhirnya pendiri Partai Gerindra itu diberhentikan dari militer.
Menurut Agum, semua anggota DKP ketika itu menandatangani pemberhentian Prabowo. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus sebelum Prabowo itu juga mengklaim mengetahui di mana para aktivis dihilangkan dan lokasi pembuangan mereka.
Ferdinand juga mempertanyakan mengapa Agum tak menyampaikan informasi tersebut kepada Presiden Joko Widodo agar bisa ditindaklanjuti. Dia berujar, dalam konteks hukum pidana, Agum bisa dihukum lantaran dianggap menutupi atau menyembunyikan informasi terkait kejahatan yang dia ketahui. "Semestinya dia memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden Jokowi untuk mengadili perkara ini," kata dia.
SUMBER: https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4319767031418914363#editor/target=post;postID=5406038835711825393;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
Fahri Hamzah Tuding Manuver Agum Gumelar karena Takut Kalah Pilpres
Fahri menilai seluruh beban masa lalu tak perlu dijadikan permainan politik dan semua yang berasal dari masa lalu harus diselesaikan dalam satu mekanisme rekonsiliasi.
tirto.id - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menganggap pernyataan Agum Gumelar soal capres nomor urut 02 Prabowo Subianto didasari rasa kekhawatiran.
Fahri Hamzah. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma |
Fahri menilai bahwa anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo itu sedang berusaha menyelamatkan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Bagi Fahri, apa yang dilakukam Agum adalah contoh pihak yang sudah terdesak. Isu soal keterlibatan Prabowo Mei 1998 sebenarnya sudah sering disorot, tetapi Agum kembali mengungkit hal itu.
"Saya liat ini jurus terakhir aja udah enggak punya jurus lagi orang begitu. Kepepet, jadi gini ya kasiannya Pak Prabowo itu di fitnah," kata Fahri di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Menurut Fahri masalah Prabowo di Mei 1998 seharusnya tidak perlu diumbar lagi. Apalagi posisi strategis yang mempunyai kapasitas menyelesaikan kasus itu sudah dipantau oleh Jokowi sendiri. Penyelesaian kasus itu harusnya ada di tangan pemerintah.
"Seluruh beban masa lalu enggak perlu dijadikan permainan politik terus menerus. Semua yang berasal dari masa lalu harus diselesaikan dalam satu mekanisme rekonsiliasi," katanya.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azar juga menilai pernyataan Agum Gumelar yang mengatakan tahu persis tempat pembunuhan dan pembuangan Aktivis 98 adalah hal yang katrok alias kampungan.
Hal itu, kata Haris, karena isu tersebut selalu dilontarkan oleh kubu Joko Widodo (Jokowi) menjelang pemilihan presiden (pilpres) untuk menyerang lawan politiknya, Prabowo Subianto.
"Katro lah, katro. Lima tahun lalu juga ngomong kaya gitu, terus habis ngomong, begitu jagoannya [Jokowi] menang, mana? Kok tidak diselesaikan kasusnya," ujarnya kepada Tirto,Selasa (13/3/2019).
Direktur Lokataru Foundation itu juga menuturkan, jika memang salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu mengetahui peristiwa tersebut, mengapa selama ini diam saja.
Kemudian mengapa tak segera memberikan informasi tersebut ke Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Jika Agum tak memberikan informasi tersebut, ujar Haris, seharusnya Komnas HAM memanggil Agum untuk dimintai keterangan.
“Kenapa dia tahu tapi membiarkan, kalau dia tahu itu pelanggaran HAM berat. Dia kan bilang tahu kondisi korban kan, kan ada keluarga korban yang lagi nyari, anak dan suaminya yang hilang itu ada di mana, Komnas HAM mesti panggil dia," jelasnya.
(tirto.id - Politik)
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
RIVALITAS.
Add caption |
Agum Gumelar adalah orang yang ikut mengakhiri karier militer Prabowo. Kini ia pun hendak menghambat karier politik bekas menantu Soeharto itu.
tirto.id - Meski di masa Pilpres ada perbedaan, antara Agum Gumelar dan Prabowo Subianto Djojohadikusumo ada kesamaannya. Mereka sama-sama pernah dinas di baret merah, sama-sama pernah jadi orang nomor satu di korps baret merah, dan beberapa kesamaan lainnya. Agum Gumelar punya cerita mirip Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya menikahi anak jenderal yang pernah jadi orang nomor satu di akademi pencetak perwira ABRI.
Jika SBY menikahi putri Sarwo Edhi Wibowo, maka Agum menikahi putri Mayor Jenderal Ahmad Tahir. Menurut buku Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989: 438), Tahir adalah Gubernur Akademi Militer Nasional (AMN) dari 1966 hingga 1968 dan pernah menjadi Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Soal mertua, semua tahu Prabowo Subianto adalah menantu daripada Jenderal Soeharto.
Sudah menjadi fakta umum, karier militer Prabowo Subianto boleh dibilang gemilang dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apalagi di tahun-tahun terakhir Soeharto berkuasa. Dari 1996 hingga 1998, Prabowo Subianto berkali-kali naik bintangnya.
Prabowo—yang di tahun 1995 masih kolonel—pada paruh pertama 1998 sudah berpangkat letnan jenderal. Artinya, dalam tiga tahun itu, rata-rata setiap tahunnya dia naik satu bintang. Rekor Prabowo tersebut baru-baru ini sudah dipecahkan Jenderal Andika Perkasa, yang semua tahu adalah menantu Jenderal A.M. Hendropriyono.
“Kenaikan pangkat yang cepat dari anak saya itu sudah jelas mengundang ketidaksenangan bagi beberapa orang,” kata Sumitro, ayahanda Prabowo, seperti dikutip dalam Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000: 428).
Karier Agum tidak sesangar karier Prabowo. Menantu jenderal bukan jaminan seorang perwira akan meraih puncak. Agum bukan perwira yang dikenal sering jadi komandan pasukan. Dia kerap menjabat asisten intelijen, termasuk di Kopassus. Meski begitu, jabatan paling mentereng di baret merah pernah disandang Agum Gumelar dari 1993 hingga 1994, sebelum Prabowo menduduki jabatan itu pada 1996.
Sebelum Danjen Kopassus, Agum pernah jadi Direktur A Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan sebelumnya menjabat Komandan Korem Garuda Hitam di Lampung. Menurut Fenty Effendi dan Retno Kustiati dalam Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004), Lampung dianggap “daerah pelarian bagi orang-orang garis keras yang bersebrangan sikap dengan pemerintah. Diantaranya mereka yang terlibat peristiwa DI/TII” (hlm. 41).
Hendropriyono juga pernah mengisi jabatan yang diemban Agum itu pada akhir 1980-an. Ingat Hendropriyono di Lampung, orang bisa teringat tragedi Talangsari.
Baca juga: Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari
Simpatisan Musuh Orba vs Loyalis Orba
Agum Gumelar, seperti dicatat Fenty Effendi dan Retno Kustiati, adalah lulusan AMN tahun 1968. Dia termasuk lulusan yang cemerlang (hlm. 28-30). Prabowo Subianto dari generasi yang lebih muda dari Agum Gumelar. Prabowo juga dikenal sebagai taruna pintar, meski pernah tidak naik kelas. Prabowo masuk Akmil pada 1970 dan baru lulus pada 1974. Setelah lulus keduanya berdinas di korps baret merah, yang membuat mereka dikirim ke berbagai daerah konflik di Indonesia.Di masa Orde Baru, Prabowo termasuk jenderal mujur. Semua orang tentu mengaitkannya dengan sang mertua. Jika Prabowo loyal kepada Soeharto, dan juga Orde Baru, tentu saja itu bukan hal aneh. Di masa Orde Baru Agum dianggap jenderal yang tidak dekat dengan penguasa, bahkan tidak loyal kepada Soeharto. Agum setidaknya dianggap tidak “tegas” kepada musuh daripada Soeharto.
Ketika menjadi Danjen Kopassus, dalam rapat pimpinan ABRI, Agum menyebut, “kalau kita menganggap Megawati dan para pendukungnya musuh, kalau kita menganggap Gus Dur dan pengikutnya musuh, kalau kita menganggap kelompok petisi 50 musuh dengan pengaruh-pengaruhnya musuh, maka sesungguhnya kita kebanyakan musuh. Padahal falsafah Cina Sun Tzu, menyatakan bahwa seribu kawan masih kurang, satu musuh kebanyakan.”
Buntut dari ucapan itu tidak main-main. Bagaimanapun, Gus Dur, Megawati, juga Petisi 50 adalah musuh besar daripada Soeharto. Posisi Danjen Kopassus pun tidak awet padanya. Dalam hal ini Agum tidak sendiri. Jenderal lain yang seperti dirinya adalah A.M. Hendropriyono. Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) menyebut, Agum bersama Hendropriyono dianggap jenderal yang bersimpati kepada Megawati (hlm. 136-137).
Agum pun dibuang dari Jakarta. Dia dimutasi ke Medan, daerah di mana mertuanya terlibat Pertempuran Medan Area di tahun kelahiran Agum. Di sana dia dijadikan Kepala Staf Kodam Bukit Barisan, yang membawahi Sumatra belahan utara.
Seperti disebut Fenty Effendi dan Retno Kustiati (hlm. 57), Agum merasa jabatan itu seperti hukuman. Jabatan itu membuatnya terpisah dari istri, yang masih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dua anaknya. Ada yang memprediksi karier militer Agum mandek. Setelah di Medan, Agum menjadi staf ahli Panglima ABRI, yang kala itu dijabat Feisal Tandjung. Itu pun tidak lama.
Pada pertengahan 1996 Agum mendapat jabatan baru. Ia memimpin komando teritorial yang cukup besar di Pulau Sulawesi sebagai Panglima Kodam Wirabuana yang berpusat di Makassar. Waktu itu pangkatnya sudah mayor jenderal. Di kota yang panas itu Agum Gumelar mengalami kerusuhan berbau SARA sebelum jatuhnya Soeharto pada 1998.
Agum tidak lama di Makassar. Pada awal Mei 1998 dia dijadikan Gubernur Lemhanas yang berkedudukan di Jakarta. Ketika Soeharto semakin keras dituntut untuk mundur, Agum Gumelar pun jadi jenderal tanpa pasukan. Sementara Prabowo Subianto sejak Maret 1998 sudah menjadi Panglima Kostrad, seperti mertuanya di tahun 1965. Namun Prabowo ikut apes di tahun 1998. Belum seminggu sang mertua lengser, Prabowo pun kena copot sebagai orang nomor satu di Kostrad.
Ikut Menyidang Prabowo
Apes Prabowo berlanjut ketika namanya terseret dalam kasus penculikan aktivis pada 1997-1998. Hingga para seniornya yang sudah jenderal pun “mengadilinya.” Agum adalah salah satu jenderal yang menyidang Prabowo dalam Dewan Kehormatan Perwira (DPK).Kasus penculikan aktivis yang melibatkan Prabowo bukan kasus biasa, tapi merupakan pelanggaran HAM berat. “Berjalanlah DKP, bekerjalah DKP, sebulan lebih memeriksa yang namanya Prabowo Subianto, periksa. Dari hasil pemeriksaan mendalam, ternyata didapat fakta bukti yang nyata bahwa dia melakukan pelanggaran HAM yang berat,” aku Agum Gumelar baru-baru ini.
Prabowo memilih bungkam. Agum mengaku tidak sulit baginya memeriksa para perwira lapangan yang melakukan penculikan di Tim Mawar.
“Tim Mawar yang melakukan penculikan itu, bekas anak buah saya semua dong. Saya juga pendekatan dari hati ke hati kepada mereka, di luar kerja DKP,” aku Agum. “Di sini lah saya tahu bagaimana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya, saya tahu betul.”
Bukan di tahun 2019 ini saja Agum bicara soal masa lalu daripada menantu Soeharto itu. Di tahun 2014 pun Agum tampil sebagai orang yang tak ingin Prabowo Subianto menjadi Presiden. Ini seperti siklus lima tahunan. Mirip Titiek Soeharto yang tiap pilpres ingin rujuk dengan Prabowo.
Agum seperti anggota DKP lain, termasuk SBY, yang menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari TNI. Agum juga tidak ragu untuk menyebut bahwa dalam sejarah korps baret merah hanya Prabowo yang dipecat dari jabatan danjen.
(tirto.id - Politik)
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar