Densus 88 Tangkap Terduga Teroris yang Mau Bom Mako Brimob
Penjagaan ketat terlihat di depan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, serta dihiasi sejumlah karangan bunga yang dikirimkan dari pejabat negara, Jumat (11/5). Foto: Republika/Rahma Sulistya |
Sumber : Senin 14 May 2018 20:58 WIB
Red: Andri Saubani
Antara/ http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/14/p8q1hw409-densus-88-tangkap-terduga-teroris-yang-mau-bom-mako-brimob
Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/laporan-khusus-44107881......BBC-London.
Rentetan Teror di Tahun Politik
Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
Kurang dari sepekan, Indonesia dilanda rentetan teror pola baru. Pertama, teror dilakukan dengan membantai secara sadis lima polisi di dalam Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI (Mako Brimob) di Depok yang disiarkan secara langsung melalui media sosial milik para pelaku pada 8 Mei 2018. Kedua, penusukan aparat kepolisian di depan Mako Brimob pada 9 Mei 2018 dan kemarin kita dikejutkan lagi dengan aksi teror di tempat ibadah umat Nasrani di Surabaya. Apakah ini aksi teror murni ataukah ada muatan sosial-politik lainnya? Mengapa kita sebagai bangsa seolah-olah tidak belajar dari peristiwa-peristiwa teror sebelumnya, sejak bom Bali pertama pada 2002?
Tanpa bermaksud mendahului hasil investigasi dari aparat kepolisian, saya untuk sementara mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, sulit rasanya untuk tidak melihat rentetan aksi teror ini berdiri sendiri. Serangan di Rutan Mako Brimob itu menjadi sebuah pemantik dari sebuah rencana teror yang telah dipersiapkan secara matang oleh para pelaku. Lalu, apakah serangan ini digerakkan oleh satu tokoh sentral seperti Aman Abdurrahman? Bukankah ia di dalam penjara dan sekarang sedang menjalani persidangan kasus teror di Starbucks Thamrin pada 2016?
Aspek baru dari terorisme sekarang adalah munculnya beragam platform media sosial, seperti Facebook, Telegram, dan WhatsApp, yang berperan dalam menyebarluaskan dan menyemangati antar-anggota jaringan serta berkoordinasi akan serangan lanjutan.
Menurut hemat saya, sosok seperti Aman itu hanyalah penjual "pisau tajam" yang laku keras karena disebarluaskan penjualannya melalui media sosial. Para "pembeli" boleh jadi belum pernah bertemu sama sekali dengan pembuat pisau. Namun mereka dengan sukacita memberikan "tinjauan" tentang keampuhan pisau ini kepada calon pembeli lainnya. "Pisau tajam" ini adalah ideologi takfiri, ideologi yang mengkafirkan kelompok di luar mereka, terutama ideologi Pancasila yang dianggap sekuler. Ironisnya, ideologi ini kemudian dibalut dalam bahasa agama. Di tengah sentimen keberagamaan masyarakat yang meninggi seperti sekarang ini, maka ideologi takfiri mendapat pasarnya.
Kedua, munculnya seorang ibu yang membawa anak sebagai pelaku teror haruslah ditanggapi dengan serius. Pola baru ini akan memprovokasi kaum lelaki dari jaringan tersebut bergerak lebih menggila. Serangan ini seolah-olah memberikan pesan: "Di mana kalian wahai para lelaki tentara daulah (sebutan bagi pendukung ISIS)? Haruskah kami para perempuan dan anak-anak yang melakukan amanat jihad ini? Mengapa kalian masih berdiam diri?" Pesan ini bukan rekaan saya, tapi sudah bermunculan di berbagai media sosial para pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa perempuan pendukung ISIS untuk pembuatan film dokumenter Pengantin, saya menemukan justru para perempuan lebih radikal dan setia dalam mendukung ISIS. Di media sosial, mereka menemukan ruang untuk bisa berperan langsung dalam aksi jihad. Mereka tidak senang melihat suami mereka melunak.
Tapi saya perlu menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu panik dan berburuk sangka kepada para perempuan bercadar hitam. Mereka memang mempunyai cara pandang dan selera berpakaian tidak seperti masyarakat umum, tapi bukan berarti mereka semua berpikiran seperti ISIS, apalagi berniat menjadi teroris.
Ketiga, hampir semua aksi terorisme di dunia punya dimensi politik. Ketika terjadi serangan 11 September di New York, Amerika Serikat, Presiden George W. Bush mendapat dukungan politik yang tinggi. Bahkan jumlah warga Amerika yang kemudian mendaftar ke militer sebagai bentuk ekspresi patriotisme meroket.
Ironisnya, setiap teror muncul di sini, justru masyarakat seolah-olah terbelah dua. Kelompok pertama jelas mengecamnya. Sedangkan kelompok kedua, terutama yang anti-rezim penguasa, cenderung menuding bahwa teror ini adalah rekayasa atau pengalihan isu atas kondisi sosial-politik atau ekonomi. Bahkan ada yang terang-terangan menyebut teror ini hanya upaya memojokkan Islam. Hal ini mengaburkan masalah bahwa ancaman terorisme itu nyata dan semakin tersebar.
Serangan bom di Surabaya bukanlah yang terakhir. Pisau takfiri itu sudah telanjur laku keras. Negara harus bergandengan tangan dengan masyarakat untuk melawan terorisme ini bersama-sama
Melawan Terorisme
Senin, 14 Mei 2018 07:15 WIB
Serangan bom bunuh diri di Surabaya menunjukkan gerombolan orang yang berideologi maut tak berhenti mencari kelengahan kita. Ledakan bom secara beruntun di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 13 orang--enam pelaku dan tujuh korban masyarakat--serta melukai 45 orang itu juga memperlihatkan lemahnya kerja intelijen. Lembaga yang berwenang menangani terorisme--Badan Intelijen Negara, Kepolisian RI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme--gagal mencegah perbuatan jahat mereka.
Semestinya, setelah teroris berulah dan membunuh lima polisi di Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada pekan lalu, BIN bersama Polri dan BNPT segera melakukan antisipasi. Memang, setelah insiden di Mako Brimob, polisi menangkap sejumlah orang di Bekasi, Karawang, dan Cianjur. Meski begitu, polisi gagal mengantisipasi pergerakan jaringan teroris ini sehingga pengeboman laknat terjadi.
Serangan di Surabaya, juga di Mako Brimob dan serangan lain yang mengiringi, seperti diungkapkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, dilakukan oleh Jamaah Ansharud Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid, yang berbaiat kepada kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok ini amat jahat. Di antaranya mereka bertanggung jawab atas bom di Terminal Kampung Melayu dan bom di Jalan Thamrin, Jakarta.
Bom Surabaya menandakan bahwa ISIS telah mengaktifkan sel-sel yang selama ini "tidur". Gerakan baru ini, menurut polisi, bahkan mulai melibatkan wanita dan anak-anak. Jika benar, ini mencerminkan bahwa teologi maut telah menjadi bagian dari pendidikan keluarga pelaku.
Pelibatan anak-anak ini memberikan pesan kepada kita untuk terus melakukan deradikalisasi. Pemerintah dan masyarakat harus bergerak cepat agar generasi milenial tak sampai dipengaruhi oleh ideologi teror. Radikalisasi perlu ditangkal di hulu dan hilir.
Masyarakat dan organisasi keagamaan seharusnya mulai mengutuk secara terbuka dan lantang, orang ataupun kelompok yang menyebarkan ajaran kekerasan dan permusuhan terhadap kelompok lain. Jangan sampai kelompok radikal bisa seenaknya mengasosiasikan diri dengan suku, golongan, atau agama tertentu. Mereka mesti dipojokkan secara sosial. Selain itu, aparat mesti tegas menindak pelaku anjuran kekerasan, terutama di media sosial, yang jelas-jelas melanggar hukum.
Publik dan aparat seyogianya bersatu-padu menekan berkembangbiaknya ideologi kekerasan yang berbasis kepercayaan dan agama. Tapi gagasan merevisi Undang-Undang Terorisme ataupun penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, serta memberi kewenangan kepada polisi untuk menangkap orang tanpa bukti awal yang kuat, mesti ditentang. Terorisme kita kutuk dan lawan, tapi upaya penanggulangan teror janganlah sampai melawan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/laporan-khusus-44107881......BBC-London.
Pengeboman Surabaya: Empat bom dalam dua hari
LIVE #LIVE Serangan bom Surabaya: Presiden Joko Widodo 'ancam keluarkan Perppu'
Menanggapi rangkaian serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo -yang menewaskan 25 orang- Presiden Joko Widodo meminta DPR dan kementrian terkait segera menyelesaikan revisi UU Tindak Pidana Teroris.
Antara #PrayForSurabaya dan orang-orang yang 'tak percaya' serangkaian aksi bom bunuh diri
Setelah serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur yang menewaskan sedikitnya 13 orang termasuk enam tersangka, muncul serangkaian unggahan di media sosial yang 'meragukan' kejadian tersebut meski faktanya sudah dikonfirmasi oleh polisi.
- 2 jam lalu
Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?
Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku, tulis Lies Marcoes.
- 6 jam lalu
Sel-sel JAD yang tertidur 'mulai bangkit' waspada aksi serupa bom Surabaya
Pengamat terorisme memperkiarkan aksi-aksi teror lain diperkirakan akan terus berlanjut di Indonesia seiring dengan seruan jihad kepada seluruh anggota Jamaah Anshorut Daulah (JAD).
- 14 Mei 2018
Satu keluarga di balik bom Surabaya: Kapolri minta Presiden terbitkan Perpu antiterorisme
Kapolri meminta agar pembahasan UU antiterorisme di DPR bisa berlangsung lebih cepat atau "kita memohon Presiden untuk membuat Perpu."
- 13 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar