Berbagi informasi,
bersinergi
dalam pertemanan dan
persahabatan untuk....
kebaikan,kesejahteraan,kenyamanan dalam bersamaan
Kenapa Tidak, Kita Maju Bersama, Yes We Can
"Entah Bagaimana Nasib Republik Jika Sjafruddin, tidak mau .......
"Entah Bagaimana Nasib Republik Jika Sjafruddin, tidak mau kembali ke Yogya " kata Ismail Hasan SH yang terus menerus menyuarakan dan meminta Pemerintah mengakui keberadaan perjuangan PDRI sebagai jalinan Mata Rantai upaya mempertahankan kemerdekaan NKRI . Malah ia meminta para pelakunya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Pada akhirnya Presiden Soesilo Bambang Yudoyono menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Sebuah Monumen dibangun di Koto Tinggi dalam sebuah kompleks yang cukup luas dan akan dilengkapi dengan fasilitas pewarisan nilai-nilai sejarah dan kejuangan.
SEJARAH
Soekarno di PadangJapang
Disaat Belanda menyerah kalah kepada Jepang Seokarno tengah dibuang oleh Belanda di Bengkulu. Oleh Belanda Soekarno hendak dibawa ke luar negeri, namun kapal untuk Belanda lari ke luar negeri mengalami pecah di pulau Enggano. Akhirnya Soekarno ditinggalkan begitu saja di Padang. Setelah berjalan kaki dari Bengkulu melalui Muko-Muko, dan terus melewati Indrapura dan Painan dipesisir pantai Barat akhirnya samapai di Padang. “Di Padang Ir.Soekarno dan keluarganya tinggal di rumah dr. Waworuntu, seorang dokter hewan. Dari rumah inilah ia memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang pemimpin perjuangan yang telah bebas darikungkungan Belanda.”[1] Soekarno berkeliling Sumatera Barat mulai dariPadang dan sekitarnya, ia membangkitkan semangat perjuangan mempersiapkanKemerdekaan Indonesia dengan menemui tokoh-tokoh masyarakat dan mengadakanpertemuan dan rapat-rapat. Ia sering ditemani oleh Sutan Usman Karim ( Suska)yang kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara dan juga sopir. Soekarno sengajamengunjungi Sjech Abbas Abdullah ke suraunya di Puncak Bakuang (Maret-April)1942, setelah Bungkarno ditinggalkan Belanda di Padang. Ia malah sempat melakukan pembicaraan denganJepang di Padang. Jepang memberikan kelonggaran kepada Soekarno untuk melakukan beberapa persiapan untuk menuju Indonesia Merdeka.
Pada ketika itulah setelah berkeliling sekitarkota Bukittinggi, Ir. Soekarno sengaja mengunjungi Syech Abbas Abdullah,seorang Ulama yang disegani dan terkemuka di Sumatera dan sangat antusiasmendukung perjuangan menuju Indonesia Merdeka.Keraguan dan kegalau-anmasyarakat setelah Belanda kalah dan kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Jepangdicerahkan oleh Soekarno. Demikian pula dengan pemuka masyarakat lainnya,terutama para Ulama yang banyak memiliki massa, teramasuk Syech Abbas Abdullah.Ini dituliskan Ahmad Hoesan dkk dalam bukunya; "Orang-orang tua ini baik dari kalanganulama, pemimpin adat dan cerdik pandai segara dapat memahami perkembangankeadaan ketika itu, seperti Sjech Mohammad Djamil Djambek di Bukittinggi, SjechDaud Rasjidi di Balingka dan Sjech Abbas di Padang Japang"[2]halaman 98. Soekarnomenjumpai Syech Abbas di surau pengajiannyadi Puncak Bakuang, Padang Jopang. Syech Abbas yang akhirnya diangkat sebagai ImamJihad semasa perang merebut kemerdekaan mempunyai pengaruh yaqng besar di tengahmasyarakat; seperti dituliskan Ahmad Hosen dkk ; Di Padang Japang Machmud Junus menteri Agama PDRI; Mr T.MHassan yang berkantor di surau Syech Abbas Abdullah, Imam Jihad.Sebagai hasil dari pertemuan itu ia diangkat Menteri Agama PDRI sebagaiSekretaris Kementerian pada 1 April 1949.[3]
KOPIAH "Be - Ka" ( Bung Karno )
Ketika saya masih remaja saya sering mendengar orang tua-tua angkatan ayah saya menyebut Peci, penutu kepalanya dengan sebutan BeKa. "Tolong ambilkan Beka saya ! " maksudnya adalah kopiah atau peci penutup kepalanya. Baru setelah dewasa saya mengerti bahwa istilah BeKa itu adalah Akronim dari Bung Karno. Di kalangan masyarakat itu diartikan sebagai simbol mendudkung perjuangan Bung Karno.
Hal ini bermula wkatu kedatangan Ir. Soekarno ke surau Syech Abbas, ia diberikan hadiah sebuah peci baru pengganti "kopiah" Soekarno yang telah lusuh. "Ini ada yang baru, ganti lah dengan ini " Ucap Abbas. "Terima kasih banyak ..." balas Soekarno " Ya... Nanti ini jadi penutup kepala Negara" balas Abbas " Ya,.. Insyaalah... " jawab Soekarno, sambil menggantikan penutup kepalanya dengan kopiah yang baru. " Nanti negera yang hendak dibangun itu, adalah negara bertuhankan Allah, ya..." dilanjutkan Abbas " Ya.. tentu negara kita berlandaskan kepada Tuhan " jawab Soekarno. Negara tu harus bertuhan yooo" ;Negarayang hendak didirikan itu harus ber tuhan Allah (Pancasila); Kopiah memang selalu melekat di kepala Soekarno untuk menutupi kepalanya yang "botak". Demikian pula dengan H. Agus Salim dan Mohmmad Yamin. Sekarang ditetapkan sebagai pakaian Resmi Nasional. Patut diduga bahwa Kopiah dan Sila Pertama Pancasila, Soekarno termotivasi dan mendapat inspirasi dari pertemuannya dengan Syech Abbas. Soekarno jugamemberi nama Soekarti kepada adik kanduang Suar Paradeh (Perdas; PersatuanDagang Suliki ) yang didirikan Sjarkawi Rasoel Dt. Ajo Marajo (Ayah SuarParadeh ).
SMP-SMP Darurat semasa PDRI yang diatur Mahmud Junus;berjumlah 24 buah, salah satu diantaranya ditempatkan di sekolah Darul Funun ElAbbasyiah ; nomor urut 12 “12. SMP Darurat di Padang Japang, dikepalai olehSjahbuddin”[4]
“Dalam bulan Juni 1949 Mayor Thalib diangkat menjadiKomandan Pert empuran Kabupaten Lima Puluh Kota menggantikan Kapten Syafei dengan LetnanNurmatias sebagai Kepala Staf. Sejak Mayor Thalib menjabat Komandan Pertempuran Kabupaten Lima Puluh Kota yang berkedudukan di Ampang Godang TujuhKoto, Sektor Singa Harau mendapat tugas mendetasir satu seksi dari Kompi Nazardi Front Payakumbuh Utara”[5] “Beberapa jam sebelum berlakunya Cease fire, yaitu tanggal14 Agustus 1949 jam 24.00 Letnan-I Azhari Abbas mendapat per intah dariKomandan pertempuran Mayor Thalib untuk merebut Pos musuh yang di Tiakar Guguk.Serangan dilancarkan dari jam 19.00, tetapi pada sekitar jam 23.00 dihentikan;serangan itu tidak berhasil, bahkan seorang prajurit kita mendapat luka par ah”[6]
[1]Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;I halaman 45
[2]Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;I halaman 98
[3]. [3]. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II, halaman435.
[4]. [4]. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II, halaman437
[5].4. SejarahPerjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II; halaman 519
[6]. 4. SejarahPerjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II; halaman 519
1.Letnan Muda Martais, tewas di medan tempur Padang Area. 2. Ajun Kombes Pol . Mohd Sarong, Ajudan Teuku Mohd.Hasan ( Wakil Ketua PDRI ) BERKANTOR di Darul Funun El Abbasiyah Padang Jopang. 3. Foto bersama Syech Abbas Abdullah ( Baliau Ketek) , Ir. Soekarno dan Syech Mustafa (baliau Godang), sewaktu Soekarno berkunjung ke Padang Jopang 1943 (sebelum Merdeka) meminta petunjuk pada beliau dan dihadiahi sebuah Kopiah (peci) dikenal dengan sebutan KOPIAH BE KA, (Bung Karno ), Jadi simbol Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Tarkhir menjadi bagian pakaian resmi acara kenegaraan.
Bukti Jejak Ulama dan Para Prajurit Turki di Aceh
Photo :
VIVA.co.id/Dani Randi
Jejak peninggalan Turki di Aceh
VIVA – Hubungan Turki dan Aceh sudah terjalin sejak cukup lama. Bahkan menurut catatan sejarah, hubungan itu sudah terbangun sejak era Kerajaan Aceh Darusalam.
Berlokasi di Gampong Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, Aceh, Bitai adalah desa yang menyimpan bukti hubungan antara Aceh dan kekhalifahan Turki Usmani. Desa ini menjadi saksi sejarah Aceh membina hubungan yang sangat dekat dengan Turki pada saat itu.
Di Desa Bitai ini terdapat makam para ulama, guru hingga prajurit Turki. Sementara penyebaran dan perkembangan agama Islam khususnya di Aceh juga tidak terlepas dari peran ulama asal Turki, Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi, yang kemudian dikenal sebagai Tengku Syech Di Bitai.
Pada kompleks makam Tengku Di Bitai, terdapat 25 makam yang mengelilingi makam Sultan Salahuddin. Tujuh di antara makam itu terbuat dari batu cadas, dan 18 lainnya terbuat dari batu sungai. Sebagian batu nisannya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa Arab. Di puncak Nisan yang berbentuk cembung di atasnya terdapat lingkaran sisi delapan.
Tujuh makam yang terbuat dari batu cadas itu berada di dalam benteng yang yang usai tsunami melanda Aceh, makam-makam tersebut direnovasi. Tiga di antaranya disemen secara terpisah dan sisanya hanya diberi sekat-sekat kecil.
“Di tempat itu makam para ulama semua dan satu orang ratu, makamnya yang paling ujung,” kata Azimah, penjaga makam Tengku Di Bitai saat dijumpai di lokasi, Jumat, 20 Oktober 2017.
Sementara di sisi kiri kompleks makam tersebut terdapat sebuah gundukan yang di atasnya ada beberapa makam dengan nisan tua. Di kompleks itu juga terdapat masjid Turki yang sudah direnovasi dengan empat buah kubah yang dijadikan sebagai pusat aktivitas keagamaan warga sekitar.
Selain itu, ada juga bangunan berukuran 6×6 Meter. Di dalam bangunan ini terdapat satu miniatur kapal yang dibingkai dengan kaca. Di dinding dalam ruangan tersebut digantung lukisan Sultan Selim dan lukisan sultan lainnya. Diterakan pula silsilah garis keturunan Tengku Syech Di Bitai.
Perkembangan Islam di Bitai pada waktu itu sangat maju karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam, termasuk dari Malaya dan negara dari Asia Tenggara lainnya.
“Dulu di Gampong (desa) Bitai ini ada pesantren. Banyak orang luar yang menimba ilmu agama Islam di sini, termasuk sultan dan raja-raja dari luar Aceh. Di sini juga jadi pusat keagamaan,” ujarnya.
Setelah menuntut ilmu agama di Aceh, kata dia, mereka mengembangkan lagi ajaran itu di negaranya masing-masing. Sementara ada juga raja-raja yang menganut agama Buddha akhirnya masuk Islam.
Makam para ulama dan prajurit Turki ini menjadi daya tarik bagi pelancong yang ingin mempelajari sejarah Islam di Asia. Azimah mengatakan, pengunjung makam ini bukan hanya didominasi wisatawan dari negara Turki, namun juga banyak peneliti dari negara Timur Tengah yang datang berkunjung.
"Termasuk peneliti dari Jepang juga pernah ke sini hanya melihat dan mencari tahu peninggalan Turki di Aceh," sebutnya.
Area kompleks pemakaman ini juga disebut sebagai kampung Turki. Setelah terjadinya tsunami, pemerintah Turki membangun ratusan rumah bantuan di sekitar makam yang diperuntukkan bagi masyarakat. (ase)
AR Baswedan, Douwes Dekker, Idjon Djanbi, Tan Eng Hoa, Yap Tjwan Bing, Tang Kim Teng, HJ Princen, dan Oen Boen Ing (dari atas, kiri ke kanan, searah jarum jam) (Liputan6.com/Triyasni)
Liputan6.com, Jakarta - Pidato politik Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memicu polemik. Masalahnya berpangkal pada pernyataan Anies yang menggunakan istilah 'pribumi.'
"Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini setelah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri," kata dia, di Balai Kota Jakarta, Senin 16 Oktober 2017 malam.
Polemik pun bergulir. Pidato Anies langsung direspons banyak orang. Tak sedikit warganet di media sosial, termasuk Twitter, menyayangkan kalimat yang disampaikan Anies berbau sentimen negatif.
Kata 'pribumi' memuncaki trending topic Twitter di Indonesia pada Selasa 17 Oktober 2017 pukul 09.45 WIB. Ada yang mendukung, ada pula yang mencibir.
Di antara pro-kontra pernyataan Anies, Liputan 6.com merangkum kisah delapan orang non-pribumi yang turut berjasa dalam perjalanan perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Berikut daftarnya:
Tang Kim Teng dan Douwes Dekker
Tang Kim Teng
Satu warga keturunan Tiongkok yang layak dikenang dalam perjuangan kemerdekaan RI yaitu Tang Kim Teng. Pria kelahiran Singapura pada 1921 itu bergabung dengan Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah.
Pada buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa, sebelum bergabung dalam militer, Tang Kim merupakan pengusaha kedai kopi di Pekan Baru.
Dia memutuskan untuk menjadi tentara ketika dia diajak sahabatnya, Tan Teng Hun dan Hasan Basri, untuk ikut turun ke medan perang.
Kim Teng kemudian ditempatkan di Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah. Tugas yang diberikan kepada Tang Kim Teng tidak mudah: mencari senjata, bahan peledak, seragam tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lain di Singapura
Tak hanya itu, dia juga ditugaskan sebagai penyusun siasat dan memata-matai kekuatan lawan di bawah pimpinan Letnan Satu RA Priodipuro.
Sejumlah misi yang diberikan kepada Kim Teng berhasil dijalankan dengan baik. Salah satunya, membawa sejumlah senjata serta pampasan perang dari Jepang. Dia bahkan beberapa kali lolos dalam perjalanan Pekanbaru-Singapura untuk membawa senjata dan memberikan kepada pasukan Indonesia
Douwes Dekker
Satu warga non-pribumi keturunan Belanda yang berjasa begitu besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah Ernest Eugene Douwes Dekker. Pria kelahiran Pasuruan, pada 8 Oktober 1879 itu, memang warga keturunan, namun jiwanya sangat "Indonesia."
Dia menjadi salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, dengan menjadi penulis yang kritis terhadap rezim Hindia Belanda, wartawan, dan aktivis politik.
Dekker adalah salah satu dari Tiga Serangkai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Dia mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900–1902). Kesadaran ini membuat Douwes Dekker mulai mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Kritik pertamanya adalah sebuah tulisan berjudul ‘Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?’ yang dimuat dalam Nieuwe Arnhemsche Courant pada 1908.
Kemampuan menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief.
Dari pengalamannya sebagai jurnalis, dia mulai merintis kemampuan berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial.
Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro-kaum nasionalis.
Rumah Dekker di dekat Stovia, sekolah dokter di Batavia, menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo, untuk berdiskusi.
Boedi Oetomo, organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.
Pada Maret 1910, ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk pembangunan lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda.
Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten, dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Akibat sering menyerang kebijakan politik kolonial Belanda, Dekker dituding sebagai avonturir, oportunis, dan penipu internasional. Bahkan, kalangan konservatif yang pro-Belanda menyebutnya “pembawa keonaran”.
2 dari 5 halaman
Yap Tjwan Bing dan Idjon Djanbi
Yap Tjwan Bing
Setelah pemerintah Jepang membubarkan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jepang mengizinkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 2017. Soekarno ditunjuk sebagai Ketuanya.
Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa.
Untuk utusan dari warga keturunan Tionghoa, ditunjuklah seorang sarjana farmasi, lulusan Universitas di Amsterdam yang aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Setelah lulus sebagai sarjana farmasi dari Universitas Amsterdam pada 1939, Yap sempat mendirikan apotek di Bandung dan kemudian aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari biografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan, sejak berumur 18 tahun Yap sudah menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Bung Karno dan Bung Hatta.
Namun, karena masih muda, pengetahuan politiknya belum banyak.
Baru di Belanda (1932-1939) dia berkesempatan membaca buku politik sebanyak mungkin dan ikut persidangan-persidangan para mahasiswa Indonesia yang tengah berusaha memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, di bawah pimpinan Bung Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, dan kawan-kawan. Sekembalinya ke tanah air, minatnya dalam politik dilanjutkan.
Pada bulan Agustus 1945 ia diangkat sebagai anggota PPKI, pada tanggal 18 Agustus 1945 ia menghadiri pengesahan UUD 1945 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pada 27 Agustus 1945, PPKI dibubarkan dan saat itu juga dibentuk KNIP, Yap Tjwan Bing diangkat sebagai salah satu anggotanya.
Dari Februari sampai Agustus 1950, ia duduk dalam DPR-RIS sebagai satu-satunya keturunan Tionghoa yang mewakili Pemerintah RI. Ketika pada Agustus 1950 terbentuk DPR-Sementara, Yap tetap menjadi anggota, tetapi sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI) sampai digantikan oleh Tony Wen.
Karena kesehatan putranya memerlukan perawatan khusus, ia beremigrasi ke Amerika pada 1963 dan meninggal pada 1988.
Idjon Djanbi
Idjon Djanbi memiliki nama lengkap Mochamad Idjon Djanbi. Dia merupakan seorang pria Belanda yang lahir di Booskop, Belanda, 13 Mei 1914. Sebelum menjadi warga negara Indonesia, nama asli Idjon adalah Rokus Bernadus Visser.
Setelah Jepang kalah, Idjon masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Berkat kemampuannya, dia memimpin sekolah terjun payung di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia. Sekolah terjun payung itu kemudian pindah ke Cimahi. Pada 1947, pangkatnya sudah kapten.
Idjon ternyata betah di Indonesia, dan setelah Tentara Belanda angkat kaki, dia memilih tinggal di Indonesia.
Dikutip dari situs resmi Kopassus, www.kopassus.mil.id, Mayor Mochamad Idjon Djanbi merupakan mantan Kapten KNIL yang pernah bergabung dengan Korps Special Troopen dan pernah bertempur dalam Perang Dunia II.
Idjon diangkat menjadi komandan pertama Kesatuan Komando Teritorium III yang merupakan cikal bakal Korps Baret Merah Kopassus .
Dalam perjalanannya satuan itu beberapa kali mengalami perubahan nama di antaranya Kesatuan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1953, Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) pada 1952. Selanjutnya berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1955.
Pada 1966, satuan ini kembali berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (Puspassus TNI AD), berikutnya pada 1971 nama satuan ini berganti menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Pada 1985, kesatuan ini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sampai sekarang.
Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta, 1 April 1977. Pada HUT Kopassus ke-25 pada 16 April 1977 di Yogyakarta, Idjon menerima penghargaan kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel. Nama Idjon Djanbi diabadikan menjadi nama Ksatrian Pusat Pendidikan Kopassus Batujajar, Jawa Barat.
3 dari 5 halaman
Tan Eng Hoa dan Abdurrahman Baswedan
Tan Eng Hoa
Mr. Tan Eng Hoa merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika Ketua BPUPKI, Radjiman Wediodiningrat, membentuk panitia-panitia kecil, Mr Tan masuk dalam Panitia Hukum Dasar.
Panitia itu dipimpin Ir Sukarno. Tan Eng Hoa yang lahir di Semarang, Jawa tengah, 1907, lulus menjadi sarjana hukum.
Dengan latar belakang itu ia banyak memberi masukan dalam penyusunan undang-undang dasar. Ahli sejarah Tionghoa, Didi Kwartanada, mengatakan Tan berkontribusi membangun pondasi demokrasi.
Tan meletakkan dasar kebebasan berserikat. Dalam suatu kesempatan rapat, ia mengusulkan penambahan ayat pada pasal 27 Undang-Undang Dasar. Usul itu mengatur kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan sebagainya.
Belakangan, Sidang BPUPKI memutuskan ayat itu dibuat menjadi pasal tersendiri. Ayat yang diusulkan Tan menwujud dalam pasal 28 UUD 1945, yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berlaku hingga saat ini.
"Tentu saja (kebebasan berserikat) amat diperlukan di dalam negara demokrasi," kata Didi.
Sayangnya, sedikit informasi yang bisa menjelaskan sosok Tan Eng Hoa.
Abdurrahman Baswedan
Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan adalah pejuang kemerdekaan sekaligus diplomat dan sastrawan Indonesia. Ia tak lain merupakan kakek Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Lahir di Surabaya, 9 September 1908, AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ia pernah menduduki beberapa posisi penting seperti Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, dan anggota Dewan Konstituante.
AR Baswedan adalah salah seorang diplomat pertama Indonesia. Ia berhasil memperjuangkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia, yaitu dari Mesir.
Pria merupakan keturunan Arab yang fasih berbahasa Jawa. Dalam perjuangannya, dia menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia.
Ia menginisiasi penyelenggaraan Sumpah Pemuda Keturunan Arab, 4 Oktober 1934, di Semarang. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku.
Sumpah itu juga mendeklarasikan agar keturunan Arab berbaur dalam kehidupan bermasyarakat. AR Baswedan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986, pada usia 77 tahun.
4 dari 5 halaman
HJ Princen dan Oen Boen Ing
HJ Princen
Johannes Cornelis Princen adalah anggota militer Belanda yang membelot ke Indonesia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL ini, memberontak ketika melihat ketidakadilan Belanda kepada rakyat Indonesia.
Princen muak menyaksikan tindakan negaranya sendiri. Padahal Indonesia saat itu sudah menyatakan diri merdeka. Pada 26 September 1948, Princen memutuskan meninggalkan KNIL di Jakarta dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Kondisi politik dan sosial di Indonesia telah mengubah pandangannya terhadap kaum pribumi yang disebut kaum ekstremis oleh pemerintahan Belanda," kata seorang sejarawan Mohammad Iskandar kepada Liputan6.com.
Princen atau yang lebih akrab dipanggil Poncke, merupakan salah seorang 'bule' yang ikut berjasa dalam penyamaan hak-hak warga Indonesia. Saat Belanda menyerang Yogyakarta pada 1949, ia telah bergabung dengan Divisi Siliwangi di Purwakarta.
Poncke ikut serta dalam longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Saat bergabung dengan divisi Siliwangi, ia menikahi perempuan Sunda.
Di masa Orde Baru dan Orde Lama, ia dikenal aktif menyuarakan demokrasi. Pocke beberapa kali ditahan oleh pemerintah karena terlalu vokal. Peraih Bintang Gerilya ini wafat pada 22 Februari 2002, akibat penyakit yang dideritanya.
Oen Boen Ing
Dr. Oen Boen Ing merupakan salah satu dokter yang ikut berjuang membantu mengobati prajurit di era perjuangan kemerdekaan.
Seperti dikutp dari www.droenska.com, pada 29 Januari 1933, delapan pemuda asal Tionghoa mendirikan klinik bernama Tsi Sheng Yuan. Dr. Oen mulai praktik di klinik tersebut sejak 1935. Belakangan nama klinik diganti menjadi RS Panti Kosala.
Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat. Klinik ini menampung para pejuang dan pengungsi.
Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit.
Pemerintah menyematkan Satya Lencana Bhakti Sosial bagi Oen Boen Ing pada 30 Oktober 1979. Penghargaan itu sebagai ganjaran jasa-jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat. Oen Boen Ing juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Toemenggoeng Oen Boen Ing Darmohoesodo.
Pada 24 Januari 1993, Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Toemenggoeng menjadi Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Darmohoesodo.
Pada PERISTIWA SITUJUH tanggal 15 Januari 1949 telah membuat wafat 60 orang pejuang dari pejabat militer Republik Indonesia dan rakyat sipil setelah dikepung Belanda ketika telah selesai mengadakan rapat pada waktu menjelang shubuh.
Dalam peristiwa tersebut tercatat ada beberapa orang dari pihak Republik yang lolos. Di antaranya Engku Abdullah, Jahja Djalil, Arifin Alip, Sidi Bakarudin, Syamsul Bahar dan Baharuddin Datuk Bagindo atau lebih dikenal dengan DBD atau Datuk Gagok.
Datuk Gagok ini rumahnya di Tiakar. Kalau dari arah Labuah Silang menuju Taram terletak di sebelah kanan sebelum simpang ke Padang Alai dekat Rumah Makan Anton Saiyo.
Di halaman rumah yang sekarang dulunya pada masa agresi militer kedua ada rumah yang dirampas oleh Belanda yang dijadikan sebagai markas. Dan markas tersebut berhasil dikepung oleh prajurit Republik yang dipimpin oleh Kapten Azhari dari Kesatuan Singa Harau dan membuat Belanda menyerah.
Foto di bawah ini adalah potret Datuk Gagok bersama Presiden Sukarno dan Moh. Yamin dalam peresmian perusahaannya DBD dalam memproduksi korek api 1001 yang masih sering kita gunakan sampai saat ini.
Sepanjang karirnya, Datuk Gagok dikenal sebagai pejuang, penghulu bagi kaumnya, pebisnis yang menjadi orang Indonesia pertama menjalin hubungan kerjasama dengan Jepang.
Foto satu lagi adalah potret ibuk Merita anaknya Datuk Gagok yang memberikan banyak informasi tentang Datuk Gagok. Dan ini secarik lembaran sejarah dari tokoh yang kampungnya di Tiakar.
Makna Patung Tugu Tani yang Digosipkan Sebagi Simbol Komunis!
Indowarta.com– Beberapa demonstran pada hari Jumat pekan lalu telah memberikan tudingan Patung Tugu Tani merupakan salah satu simbol komunis di Indonesia. Sontak saja bahwa hal ini telah menjadi buah bibir tersendiri di berbagai halaman media. Sebenarnya apa makna dari patung yang berdiri semenjak tahun 1963 tersebut?
Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Moeldoko telah mengatakan
bahwa patung Tugu Tani itu adalah patung pahlawan simbol dari keberhasilan pertempuran di Timur Indonesia. Moeldoko did alam pernyataan tertulis ini pada hari Selasa 3 Oktober 2017 ini telah menyebutkan “Patung itu adalah Patung Pahlawan. Patung itu cermin dari keberhasilan pertempuran di Irian Barat sehingga dilukiskan dalam bentuk patung”.
Patung Tugu Tani tersebut telah melambangkan seorang ibu yang telah membekali anaknya yang hendak pergi ke medan operasi. Sebuah tulisan terpahat di bagian patung tersebut berdiri “Hanya Bangsa yang dapat Menghargai Pahlawan-pahlawannya yang dapat Menjadi Bangsa Besar”.
Mantan KSAD ini telah mengatakan “Simbol itu menggambarkan bagaimana seorang ibu membekali anaknya yang akan berangkat ke medan operasi. Itu sebenarnya simbol dan ditarik menuju doktrin sistem pertahanan negara”.
Sistem pertahanan negara yang dimaksud ini adalah sistem pertahanan rakyat semesta sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945. Moeldoko telah mengatakan “Bahwasanya sistem pertahanan negara tidak hanya dibangun bukan hanya oleh TNI. Di situ ada komponen cadangan (rakyat) dan di situ ada kompenen pendukung”.
Menurutu Moeldoko, jika semua pihak nantinya memaknai secara positif mengenai sistem pertahanan rakyat semesta yang telah digambarkan leh patung pahlawan teresbut, maka ini akan bisa menjadi salah satu faktor yang akan membuat negara lainnya menjadi gentar.
Moeldoko menegaskan “Ini sebuah deterrent factor terhadap negara-negara lain. Hati-hati lho jangan coba-coba menyerang Indonesia, karena semua dari bangsa Indonesia memiliki hak untuk mempertahankan kedaulatan negaranya”.
Moeldoko mengatakan baha setiap orang harus bisa bijak di dalam memaknai setiap simbol yang ada. Moeldoko mengatakan “Jangan lihat dari fisiknya, tapi melihat untuk apa patung itu dulu dibuat”.
=====
Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika, itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.
Ketiga lembaga itu adalah National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dkeduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Data dan fakta ini menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.
Para anggota dan simpatisan PIKI itu "kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September," tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.
Hak atas fotoBETTMANN / GETTY IMAGESImage captionSeorang terduga simpatisan G30S diperiksa di bawah todongan senjata.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo mengatakan tidak bisa membantah maupun mengiyakan terjadinya pembantaian pasca 30 September 1965.
"Saya tidak dalam posisi membenarkan atau menolak fakta itu. Tragedi 1965 adalah pertarungan kekuasaan antara PKI dan Angkatan Darat," kata Agus, yang juga putra Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, salah satu dari tujuh korban 30 September 1965.
Hak atas fotoCAROL GOLDSTEIN/KEYSTONE/GETTY IMAGESImage caption13 Oktober 1965: Sekelompok mahasiswa Muslim membakar markas Pemuda Rakyat di Jakarta.
Berikut ini adalah beberapa fakta terkait tragedi 1965 yang tersaji dalam laporan diplomatik yang memuat juga soal konfrontasi dengan Malaysia, kondisi Irian Barat, dan perang Vietnam tersebut.
Angkatan Darat 'mempertimbangkan' menjatuhkan Soekarno
Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri AS di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, "Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu."
Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, "Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil."
Disebutkan, Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat.
Hal itu terkait perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang menyebutkan Soekarno menerima pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan malah memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan jengkel.
Hak atas fotoBERYL BERNAY/GETTY IMAGESImage captionSejumlah serdadu, tak jauh dari rongsokan sebuah mobil yang terbakar di hari-hari awal Oktober 1965, menyusul gagalnya G30S.
Rencana membunuh Omar Dani
Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18 Oktober 1965.
Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh "Angkatan Darat/kelompok Muslim".
Hak atas fotoNSARCHIVE
"Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka," kata Sutarto dikutip laporan tersebut.
Bahkan lebih lanjut Sutarto menyebutkan, "Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia." Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.
Hak atas fotoDOKUMENTASI PUTMAINAHImage captionTentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur salah satunya adalah Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar.
Adnan Buyung Nasution turut melemahkan PKI dan Soekarno
Adnan Buyung Nasution ketika itu adalah seorang jaksa berusia 31 tahun. Dalam perbincangannya dengan Sekretaris Kedua Kedutaan Amerika Robert Rich, Buyung mengatakan perlunya terus menyasar organisasi-organisasi komunis guna menghancurkan kekuatan PKI.
Buyung juga mengatakan bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis, namun fakta itu harus disembunyikan."
"Represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno," kata Buyung seperti ditulis telegram Kedutaan Amerika untuk Kemenlu tanggal 23 Oktober 1965.
Hak atas fotoAFPImage captionAdnan Buyung Nasution semasa hidup.
Buyung yang disebutkan dua kali mendatangi Kedutaan untuk berdiskusi yakni pada 15 dan 19 Oktober 1965, juga menyampaikan informasi lainnya. "Beberapa elemen tentara berencana membebaskan pimpinan Masjumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI," tulis laporan tersebut. Namun Buyung mengangap situasi politiknya trlalu pelik di luar, sehingga tampaknya mereka leboih aman tetap berada di penjara ketimbang di tempat lain.
Dalam biodatanya Buyung disebutkan sebagai asisten pribadi jaksa agung sejak 1964 dan pernah bekerja di intelejen kejaksaan. Pada 1961, Buyung adalah perwakilan kejaksaan yang bertanggung jawab pada perencanaan keamanan bagi Jaksa Agung Robert Kennedy yang akan berkunjung ke Indonesia.
Kerusuhan rasial menyasar etnik Tionghoa
Seiring propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat, sentimen anti-Cina juga berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding adalah pendukung, bahkan, anggota PKI.
Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionMassa Islam menghancurkan universitas Res Publica, perguruan tinggi yang diidentikkan dengan PKI.
Telegram Kedutaan untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan, "90 persen toko-toko milik orang Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang dilakukan hampir seluruh penduduk." Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.
Dalam kabel diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
Hak atas fotoNSARCHIVE
Kader PKI tidak tahu apa yang sedang terjadi
Dalam telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965, digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
Si jurnalis yang disebutkan itu adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. "Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," tulis laporan itu.
Informasi serupa dikonfirmasi Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Si aktivis sama sekali tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi mereka. "Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno," ujar sang diplomat.
Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionSerdadu mengawasi para tahanan yang diduga komunis di sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965
Jihad membantai ribuan orang di daerah
26 November 1965 laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan terus mendapatkan laporan pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung setidaknya 15.000 komunis dibunuh.
"Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga)," tulis laporan tersebut.
Angkatan Darat persenjatai Hansip untuk bunuh PKI
Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.
Hak atas fotoKEYSTONE/GETTY IMAGESImage captionPrajurit TNI berjaga di depan Istana Bogor, saat sejumlah mahasiswa berbagai kalangan yang berusaha mendekati Presiden Soekarno.
"Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera," tulis laporan tersebut.
Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. "Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah tentara."
Hak atas fotoBBC/TITO SIANIPARImage captionSejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968
Penguakan sejumlah dokumen berklasifikasi rahasia Amerika Serikat ke publik dilihat oleh Pemerintah Indonesia sebagai awal untuk bisa melihat tragedi 1965 secara utuh.
Bagaimanapun informasi dalam dokumen tersebut masih akan dipelajari lebih lanjut, tegas Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, di kantornya, Kamis, 19 Oktober 2017.
"Dari manapun (dokumen) yang muncul tentunya tidak serta-merta dokumen itu kemudian kita jadikan suatu bagian dari proses penyelidikan,"
Menurut Wiranto, pemerintah perlu mengkaji atau mempelajari dokumen diplomatik tersebut sebelum meyakini yang disebutkan di situ, "Tentu perlu suatu upaya untuk meyakini betul apakah informasi-informasi yang beredar di luar negeri itu layak untuk dijadikan suatu bagian pembuktian-pembuktian."
Lembaga nonprofit Amerika National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC) bersama National Archives and Records Administration (NARA) menguak 39 dokumen, yang merupakan catatan korespondensi Kedutaan AS di Jakarta dengan Kementerian Luar Negeri periode 1964-1968.
Data dan fakta yang ada di dalamnya menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Misalnya plot Angkatan Darat menjatuhkan Soekarno, ide untuk menghabisi Panglima Angkatan Udara Omar Dani, hingga pembunuhan massal, dan tragedi kemanusian bernuansa rasial.
Indonesia
Bagi korban tragedi tersebut, dokumen ini membuat mereka berharap pemerintah Amerika Serikat mengakui, meminta maaf, dan membayar ganti rugi bagi korban akibat keterlibatan mereka. Para korban meyakini AS terlibat dalam mendukung Angkatan Darat memobilisasi dan membasmi Partai Komunis Indonesia.
Sementara Letjen (Purn) Agus Widjojo berpendapat peristiwa 1965 bisa dilihat dari pertarungan global yang memang saat itu terjadi antara blok Barat yang digawangi Amerika, dengan blok Timur yang digawangi Uni Sovyet.
"Amerika punya kepentingan membangun benteng mencegah menjalarnya komunisme. Itu yang mereka lakukan," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Masyarakat ini.
Hak atas fotoADEK BERRY/AFPImage captionMenkopolhukkam Wiranto dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Juli 2015 di Istana Merdeka, Jakarta.
Kampanye menghadang kekuatan komunis kemudian yang berbuah tragedi kemanusiaan. Beberapa catatan menyebutkan jumlah korban akibat 'perang melawan komunis' di Indonesia antara 500.000 hingga satu juta jiwa. Para korban umumnya tidak mengetahui apa yang terjadi.
Masih ada lagi orang-orang yang ditahan dan dipenjara tanpa pengadilan.
Hak atas fotoDETIKCOMImage captionSri Sulistyawati atau yang kerap disapa Mbak Sri adalah korban tragedi 1965
Seperti yang ditulis dalam telegram Kedutaan Amerika Serikat ke Kemenlu pada 20 November 1965, digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi tesebut didapat diplomat Amerika Serikat dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
Si jurnalis yang disebutkan adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. "Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," tulis laporan itu. Informasi serupa juga didapat dari Kedutaan Yugoslavia di Jakarta.
Sri Sulistyawati adalah salah satu contohnya yang tidak tahu menahu tentang kondisi politik saat itu. Mantan wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan ini menjadi tahanan politik dan mendekam di Bukit Duri hingga 1979. Sri ketika pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965 sedang berada di Langsa, Aceh dan baru balik ke Jakarta 3 Oktober 1965.
"Saya waktu itu ikut safari Kabinet Dwikora sama Pak Subandrio (Wakil Perdana Menteri I Republik Indonesia)," kata Sri kepada BBC Indonesia. Sekembalinya ke Jakarta, Sri kebingungan. Hingga akhirnya ia dicokok tentara dan disiksa sebelum dijebloskan ke penjara.
Perempuan yang kini berusia 77 tahun meyakini Amerika Serikat terlibat dalam pembantaian massal terhadap para korban tragedi 1965 tersebut, termasuk mengadu domba bangsa Indonesia. "Kami, para korban, menuntut Amerika meminta maaf dan memberikan ganti rugi atau kompensasi bagi korban," kata dia. "Jika Belanda bisa di Rawagede, seharusnya mereka juga."
Hak atas fotoBETTMANN/GETTY IMAGESImage captionPara prajurit bersenjata mengangkut para terduga anggota Pemuda Rakyat, pada 10 Oktober 1965.
Sri berharap penguakan dokumen demi dokumen bisa membuka tabir gelap yang selama ini menyelimuti tragedi 1965. Fakta-fakta baru yang diungkap bisa menjadi pembanding bagi publik yang selama ini hanya dijejali narasi yang seragam dari penguasa. "Mudah-mudahan," pungkas Sri.
Anggota Senat Amerika Serikat, Tom Udall, tak menyangkal kemungkinan yang diharapkan Sri tersebut. Dalam pernyataan di situs resminya, Udall menyampaikan bahwa penguakan dokumen itu adalah langkah penting untuk membuka sejarah kelam pada abad ke-20 itu.
"Pembantaian hingga satu juta orang Indonesia pada 1965 dan 1966 adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Korban dari kampanye pembantaian massal ini pantas mendapatkan keadilan dan pengakuan," ujar Udall seperti dilansir situs resminya. "Indonesia dan dunia juga layak mendapatkan kebenaran."
'Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal'
(Deborah Sumini, kelahiran 1946, warga Pati, Jateng, mahasiswa Institut Pertanian dan Gerakan Tani, Bogor, saat ditangkap pada 1965)
Saya berusia 18 tahun ketika menuntut ilmu di Institut Pertanian dan Gerakan Tani di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Ini memang yayasan milik PKI.
Saya baru tiga bulan di sana. Saya ketika itu tidak tahu ada peristiwa G30S. Saya masih ingat, kampus kami kemudian didemo oleh KAPPI dan KAMI. Ada spanduk 'ganyang Aidit' segala.
Kami kemudian dipulangkan. Apabila situasi pulih, kami akan dipanggil lagi. Saya mengira situasi gejolak itu tidak akan berlangsung lama.
Saya lantas pulang. Di sepanjang jalan, banyak papan nama PKI diturunkan, rumah-rumah dirusak, mulai Bogor sampai Pati, Jawa Tengah, tempat saya tinggal.
Image captionPara penyiksa itu selalu mengajukan pertanyaan tetap: 'Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jendral' atau 'Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jendral' atau 'Ini penari Harum Bunga'.
Di rumah, 8 Oktober 1965, kakak sulung saya tidak ada, sudah 'diambil'. Situasi sangat genting. Lemari di kamar sudah diobrak-abrik. Buku-buku milik kami sudah diambil.
Setelah menyelamatkan diri dan sempat tinggal di rumah teman, saya dilaporkan oleh seseorang. Makanya, pada pukul 12 malam, rumah tempat saya tinggal digeruduk oleh polisi, Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Marhaen. Rumah didobrak, saya dipukuli dan tidak sadarkan diri.
Di kantor Polres Pati, saya disiksa. Setiap saat, siang atau malam, saya 'dibon'. Para penyiksa itu selalu mengajukan pertanyaan tetap: 'Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jendral' atau 'Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jendral' atau 'Ini penari Harum Bunga'.
Karena saya tidak melakukannya sehingga saya tidak mengakuinya, saya kemudian disiksa. Penyiksanya sampai sepuluh orang. Kaki saya diletakkan di bawah kaki meja. Kemudian meja itu diinjak mereka.
Dalam kondisi tidak sadar, saya kemudian ditelanjangi. Terus tubuh saya dicolok dengan puntung rokok dan dialiri listrik. Saya baru tahu saya ditelanjangi, setelah terbangun dan mengetahui pakaian saya sudah diganti. Saya tidak bisa membayangkan...
Semua ini berlangsung sampai sekitar lima bulan. Tanggal 30 April 1966, saya dipindah ke LP khusus perempuan di Bulu, Semarang, Jateng.
Image captionDeborah Sumini (kanan) kini aktif membantu untuk mengungkap kasus kekerasan pasca 1965. "Inilah yang sekarang saya minta kepada pemerintah: saya tidak tahu-menahu soal G30S, saya tidak salah, kenapa saya diperlakukan sedemikian rupa," kata ibu dua anak ini.
Di sini kondisinya tidak manusiawi. Ruangan yang seharusnya didiami 25 orang diisi sampai 56 orang. Jadi kalau tidur dalam posisi miring, kami miring semua. 'Ayo saatnya mlumah (telentang) atau saatnya miring,' begitulah kami menghibur diri.
Tahun 1971, tepatnya tanggal 23 Februari, saya dipulangkan. Saya mendapat kartu penduduk yang ada tanda ET (eks tapol) sehingga tidak bisa kerja ke luar kota.
Saya belajar menjahit, tetapi sebagian masyarakat selalu memberi stigma 'saya bekas Gerwani, eks tapol, PKI, atau pengkhianat yang membunuh jendral'.
Dan anak saya juga kena getahnya. Salah-satu anak saya yang nilai rata-ratanya 9 dan 10, tidak mendapat ranking di sekolah. Belakangan saya tahu, itu terjadi karena anak saya merupakan anak eks tapol.
Dan ketika anak saya yang berprestasi diajak gurunya ke SMA Nusantara di Magelang, dia akhirnya gagal diterima, walaupun saya yakin dia mampu. Saya yakin dia digugurkan karena orang tuanya eks tapol. Anak saya hampir frustasi karena masalah ini.
Mengapa anak saya yang tidak tahu-menahu dikait-kaitkan dengan apa yang saya alami. Inilah yang sekarang saya minta kepada pemerintah: saya tidak tahu-menahu soal G30S, saya tidak salah, kenapa saya diperlakukan sedemikian rupa.
Semoga rencana atau wacana permintaan maaf oleh Presiden Jokowi itu bisa dijabarkan atau diimplementasikan.
'Saya menangis bila ingat keluarga saya berantakan'
(Supardi, 75 tahun, eks tapol pulau Buru, bekas seniman Lekra, calon relawan konfrontasi dengan Malaysia pada 1964)
Pada usia 25 tahun, saya ditahan karena kebetulan komandan relawan 'ganyang Malaysia' adalah anggota PKI asal Situbondo, Jatim. Saya dipaksa mengaku mengetahui latar peristiwa G30S, tetapi saya jawab tidak tahu karena memang tidak mengetahuinya.
Saat ditahan di Polres Pati dan Baperki, saya dituduh anggota Pemuda Rakyat (organisasi kepemudaan PKI), dan saya menyatakan itu tidak benar. Jawaban ini membuat saya disiksa. Pokoknya saya dipaksa mengaku anggota PKI.
Pada September 1971, saya dibawa ke Pulau Buru dan mendekam delapan tahun. Saya tidak bisa melupakan segala siksaan yang saya alami di pulau itu, walaupun sudah setengah abad lalu. Seperti kejadian kemarin saja.
Saya masih ingat para pengawal mengatakan para tapol itu bukan manusia.
Image captionSurat resmi yang menunjukkan bahwa Supardi telah dibebaskan dari pulau Buru.
Ketika disiksa saya tidak pernah menangis, tetapi saya kadang menangis kalau teringat keluarga. Bapak saya juga ditahan saat itu, sementara ibu tinggal di rumah. Adik saya ikut membantu ibu saya untuk mencari ubi ke Gunung Muria untuk makanan saya dan bapak selama ditahan.
Keluarga saya berantakan. Rumah dijual. Semua ipar saya juga ditahan.
Setelah dibebaskan dari pulau Buru pada Agustus 1979, saya tidak punya apa-apa. Rumah nyaris roboh. Saya akhirnya menikahi janda yang memiliki dua anak, yang suaminya dibunuh setelah peristiwa G30 1965. Saya menumpang hidup.
Image captionIstri (kiri) dan adik Supardi di rumahnya di Desa Bulu Mulyo, Pati, Jateng. "Adik saya ikut membantu ibu saya untuk mencari ubi ke Gunung Muria untuk makanan saya dan bapak selama ditahan."
Di desa tempat saya tinggal, saya dihormati. Tapi di luar kampung, saya selalu terkena stigma. KTP saya ada tulisan ET (eks tapol). Saya selalu dicurigai seolah-olah hendak menghidupkan PKI.
Andaikata Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada korban 1965, itu belum berarti masalahnya selesai, sebelum ada kejelasan tentang rehabilitasi nama baik saya. Juga kenapa orang tidak bersalah ditahan.
Saya juga menuntut proses hukum terhadap pelaku agar semuanya menjadi jelas. Kalau rekonsiliasi tanpa penyelesaian hukum, itu bukan rekonsiliasi.
Selama ini, saya memaafkan para pelaku kekerasan terhadap saya. Para pelaku juga merupakan korban, karena dipaksa untuk membunuh orang-orang yang dituduh PKI.
'Bisa tidur nyenyak, itu impian saya'
(Sampan Purba, 75 tahun, eks tapol pulau Buru, guru di Kabupaten Sragen, Jateng, saat ditangkap pada 1965)
Hak atas fotoBBC INDONESIA
Pada awal November 1965, saya menyaksikan dengan perasaan mengerikan saat terjadi penangkapan umum terhadap para pimpinan PKI di Sragen.
Tetapi enam hari kemudian, di sebuah pagi, saya justru ditangkap. Sekitar satu regu aparat militer dan puluhan Pemuda Marhaen berpakaian serba hitam mendatangi rumah saya.
Mereka bertanya: mana senjatamu! Saya jawab: saya tidak punya senjata, karena saya guru. Lalu saya tanya: saya mau dibawa kemana? Mereka balik menjawab ketus: Nggak usah tanya, saya tempeleng kamu!
Ketika saya ditangkap, saya punya dua anak. Anak pertama berusia dua tahun dan yang kedua masih bayi.
Saat saya ditahan di penjara Sragen, saya ingat, setiap malam ada orang-orang yang dibawa keluar atau istilahnya 'dibond'. Ada yang dikembalikan dalam kondisi sakit parah, tapi ada yang tidak kembali alias sudah 'dihabisi'.
Image captionDidampingi oleh Lembaga pengabdian hukum (LPH) Yaphi di Solo, Sampan (kanan) dan beberapa eks tapol dari sejumlah wilayah Jateng ikut membantu mengungkap kebenaran yang menimpa dirinya dan korban kekerasan pasca 1965.
Tiap jam tujuh malam, terdengar dering telepon, kemudian ada suara-suara agar pihak penjara menyiapkan orang-orang yang hendak dibawa keluar tersebut. Lalu tentara datang dan orang itu kemudian dibawa.
Saya dan orang-orang yang ditahan dipaksa kerja paksa mulai membuat jalan hingga saluran air bendungan. Tiap hari kami berangkat pukul enam pagi dan tiba kembali pukul tiga dini hari.
Saat itu, saya selalu mengimpikan bisa tidur nyenyak, karena praktis kami tidak bisa tidur nyenyak.
Pada awal Oktober 1970, saya akhirnya dibawa ke pulau Buru dan ditempatkan di unit lima. Kami dipaksa menanam padi, kita membikin nasi sendiri.
Ada peristiwa mengerikan yang tidak bisa saya lupakan. Suatu hari ada informasi seorang tentara tewas.
Kami para tapol kira-kira 500 orang kemudian dikumpulkan dan dipukuli dengan kayu sejak pukul tiga sore sampai sembilan malam. Satu regu tentara melakukan pemukulan dan jika mereka letih diganti regu lainnya.
Saya berusaha memilih tempat yang aman agar tidak kena pukulan. Apabila kayu itu rusak, maka dicari kayu lainnya untuk memukul kami.
Ketika siksaan itu berakhir pukul sembilan malam, saya mendengar ada 12 tapol yang tewas. Mereka kemudian dikubur dalam satu liang.
Pada 1978, saya dipulangkan dari pulau Buru. Istri sudah minta cerai. Saya tidak bekerja, dan akhirnya saya meneruskan keahlian sebagai dalang wayang kulit. Saya bisa melakukannya walaupun saat itu eks tapol dilarang menjadi dalang.
Dalam KTP saya ada tulisan ET (eks tapol), tapi kemudian saya tutupi potret diri saya. Jadi tidak kelihatan. Aman.
'Saya masih berstatus tahanan kota sampai sekarang'
(Sudjijato, bekas anggota TNI angkatan darat, berpangkat sersan dua saat ditangkap pada 1967 setelah kembali dari operasi Dwikora di Kalimantan)
Saya setuju dan menunggu pembuktian rencana permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada eks tapol 1965.
Tetapi permintaan maaf itu harus ditindaklanjuti dengan pengungkapan kebenaran kasus ini dan harus ada pengembalian nama baik bagi korban. Setelah itu barulah digelar rekonsiliasi.
Soal pengembalian nama baik itu sangat penting buat saya, karena saya dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses hukum pada 1967 setelah saya kembali dari operasi Dwikora di Kalimantan.
Saya dipenjara di Pekalongan, Jateng, selama tujuh tahun. Dan setelah dibebaskan pada 1974, saya dikenai tahanan rumah dan wajib lapor selama satu tahun.
Setelah itu, suratnya diganti menjadi tahanan kota. Sampai sekarang surat tentang status tahanan kota terhadap diri saya belum dicabut.
Pada tanggal 16 Mei 2015 lalu, saya mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, Kepala staf Angkatan Darat dan Pangdam setempat untuk mempertanyakan nasib kami sebagai pejuang Angkatan Darat yang disengsarakan.
Image captionPada tanggal 16 Mei 2015 lalu, Sudjijato mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, Kepala staf Angkatan Darat dan Pangdam setempat untuk mempertanyakan nasib mereka "sebagai pejuang Angkatan Darat yang disengsarakan".
Saya masih ingat, setelah kembali bertugas dari operasi Dwikora dalam konfrontasi dengan Malaysia di Kalimantan, ada perintah agar senjata dimasukkan gudang dan saya dimasukkan ke penjara.
Sulit menerima logika sangkaan yang diberikan kepada saya. Lagipula, saat peristiwa G30S, saya masih bertugas di Kalimantan.
Tetapi saya masih ingat, Pangdam Diponegoro saat itu memerintahkan agar kesatuan saya untuk menandatangani 'berdiri di belakang' Presiden Sukarno tanpa reserve.
Saya langsung tanda tangan, karena itu perintah Pangdam Diponegoro pada waktu itu.
Ketika saya dipenjara, saya berpisah dengan istri. Dia meminta cerai. Ya, sudah. Semua sudah remuk. Terus terang saja, semua akhirnya rusak. Dan ini memang sengaja dirusak.
Soalnya, anggota militer yang dijebloskan ke penjara Pekalongan, hampir 90 persen akhirnya menjadi duda, karena istri-istrinya minta cerai semua. Anak-anaknya bubar semua. Ini saya terus terang.
Mengapa saya akhirnya bisa bertahan hidup? Mental saya kuat, sehingga membuat saya optimis sampai sekarang, sehingga dapat bertemu Anda. Saya juga bisa menjaga kesehatan.
Memang setelah saya dibebaskan, ada stigma terhadap diri saya karena dianggap 'orang PKI'. Tapi saya bisa bekerja walaupun tidak boleh keluar kota.
Saya saat itu bekerja pada usaha pembuatan batik dan memiliki 16 karyawan. Ini artinya ada orang yang mau bekerja di tempat saya.
Ya, KTP saya memang ada tulisan ET (eks tapol) yang kemudian dihilangkan setelah Pak Harto modar (meninggal dunia).
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat (Chairil Anwar) dan ini bernama Bukit Luncung di Padang Mungguak, nagari Sitanang (lbh kurang 15 km dr kota Payakumbuh) yang menjadi tempat tahanan bagi siapa saja yang dicurigai sebagai mata-mata dan kaki tangan Belanda pada masa agresi militer Belanda yang kedua.
Dengan sidang militer seperlunya, seseorang akan dieksekusi hukuman mati di sini. Dan itu bukan untuk dia saja melainkan bagi seluruh keluarga, meskipun anak-anak ataupun usia lanjut. Ada yang dikubur ala kadarnya dan ada juga yang dibuang ke Batang Sinamar yang tidak jauh dari situ. Sehingga pada saat agresi militer Belanda yang kedua tersebut, Batang Sinamar banyak dipenuhi oleh mayat-mayat yang telah dieksekusi mati karena diduga sebagai mata-mata dan kaki tangan Belanda.
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat. Semoga menjadi pelajaran dan hikmah untuk mereka di generasi mendatang 😢
Tidak ada komentar:
Posting Komentar