"Entah Bagaimana Nasib Republik Jika Sjafruddin, tidak mau kembali ke Yogya " kata Ismail Hasan SH yang terus menerus menyuarakan dan meminta Pemerintah mengakui keberadaan perjuangan PDRI sebagai jalinan Mata Rantai upaya mempertahankan kemerdekaan NKRI . Malah ia meminta para pelakunya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Pada akhirnya Presiden Soesilo Bambang Yudoyono menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Sebuah Monumen dibangun di Koto Tinggi dalam sebuah kompleks yang cukup luas dan akan dilengkapi dengan fasilitas pewarisan nilai-nilai sejarah dan kejuangan.
“Di Padang Ir.Soekarno dan keluarganya tinggal di rumah dr. Waworuntu, seorang dokter hewan. Dari rumah inilah ia memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang pemimpin perjuangan yang telah bebas darikungkungan Belanda.”[1]
Soekarno berkeliling Sumatera Barat mulai dariPadang dan sekitarnya, ia membangkitkan semangat perjuangan mempersiapkanKemerdekaan Indonesia dengan menemui tokoh-tokoh masyarakat dan mengadakanpertemuan dan rapat-rapat. Ia sering ditemani oleh Sutan Usman Karim ( Suska)yang kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara dan juga sopir.
Soekarno sengajamengunjungi Sjech Abbas Abdullah ke suraunya di Puncak Bakuang (Maret-April)1942, setelah Bungkarno ditinggalkan Belanda di Padang. Ia malah sempat melakukan pembicaraan denganJepang di Padang. Jepang memberikan kelonggaran kepada Soekarno untuk melakukan beberapa persiapan untuk menuju Indonesia Merdeka.
Pada ketika itulah setelah berkeliling sekitarkota Bukittinggi, Ir. Soekarno sengaja mengunjungi Syech Abbas Abdullah,seorang Ulama yang disegani dan terkemuka di Sumatera dan sangat antusiasmendukung perjuangan menuju Indonesia Merdeka.Keraguan dan kegalau-anmasyarakat setelah Belanda kalah dan kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Jepangdicerahkan oleh Soekarno. Demikian pula dengan pemuka masyarakat lainnya,terutama para Ulama yang banyak memiliki massa, teramasuk Syech Abbas Abdullah.Ini dituliskan Ahmad Hoesan dkk dalam bukunya;
"Orang-orang tua ini baik dari kalanganulama, pemimpin adat dan cerdik pandai segara dapat memahami perkembangankeadaan ketika itu, seperti Sjech Mohammad Djamil Djambek di Bukittinggi, SjechDaud Rasjidi di Balingka dan Sjech Abbas di Padang Japang"[2]halaman 98.
Soekarnomenjumpai Syech Abbas di surau pengajiannyadi Puncak Bakuang, Padang Jopang.
Syech Abbas yang akhirnya diangkat sebagai ImamJihad semasa perang merebut kemerdekaan mempunyai pengaruh yaqng besar di tengahmasyarakat; seperti dituliskan Ahmad Hosen dkk ;
Di Padang Japang Machmud Junus menteri Agama PDRI; Mr T.MHassan yang berkantor di surau Syech Abbas Abdullah, Imam Jihad.Sebagai hasil dari pertemuan itu ia diangkat Menteri Agama PDRI sebagaiSekretaris Kementerian pada 1 April 1949.[3]
KOPIAH "Be - Ka" ( Bung Karno )
Ketika saya masih remaja saya sering mendengar orang tua-tua angkatan ayah saya menyebut Peci, penutu kepalanya dengan sebutan BeKa. "Tolong ambilkan Beka saya ! " maksudnya adalah kopiah atau peci penutup kepalanya. Baru setelah dewasa saya mengerti bahwa istilah BeKa itu adalah Akronim dari Bung Karno. Di kalangan masyarakat itu diartikan sebagai simbol mendudkung perjuangan Bung Karno.
Hal ini bermula wkatu kedatangan Ir. Soekarno ke surau Syech Abbas, ia diberikan hadiah sebuah peci baru pengganti "kopiah" Soekarno yang telah lusuh.
"Ini ada yang baru, ganti lah dengan ini " Ucap Abbas.
"Terima kasih banyak ..." balas Soekarno
" Ya... Nanti ini jadi penutup kepala Negara" balas Abbas
" Ya,.. Insyaalah... " jawab Soekarno, sambil menggantikan penutup kepalanya dengan kopiah yang baru.
" Nanti negera yang hendak dibangun itu, adalah negara bertuhankan Allah, ya..." dilanjutkan Abbas
" Ya.. tentu negara kita berlandaskan kepada Tuhan " jawab Soekarno.
Negara tu harus bertuhan yooo" ;Negarayang hendak didirikan itu harus ber tuhan Allah (Pancasila);
Kopiah memang selalu melekat di kepala Soekarno untuk menutupi kepalanya yang "botak". Demikian pula dengan H. Agus Salim dan Mohmmad Yamin. Sekarang ditetapkan sebagai pakaian Resmi Nasional.
Patut diduga bahwa Kopiah dan Sila Pertama Pancasila, Soekarno termotivasi dan mendapat inspirasi dari pertemuannya dengan Syech Abbas.
Soekarno jugamemberi nama Soekarti kepada adik kanduang Suar Paradeh (Perdas; PersatuanDagang Suliki ) yang didirikan Sjarkawi Rasoel Dt. Ajo Marajo (Ayah SuarParadeh ).
SMP-SMP Darurat semasa PDRI yang diatur Mahmud Junus;berjumlah 24 buah, salah satu diantaranya ditempatkan di sekolah Darul Funun ElAbbasyiah ; nomor urut 12
“12. SMP Darurat di Padang Japang, dikepalai olehSjahbuddin”[4]
“Dalam bulan Juni 1949 Mayor Thalib diangkat menjadiKomandan Pert empuran Kabupaten Lima Puluh Kota menggantikan Kapten Syafei dengan LetnanNurmatias sebagai Kepala Staf. Sejak Mayor Thalib menjabat Komandan Pertempuran Kabupaten Lima Puluh Kota yang berkedudukan di Ampang Godang TujuhKoto, Sektor Singa Harau mendapat tugas mendetasir satu seksi dari Kompi Nazardi Front Payakumbuh Utara”[5]
“Beberapa jam sebelum berlakunya Cease fire, yaitu tanggal14 Agustus 1949 jam 24.00 Letnan-I Azhari Abbas mendapat per intah dariKomandan pertempuran Mayor Thalib untuk merebut Pos musuh yang di Tiakar Guguk.Serangan dilancarkan dari jam 19.00, tetapi pada sekitar jam 23.00 dihentikan;serangan itu tidak berhasil, bahkan seorang prajurit kita mendapat luka par ah”[6]
https://yanabedesahid.blogspot.co.id/p/beda-unik.html
Makna Patung Tugu Tani yang Digosipkan Sebagi Simbol Komunis!
SEJARAH
Soekarno di PadangJapang
Disaat Belanda menyerah kalah kepada Jepang Seokarno tengah dibuang oleh Belanda di Bengkulu. Oleh Belanda Soekarno hendak dibawa ke luar negeri, namun kapal untuk Belanda lari ke luar negeri mengalami pecah di pulau Enggano. Akhirnya Soekarno ditinggalkan begitu saja di Padang. Setelah berjalan kaki dari Bengkulu melalui Muko-Muko, dan terus melewati Indrapura dan Painan dipesisir pantai Barat akhirnya samapai di Padang.“Di Padang Ir.Soekarno dan keluarganya tinggal di rumah dr. Waworuntu, seorang dokter hewan. Dari rumah inilah ia memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang pemimpin perjuangan yang telah bebas darikungkungan Belanda.”[1]
Soekarno berkeliling Sumatera Barat mulai dariPadang dan sekitarnya, ia membangkitkan semangat perjuangan mempersiapkanKemerdekaan Indonesia dengan menemui tokoh-tokoh masyarakat dan mengadakanpertemuan dan rapat-rapat. Ia sering ditemani oleh Sutan Usman Karim ( Suska)yang kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara dan juga sopir.
Soekarno sengajamengunjungi Sjech Abbas Abdullah ke suraunya di Puncak Bakuang (Maret-April)1942, setelah Bungkarno ditinggalkan Belanda di Padang. Ia malah sempat melakukan pembicaraan denganJepang di Padang. Jepang memberikan kelonggaran kepada Soekarno untuk melakukan beberapa persiapan untuk menuju Indonesia Merdeka.
"Orang-orang tua ini baik dari kalanganulama, pemimpin adat dan cerdik pandai segara dapat memahami perkembangankeadaan ketika itu, seperti Sjech Mohammad Djamil Djambek di Bukittinggi, SjechDaud Rasjidi di Balingka dan Sjech Abbas di Padang Japang"[2]halaman 98.
Soekarnomenjumpai Syech Abbas di surau pengajiannyadi Puncak Bakuang, Padang Jopang.
Syech Abbas yang akhirnya diangkat sebagai ImamJihad semasa perang merebut kemerdekaan mempunyai pengaruh yaqng besar di tengahmasyarakat; seperti dituliskan Ahmad Hosen dkk ;
Di Padang Japang Machmud Junus menteri Agama PDRI; Mr T.MHassan yang berkantor di surau Syech Abbas Abdullah, Imam Jihad.Sebagai hasil dari pertemuan itu ia diangkat Menteri Agama PDRI sebagaiSekretaris Kementerian pada 1 April 1949.[3]
KOPIAH "Be - Ka" ( Bung Karno )
Ketika saya masih remaja saya sering mendengar orang tua-tua angkatan ayah saya menyebut Peci, penutu kepalanya dengan sebutan BeKa. "Tolong ambilkan Beka saya ! " maksudnya adalah kopiah atau peci penutup kepalanya. Baru setelah dewasa saya mengerti bahwa istilah BeKa itu adalah Akronim dari Bung Karno. Di kalangan masyarakat itu diartikan sebagai simbol mendudkung perjuangan Bung Karno.
Hal ini bermula wkatu kedatangan Ir. Soekarno ke surau Syech Abbas, ia diberikan hadiah sebuah peci baru pengganti "kopiah" Soekarno yang telah lusuh.
"Ini ada yang baru, ganti lah dengan ini " Ucap Abbas.
"Terima kasih banyak ..." balas Soekarno
" Ya... Nanti ini jadi penutup kepala Negara" balas Abbas
" Ya,.. Insyaalah... " jawab Soekarno, sambil menggantikan penutup kepalanya dengan kopiah yang baru.
" Nanti negera yang hendak dibangun itu, adalah negara bertuhankan Allah, ya..." dilanjutkan Abbas
" Ya.. tentu negara kita berlandaskan kepada Tuhan " jawab Soekarno.
Negara tu harus bertuhan yooo" ;Negarayang hendak didirikan itu harus ber tuhan Allah (Pancasila);
Kopiah memang selalu melekat di kepala Soekarno untuk menutupi kepalanya yang "botak". Demikian pula dengan H. Agus Salim dan Mohmmad Yamin. Sekarang ditetapkan sebagai pakaian Resmi Nasional.
Patut diduga bahwa Kopiah dan Sila Pertama Pancasila, Soekarno termotivasi dan mendapat inspirasi dari pertemuannya dengan Syech Abbas.
Soekarno jugamemberi nama Soekarti kepada adik kanduang Suar Paradeh (Perdas; PersatuanDagang Suliki ) yang didirikan Sjarkawi Rasoel Dt. Ajo Marajo (Ayah SuarParadeh ).
SMP-SMP Darurat semasa PDRI yang diatur Mahmud Junus;berjumlah 24 buah, salah satu diantaranya ditempatkan di sekolah Darul Funun ElAbbasyiah ; nomor urut 12
“12. SMP Darurat di Padang Japang, dikepalai olehSjahbuddin”[4]
“Dalam bulan Juni 1949 Mayor Thalib diangkat menjadiKomandan Pert empuran Kabupaten Lima Puluh Kota menggantikan Kapten Syafei dengan LetnanNurmatias sebagai Kepala Staf. Sejak Mayor Thalib menjabat Komandan Pertempuran Kabupaten Lima Puluh Kota yang berkedudukan di Ampang Godang TujuhKoto, Sektor Singa Harau mendapat tugas mendetasir satu seksi dari Kompi Nazardi Front Payakumbuh Utara”[5]
“Beberapa jam sebelum berlakunya Cease fire, yaitu tanggal14 Agustus 1949 jam 24.00 Letnan-I Azhari Abbas mendapat per intah dariKomandan pertempuran Mayor Thalib untuk merebut Pos musuh yang di Tiakar Guguk.Serangan dilancarkan dari jam 19.00, tetapi pada sekitar jam 23.00 dihentikan;serangan itu tidak berhasil, bahkan seorang prajurit kita mendapat luka par ah”[6]
[1]Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;I halaman 45
[2]Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;I halaman 98
[3]. [3]. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II, halaman435.
[4]. [4]. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II, halaman437
[5].4. SejarahPerjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II; halaman 519
[6]. 4. SejarahPerjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950;II; halaman 519
====
1.Letnan Muda Martais, tewas di medan tempur Padang Area.
2. Ajun Kombes Pol . Mohd Sarong, Ajudan Teuku Mohd.Hasan ( Wakil Ketua PDRI ) BERKANTOR di Darul Funun El Abbasiyah Padang Jopang.
3. Foto bersama Syech Abbas Abdullah ( Baliau Ketek) , Ir. Soekarno dan Syech Mustafa (baliau Godang), sewaktu Soekarno berkunjung ke Padang Jopang 1943 (sebelum Merdeka) meminta petunjuk pada beliau dan dihadiahi sebuah Kopiah (peci) dikenal dengan sebutan KOPIAH BE KA, (Bung Karno ), Jadi simbol Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Tarkhir menjadi bagian pakaian resmi acara kenegaraan.
2. Ajun Kombes Pol . Mohd Sarong, Ajudan Teuku Mohd.Hasan ( Wakil Ketua PDRI ) BERKANTOR di Darul Funun El Abbasiyah Padang Jopang.
3. Foto bersama Syech Abbas Abdullah ( Baliau Ketek) , Ir. Soekarno dan Syech Mustafa (baliau Godang), sewaktu Soekarno berkunjung ke Padang Jopang 1943 (sebelum Merdeka) meminta petunjuk pada beliau dan dihadiahi sebuah Kopiah (peci) dikenal dengan sebutan KOPIAH BE KA, (Bung Karno ), Jadi simbol Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Tarkhir menjadi bagian pakaian resmi acara kenegaraan.
Bukti Jejak Ulama dan Para Prajurit Turki di Aceh
Photo :
- VIVA.co.id/Dani Randi
VIVA – Hubungan Turki dan Aceh sudah terjalin sejak cukup lama. Bahkan menurut catatan sejarah, hubungan itu sudah terbangun sejak era Kerajaan Aceh Darusalam.
Berlokasi di Gampong Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, Aceh, Bitai adalah desa yang menyimpan bukti hubungan antara Aceh dan kekhalifahan Turki Usmani. Desa ini menjadi saksi sejarah Aceh membina hubungan yang sangat dekat dengan Turki pada saat itu.
Di Desa Bitai ini terdapat makam para ulama, guru hingga prajurit Turki. Sementara penyebaran dan perkembangan agama Islam khususnya di Aceh juga tidak terlepas dari peran ulama asal Turki, Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi, yang kemudian dikenal sebagai Tengku Syech Di Bitai.
Pada kompleks makam Tengku Di Bitai, terdapat 25 makam yang mengelilingi makam Sultan Salahuddin. Tujuh di antara makam itu terbuat dari batu cadas, dan 18 lainnya terbuat dari batu sungai. Sebagian batu nisannya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa Arab. Di puncak Nisan yang berbentuk cembung di atasnya terdapat lingkaran sisi delapan.
Tujuh makam yang terbuat dari batu cadas itu berada di dalam benteng yang yang usai tsunami melanda Aceh, makam-makam tersebut direnovasi. Tiga di antaranya disemen secara terpisah dan sisanya hanya diberi sekat-sekat kecil.
“Di tempat itu makam para ulama semua dan satu orang ratu, makamnya yang paling ujung,” kata Azimah, penjaga makam Tengku Di Bitai saat dijumpai di lokasi, Jumat, 20 Oktober 2017.
Sementara di sisi kiri kompleks makam tersebut terdapat sebuah gundukan yang di atasnya ada beberapa makam dengan nisan tua. Di kompleks itu juga terdapat masjid Turki yang sudah direnovasi dengan empat buah kubah yang dijadikan sebagai pusat aktivitas keagamaan warga sekitar.
Selain itu, ada juga bangunan berukuran 6×6 Meter. Di dalam bangunan ini terdapat satu miniatur kapal yang dibingkai dengan kaca. Di dinding dalam ruangan tersebut digantung lukisan Sultan Selim dan lukisan sultan lainnya. Diterakan pula silsilah garis keturunan Tengku Syech Di Bitai.
Perkembangan Islam di Bitai pada waktu itu sangat maju karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam, termasuk dari Malaya dan negara dari Asia Tenggara lainnya.
“Dulu di Gampong (desa) Bitai ini ada pesantren. Banyak orang luar yang menimba ilmu agama Islam di sini, termasuk sultan dan raja-raja dari luar Aceh. Di sini juga jadi pusat keagamaan,” ujarnya.
Setelah menuntut ilmu agama di Aceh, kata dia, mereka mengembangkan lagi ajaran itu di negaranya masing-masing. Sementara ada juga raja-raja yang menganut agama Buddha akhirnya masuk Islam.
Makam para ulama dan prajurit Turki ini menjadi daya tarik bagi pelancong yang ingin mempelajari sejarah Islam di Asia. Azimah mengatakan, pengunjung makam ini bukan hanya didominasi wisatawan dari negara Turki, namun juga banyak peneliti dari negara Timur Tengah yang datang berkunjung.
Makam para ulama dan prajurit Turki ini menjadi daya tarik bagi pelancong yang ingin mempelajari sejarah Islam di Asia. Azimah mengatakan, pengunjung makam ini bukan hanya didominasi wisatawan dari negara Turki, namun juga banyak peneliti dari negara Timur Tengah yang datang berkunjung.
"Termasuk peneliti dari Jepang juga pernah ke sini hanya melihat dan mencari tahu peninggalan Turki di Aceh," sebutnya.
Area kompleks pemakaman ini juga disebut sebagai kampung Turki. Setelah terjadinya tsunami, pemerintah Turki membangun ratusan rumah bantuan di sekitar makam yang diperuntukkan bagi masyarakat. (ase)
Sumber VIVA.co.id
http://www.viva.co.id/berita/dunia/969349-bukti-jejak-ulama-dan-para-prajurit-turki-di-aceh
====https://yanabedesahid.blogspot.co.id/p/beda-unik.html
Liputan6.com, Jakarta - Pidato politik Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memicu polemik. Masalahnya berpangkal pada pernyataan Anies yang menggunakan istilah 'pribumi.'
"Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini setelah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri," kata dia, di Balai Kota Jakarta, Senin 16 Oktober 2017 malam.
Polemik pun bergulir. Pidato Anies langsung direspons banyak orang. Tak sedikit warganet di media sosial, termasuk Twitter, menyayangkan kalimat yang disampaikan Anies berbau sentimen negatif.
Kata 'pribumi' memuncaki trending topic Twitter di Indonesia pada Selasa 17 Oktober 2017 pukul 09.45 WIB. Ada yang mendukung, ada pula yang mencibir.
Di antara pro-kontra pernyataan Anies, Liputan 6.com merangkum kisah delapan orang non-pribumi yang turut berjasa dalam perjalanan perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Berikut daftarnya:
Tang Kim Teng dan Douwes Dekker
Tang Kim Teng
Satu warga keturunan Tiongkok yang layak dikenang dalam perjuangan kemerdekaan RI yaitu Tang Kim Teng. Pria kelahiran Singapura pada 1921 itu bergabung dengan Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah.
Pada buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa, sebelum bergabung dalam militer, Tang Kim merupakan pengusaha kedai kopi di Pekan Baru.
Dia memutuskan untuk menjadi tentara ketika dia diajak sahabatnya, Tan Teng Hun dan Hasan Basri, untuk ikut turun ke medan perang.
Kim Teng kemudian ditempatkan di Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah. Tugas yang diberikan kepada Tang Kim Teng tidak mudah: mencari senjata, bahan peledak, seragam tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lain di Singapura
Tak hanya itu, dia juga ditugaskan sebagai penyusun siasat dan memata-matai kekuatan lawan di bawah pimpinan Letnan Satu RA Priodipuro.
Sejumlah misi yang diberikan kepada Kim Teng berhasil dijalankan dengan baik. Salah satunya, membawa sejumlah senjata serta pampasan perang dari Jepang. Dia bahkan beberapa kali lolos dalam perjalanan Pekanbaru-Singapura untuk membawa senjata dan memberikan kepada pasukan Indonesia
Douwes Dekker
Satu warga non-pribumi keturunan Belanda yang berjasa begitu besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah Ernest Eugene Douwes Dekker. Pria kelahiran Pasuruan, pada 8 Oktober 1879 itu, memang warga keturunan, namun jiwanya sangat "Indonesia."
Dia menjadi salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, dengan menjadi penulis yang kritis terhadap rezim Hindia Belanda, wartawan, dan aktivis politik.
Dekker adalah salah satu dari Tiga Serangkai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Dia mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900–1902). Kesadaran ini membuat Douwes Dekker mulai mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Kritik pertamanya adalah sebuah tulisan berjudul ‘Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?’ yang dimuat dalam Nieuwe Arnhemsche Courant pada 1908.
Kemampuan menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief.
Dari pengalamannya sebagai jurnalis, dia mulai merintis kemampuan berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial.
Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro-kaum nasionalis.
Rumah Dekker di dekat Stovia, sekolah dokter di Batavia, menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo, untuk berdiskusi.
Boedi Oetomo, organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.
Pada Maret 1910, ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk pembangunan lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda.
Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten, dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Akibat sering menyerang kebijakan politik kolonial Belanda, Dekker dituding sebagai avonturir, oportunis, dan penipu internasional. Bahkan, kalangan konservatif yang pro-Belanda menyebutnya “pembawa keonaran”.
2 dari 5 halaman
Yap Tjwan Bing dan Idjon Djanbi
Yap Tjwan Bing
Setelah pemerintah Jepang membubarkan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jepang mengizinkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 2017. Soekarno ditunjuk sebagai Ketuanya.
Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa.
Untuk utusan dari warga keturunan Tionghoa, ditunjuklah seorang sarjana farmasi, lulusan Universitas di Amsterdam yang aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Setelah lulus sebagai sarjana farmasi dari Universitas Amsterdam pada 1939, Yap sempat mendirikan apotek di Bandung dan kemudian aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari biografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan, sejak berumur 18 tahun Yap sudah menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Bung Karno dan Bung Hatta.
Namun, karena masih muda, pengetahuan politiknya belum banyak.
Baru di Belanda (1932-1939) dia berkesempatan membaca buku politik sebanyak mungkin dan ikut persidangan-persidangan para mahasiswa Indonesia yang tengah berusaha memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, di bawah pimpinan Bung Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, dan kawan-kawan. Sekembalinya ke tanah air, minatnya dalam politik dilanjutkan.
Pada bulan Agustus 1945 ia diangkat sebagai anggota PPKI, pada tanggal 18 Agustus 1945 ia menghadiri pengesahan UUD 1945 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pada 27 Agustus 1945, PPKI dibubarkan dan saat itu juga dibentuk KNIP, Yap Tjwan Bing diangkat sebagai salah satu anggotanya.
Dari Februari sampai Agustus 1950, ia duduk dalam DPR-RIS sebagai satu-satunya keturunan Tionghoa yang mewakili Pemerintah RI. Ketika pada Agustus 1950 terbentuk DPR-Sementara, Yap tetap menjadi anggota, tetapi sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI) sampai digantikan oleh Tony Wen.
Karena kesehatan putranya memerlukan perawatan khusus, ia beremigrasi ke Amerika pada 1963 dan meninggal pada 1988.
Idjon Djanbi
Idjon Djanbi memiliki nama lengkap Mochamad Idjon Djanbi. Dia merupakan seorang pria Belanda yang lahir di Booskop, Belanda, 13 Mei 1914. Sebelum menjadi warga negara Indonesia, nama asli Idjon adalah Rokus Bernadus Visser.
Setelah Jepang kalah, Idjon masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Berkat kemampuannya, dia memimpin sekolah terjun payung di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia. Sekolah terjun payung itu kemudian pindah ke Cimahi. Pada 1947, pangkatnya sudah kapten.
Idjon ternyata betah di Indonesia, dan setelah Tentara Belanda angkat kaki, dia memilih tinggal di Indonesia.
Dikutip dari situs resmi Kopassus, www.kopassus.mil.id, Mayor Mochamad Idjon Djanbi merupakan mantan Kapten KNIL yang pernah bergabung dengan Korps Special Troopen dan pernah bertempur dalam Perang Dunia II.
Idjon diangkat menjadi komandan pertama Kesatuan Komando Teritorium III yang merupakan cikal bakal Korps Baret Merah Kopassus .
Dalam perjalanannya satuan itu beberapa kali mengalami perubahan nama di antaranya Kesatuan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1953, Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) pada 1952. Selanjutnya berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1955.
Pada 1966, satuan ini kembali berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (Puspassus TNI AD), berikutnya pada 1971 nama satuan ini berganti menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Pada 1985, kesatuan ini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sampai sekarang.
Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta, 1 April 1977. Pada HUT Kopassus ke-25 pada 16 April 1977 di Yogyakarta, Idjon menerima penghargaan kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel. Nama Idjon Djanbi diabadikan menjadi nama Ksatrian Pusat Pendidikan Kopassus Batujajar, Jawa Barat.
3 dari 5 halaman
Tan Eng Hoa dan Abdurrahman Baswedan
Tan Eng Hoa
Mr. Tan Eng Hoa merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika Ketua BPUPKI, Radjiman Wediodiningrat, membentuk panitia-panitia kecil, Mr Tan masuk dalam Panitia Hukum Dasar.
Panitia itu dipimpin Ir Sukarno. Tan Eng Hoa yang lahir di Semarang, Jawa tengah, 1907, lulus menjadi sarjana hukum.
Dengan latar belakang itu ia banyak memberi masukan dalam penyusunan undang-undang dasar. Ahli sejarah Tionghoa, Didi Kwartanada, mengatakan Tan berkontribusi membangun pondasi demokrasi.
Tan meletakkan dasar kebebasan berserikat. Dalam suatu kesempatan rapat, ia mengusulkan penambahan ayat pada pasal 27 Undang-Undang Dasar. Usul itu mengatur kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan sebagainya.
Belakangan, Sidang BPUPKI memutuskan ayat itu dibuat menjadi pasal tersendiri. Ayat yang diusulkan Tan menwujud dalam pasal 28 UUD 1945, yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berlaku hingga saat ini.
"Tentu saja (kebebasan berserikat) amat diperlukan di dalam negara demokrasi," kata Didi.
Sayangnya, sedikit informasi yang bisa menjelaskan sosok Tan Eng Hoa.
Abdurrahman Baswedan
Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan adalah pejuang kemerdekaan sekaligus diplomat dan sastrawan Indonesia. Ia tak lain merupakan kakek Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Lahir di Surabaya, 9 September 1908, AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ia pernah menduduki beberapa posisi penting seperti Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, dan anggota Dewan Konstituante.
AR Baswedan adalah salah seorang diplomat pertama Indonesia. Ia berhasil memperjuangkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia, yaitu dari Mesir.
Pria merupakan keturunan Arab yang fasih berbahasa Jawa. Dalam perjuangannya, dia menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia.
Ia menginisiasi penyelenggaraan Sumpah Pemuda Keturunan Arab, 4 Oktober 1934, di Semarang. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku.
Sumpah itu juga mendeklarasikan agar keturunan Arab berbaur dalam kehidupan bermasyarakat. AR Baswedan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986, pada usia 77 tahun.
4 dari 5 halaman
HJ Princen dan Oen Boen Ing
HJ Princen
Johannes Cornelis Princen adalah anggota militer Belanda yang membelot ke Indonesia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL ini, memberontak ketika melihat ketidakadilan Belanda kepada rakyat Indonesia.
Princen muak menyaksikan tindakan negaranya sendiri. Padahal Indonesia saat itu sudah menyatakan diri merdeka. Pada 26 September 1948, Princen memutuskan meninggalkan KNIL di Jakarta dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Kondisi politik dan sosial di Indonesia telah mengubah pandangannya terhadap kaum pribumi yang disebut kaum ekstremis oleh pemerintahan Belanda," kata seorang sejarawan Mohammad Iskandar kepada Liputan6.com.
Princen atau yang lebih akrab dipanggil Poncke, merupakan salah seorang 'bule' yang ikut berjasa dalam penyamaan hak-hak warga Indonesia. Saat Belanda menyerang Yogyakarta pada 1949, ia telah bergabung dengan Divisi Siliwangi di Purwakarta.
Poncke ikut serta dalam longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Saat bergabung dengan divisi Siliwangi, ia menikahi perempuan Sunda.
Di masa Orde Baru dan Orde Lama, ia dikenal aktif menyuarakan demokrasi. Pocke beberapa kali ditahan oleh pemerintah karena terlalu vokal. Peraih Bintang Gerilya ini wafat pada 22 Februari 2002, akibat penyakit yang dideritanya.
Oen Boen Ing
Dr. Oen Boen Ing merupakan salah satu dokter yang ikut berjuang membantu mengobati prajurit di era perjuangan kemerdekaan.
Seperti dikutp dari www.droenska.com, pada 29 Januari 1933, delapan pemuda asal Tionghoa mendirikan klinik bernama Tsi Sheng Yuan. Dr. Oen mulai praktik di klinik tersebut sejak 1935. Belakangan nama klinik diganti menjadi RS Panti Kosala.
Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat. Klinik ini menampung para pejuang dan pengungsi.
Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit.
Pemerintah menyematkan Satya Lencana Bhakti Sosial bagi Oen Boen Ing pada 30 Oktober 1979. Penghargaan itu sebagai ganjaran jasa-jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat. Oen Boen Ing juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Toemenggoeng Oen Boen Ing Darmohoesodo.
Pada 24 Januari 1993, Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Toemenggoeng menjadi Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Darmohoesodo.
=======
Pada PERISTIWA SITUJUH tanggal 15 Januari 1949 telah membuat wafat 60 orang pejuang dari pejabat militer Republik Indonesia dan rakyat sipil setelah dikepung Belanda ketika telah selesai mengadakan rapat pada waktu menjelang shubuh.
Dalam peristiwa tersebut tercatat ada beberapa orang dari pihak Republik yang lolos. Di antaranya Engku Abdullah, Jahja Djalil, Arifin Alip, Sidi Bakarudin, Syamsul Bahar dan Baharuddin Datuk Bagindo atau lebih dikenal dengan DBD atau Datuk Gagok.
Datuk Gagok ini rumahnya di Tiakar. Kalau dari arah Labuah Silang menuju Taram terletak di sebelah kanan sebelum simpang ke Padang Alai dekat Rumah Makan Anton Saiyo.
Di halaman rumah yang sekarang dulunya pada masa agresi militer kedua ada rumah yang dirampas oleh Belanda yang dijadikan sebagai markas. Dan markas tersebut berhasil dikepung oleh prajurit Republik yang dipimpin oleh Kapten Azhari dari Kesatuan Singa Harau dan membuat Belanda menyerah.
Foto di bawah ini adalah potret Datuk Gagok bersama Presiden Sukarno dan Moh. Yamin dalam peresmian perusahaannya DBD dalam memproduksi korek api 1001 yang masih sering kita gunakan sampai saat ini.
Sepanjang karirnya, Datuk Gagok dikenal sebagai pejuang, penghulu bagi kaumnya, pebisnis yang menjadi orang Indonesia pertama menjalin hubungan kerjasama dengan Jepang.
Foto satu lagi adalah potret ibuk Merita anaknya Datuk Gagok yang memberikan banyak informasi tentang Datuk Gagok. Dan ini secarik lembaran sejarah dari tokoh yang kampungnya di Tiakar.
Makna Patung Tugu Tani yang Digosipkan Sebagi Simbol Komunis!
Copyright©dist.brta |
Indowarta.com– Beberapa demonstran pada hari Jumat pekan lalu telah memberikan tudingan Patung Tugu Tani merupakan salah satu simbol komunis di Indonesia. Sontak saja bahwa hal ini telah menjadi buah bibir tersendiri di berbagai halaman media. Sebenarnya apa makna dari patung yang berdiri semenjak tahun 1963 tersebut?
Copyright©detik |
bahwa patung Tugu Tani itu adalah patung pahlawan simbol dari keberhasilan pertempuran di Timur Indonesia. Moeldoko did alam pernyataan tertulis ini pada hari Selasa 3 Oktober 2017 ini telah menyebutkan “Patung itu adalah Patung Pahlawan. Patung itu cermin dari keberhasilan pertempuran di Irian Barat sehingga dilukiskan dalam bentuk patung”.
Patung Tugu Tani tersebut telah melambangkan seorang ibu yang telah membekali anaknya yang hendak pergi ke medan operasi. Sebuah tulisan terpahat di bagian patung tersebut berdiri “Hanya Bangsa yang dapat Menghargai Pahlawan-pahlawannya yang dapat Menjadi Bangsa Besar”.
Mantan KSAD ini telah mengatakan “Simbol itu menggambarkan bagaimana seorang ibu membekali anaknya yang akan berangkat ke medan operasi. Itu sebenarnya simbol dan ditarik menuju doktrin sistem pertahanan negara”.
Sistem pertahanan negara yang dimaksud ini adalah sistem pertahanan rakyat semesta sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945. Moeldoko telah mengatakan “Bahwasanya sistem pertahanan negara tidak hanya dibangun bukan hanya oleh TNI. Di situ ada komponen cadangan (rakyat) dan di situ ada kompenen pendukung”.
Menurutu Moeldoko, jika semua pihak nantinya memaknai secara positif mengenai sistem pertahanan rakyat semesta yang telah digambarkan leh patung pahlawan teresbut, maka ini akan bisa menjadi salah satu faktor yang akan membuat negara lainnya menjadi gentar.
Moeldoko menegaskan “Ini sebuah deterrent factor terhadap negara-negara lain. Hati-hati lho jangan coba-coba menyerang Indonesia, karena semua dari bangsa Indonesia memiliki hak untuk mempertahankan kedaulatan negaranya”.
Moeldoko mengatakan baha setiap orang harus bisa bijak di dalam memaknai setiap simbol yang ada. Moeldoko mengatakan “Jangan lihat dari fisiknya, tapi melihat untuk apa patung itu dulu dibuat”.
=====
=====
Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika, itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.
Ketiga lembaga itu adalah National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dkeduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
- Nasib rekonsiliasi 'jalan di tempat ' di tengah kegaduhan fobia komunisme
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
- Jokowi perintahkan pencarian kuburan massal korban peristiwa 1965
Data dan fakta ini menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.
Para anggota dan simpatisan PIKI itu "kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September," tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo mengatakan tidak bisa membantah maupun mengiyakan terjadinya pembantaian pasca 30 September 1965.
"Saya tidak dalam posisi membenarkan atau menolak fakta itu. Tragedi 1965 adalah pertarungan kekuasaan antara PKI dan Angkatan Darat," kata Agus, yang juga putra Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, salah satu dari tujuh korban 30 September 1965.
Berikut ini adalah beberapa fakta terkait tragedi 1965 yang tersaji dalam laporan diplomatik yang memuat juga soal konfrontasi dengan Malaysia, kondisi Irian Barat, dan perang Vietnam tersebut.
Angkatan Darat 'mempertimbangkan' menjatuhkan Soekarno
Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri AS di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, "Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu."
- 10+1 Catatan konflik budaya di sekitar 1965
- Galeri Foto : Ketegangan pasca G30S
- Simposium 'anti-PKI': Pensiunan jenderal, kaum radikal dan Haji Lulung
Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, "Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil."
Disebutkan, Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat.
Hal itu terkait perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang menyebutkan Soekarno menerima pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan malah memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan jengkel.
Rencana membunuh Omar Dani
Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18 Oktober 1965.
Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh "Angkatan Darat/kelompok Muslim".
"Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka," kata Sutarto dikutip laporan tersebut.
Bahkan lebih lanjut Sutarto menyebutkan, "Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia." Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.
Adnan Buyung Nasution turut melemahkan PKI dan Soekarno
Adnan Buyung Nasution ketika itu adalah seorang jaksa berusia 31 tahun. Dalam perbincangannya dengan Sekretaris Kedua Kedutaan Amerika Robert Rich, Buyung mengatakan perlunya terus menyasar organisasi-organisasi komunis guna menghancurkan kekuatan PKI.
Buyung juga mengatakan bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis, namun fakta itu harus disembunyikan."
"Represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno," kata Buyung seperti ditulis telegram Kedutaan Amerika untuk Kemenlu tanggal 23 Oktober 1965.
Buyung yang disebutkan dua kali mendatangi Kedutaan untuk berdiskusi yakni pada 15 dan 19 Oktober 1965, juga menyampaikan informasi lainnya. "Beberapa elemen tentara berencana membebaskan pimpinan Masjumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI," tulis laporan tersebut. Namun Buyung mengangap situasi politiknya trlalu pelik di luar, sehingga tampaknya mereka leboih aman tetap berada di penjara ketimbang di tempat lain.
Dalam biodatanya Buyung disebutkan sebagai asisten pribadi jaksa agung sejak 1964 dan pernah bekerja di intelejen kejaksaan. Pada 1961, Buyung adalah perwakilan kejaksaan yang bertanggung jawab pada perencanaan keamanan bagi Jaksa Agung Robert Kennedy yang akan berkunjung ke Indonesia.
Kerusuhan rasial menyasar etnik Tionghoa
Seiring propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat, sentimen anti-Cina juga berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding adalah pendukung, bahkan, anggota PKI.
Telegram Kedutaan untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan, "90 persen toko-toko milik orang Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang dilakukan hampir seluruh penduduk." Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.
Dalam kabel diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
Kader PKI tidak tahu apa yang sedang terjadi
Dalam telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965, digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
- Mengungkap kebenaran, menggelar rekonsiliasi
- 'Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal'
- Simposium anti-PKI 'tidak' dorong rekonsiliasi
Si jurnalis yang disebutkan itu adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. "Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," tulis laporan itu.
Informasi serupa dikonfirmasi Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Si aktivis sama sekali tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi mereka. "Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno," ujar sang diplomat.
Jihad membantai ribuan orang di daerah
26 November 1965 laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan terus mendapatkan laporan pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung setidaknya 15.000 komunis dibunuh.
"Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga)," tulis laporan tersebut.
Angkatan Darat persenjatai Hansip untuk bunuh PKI
Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.
"Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera," tulis laporan tersebut.
Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. "Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah tentara."
Berita terkait
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
- 10+1 Catatan konflik budaya di sekitar 1965
- Nasib rekonsiliasi 'jalan di tempat ' di tengah kegaduhan fobia komunisme
- Aktivis penolak tambang emas ditahan, 'kriminalisasi pembela HAM terus terjadi'
- Dari ‘maaf ke PKI’ hingga ‘pribumisasi Islam’, lima hal menarik tentang Gus Dur
- Megawati keluhkan tudingan PDIP sebagai 'jelmaan Partai Komunis Indonesia'
- Korban peristiwa 1965 terima anugerah HAM di Korsel
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat (Chairil Anwar) dan ini bernama Bukit Luncung di Padang Mungguak, nagari Sitanang (lbh kurang 15 km dr kota Payakumbuh) yang menjadi tempat tahanan bagi siapa saja yang dicurigai sebagai mata-mata dan kaki tangan Belanda pada masa agresi militer Belanda yang kedua.
Dengan sidang militer seperlunya, seseorang akan dieksekusi hukuman mati di sini. Dan itu bukan untuk dia saja melainkan bagi seluruh keluarga, meskipun anak-anak ataupun usia lanjut. Ada yang dikubur ala kadarnya dan ada juga yang dibuang ke Batang Sinamar yang tidak jauh dari situ. Sehingga pada saat agresi militer Belanda yang kedua tersebut, Batang Sinamar banyak dipenuhi oleh mayat-mayat yang telah dieksekusi mati karena diduga sebagai mata-mata dan kaki tangan Belanda.
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat. Semoga menjadi pelajaran dan hikmah untuk mereka di generasi mendatang 😢
Tidak ada komentar:
Posting Komentar