Mantan Hakim Agung, Artidjo (foto: Harits/Okezone)
JAKARTA - Mantan Hakim agung Artidjo Alkostar ikut bicara terhadap wacana boleh atau tidaknya mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg) pada Pileg 2019.
Menurut Artidjo, adanya mantan koruptor yang mencalonkan diri kembali sangatlah memprihantikan dan tidak tepat lantaran rakyat haruslah disajikan pilihan yang terbaik.“Ini kan pejabat publik, kalau sudah korupsi bagaimana mungkin, kan bisa saja nanti korupsi lagi. Saya kira hal yang memprihatinkan kalau koruptor dapat mencalonkan lagi,” ujar Artidjo saat ditemui di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (30/5/2018).
Presiden Jokowi tidak setuju dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan koruptor untuk mengikuti Pileg 2019. Kepala Negara menganjurkan agar KPU memberikan tanda di kertas suara untuk caleg yang merupakan bekas narapidana kasus rasuah.
Melihat hal itu, Artidjo menilai negara Indonesia merupakan negara yang besar dan mempunyai sumber daya manusia yang banyak serta berkualitas, sehingga ia menilai lebih baik diserahkan kepada yang lebih baik.
“Berikan pada yang lain. Secara etika itu lebih baik. Beri prospek masa depan bangsa ini supaya tidak terbebani masa lalu,” terang dia.
Artidjo juga menilai adanya wacana pelarangan mantan napi koruptor menjadi calon legislatif tidak akan melanggar hak asasi manusia. Lantaran HAM antara mantan terpidana dengan orang biasa.
“Ham itu adalah kalo orang sudah terpidana itu hamnya beda dengan orang biasa yang tidak pernah dihukum yang punya hak konstitusional. Tapi mereka terpidana ini haknya sudah diberikan sebagai terdakwa, di pengadilan,” jelasnya
“Jadi dengan demikian ini proses seleksi hukum dan sosial yang menentukan para koruptor cacat secara yuridis,”pungkasnya.(wal)
sumber:
Harits Tryan Akhmad, Jurnalis · Rabu 30 Mei 2018 20:31 WIB
https://news.okezone.com/read/2018/05/30/337/1904651/soal-koruptor-nyaleg-hakim-artidjo-kalau-korupsi-lagi
Siapa Itu Artidjo ?
---------
Artidjo Alkostar adalah seorang ahli hukum Indonesia. Ia merupakan Hakim Agung yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak kasus besar. Wikipedia
Lahir: 22 Mei 1949 (usia 69 tahun), Situbondo, Situbondo
Pasangan: Sri Widyaningsih
Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2007), LAINNYA
Buku: Peran dan tantangan advokat dalam era globalisasi
----------
Artidjo Alkostar adalah seorang ahli hukum Indonesia. Ia merupakan Hakim Agung yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak kasus besar. Wikipedia
Lahir: 22 Mei 1949 (usia 69 tahun), Situbondo, Situbondo
Pasangan: Sri Widyaningsih
Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2007), LAINNYA
Buku: Peran dan tantangan advokat dalam era globalisasi
----------
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar memprediksi para terpidana korupsi akan segera mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu mengatakan, tiadanya Artidjo Alkostar di MA karena sudah pensiun pasti akan dimanfaatkan para terpidana korupsi.
Artidjo sebelumnya merupakan ketua Kamar Pidana MA. Namun, hakim agung yang tak mengenal ampun terhadap terdakwa perkara korupsi itu baru saja memasuki masa pensiun.
"Soal apakah akan banyak koruptor mengajukan PK, ya para koruptor dipastikan akan memanfaatkan peluang ini. Apa pun ceritanya Anas Urbaningrum sudah langsung maju PK," kata Fickar Hadjar saat dikonfirmasi, Selasa (29/5).
Fickar mengatakan, mencari sosok hakim agung seperti Artidjo bukan hal mudah. "Harus diakui bahwa faktor Artidjo menjadi faktor yang menguatkan komitmen penegakan hukum pada jajaran peradilan khususnya MA," ujar Fickar.
Namun demikian, kata Fickar, masyarakat tetap harus mempercayai hukum dan aparaturnya. Dia berharap agar pengganti Artidjo dapat melanjutkan komitmen dalam pemberantasan korupsi.
"Kita berharap akan lahir Artidjo-Artidjo baru di MA yang sedikit banyak telah mengangkat muruah MA, khususnya komitmennya membersihkan Indonesia dari korupsi. Soal pengganti Artidjo sebagai hakim agung, maka harus lebih banyak direkrut dari kalangan profesional yang independen dan mantan aktivis," tutupnya.(ipp/JPC)
Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung. Setelah itu, dia berencana menghabiskan waktu di tiga kota: Jogjakarta, Situbondo, dan Sumenep. Menurut dia, jadi hakim itu, bermimpi mendapat hadiah saja tak boleh.
SAHRUL YUNIZAR, Jakarta
IMAM S. ARIZAL, Sumenep
MENGEMBANG senyum Bagir Manan. Melihat Artidjo sibuk melayani awak media, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) itu lantas berkelakar. ”Biasanya hakim agung nunggu ketua MA. Ini ketua MA nunggu hakim agung,” ucap dia, lantas tertawa kecil.
Bagir adalah salah seorang yang dekat dengan Artidjo. Maklum, dia merupakan pimpinan Artidjo ketika mengawali tugas sebagai hakim agung.
Dalam wawancara kemarin, Artidjo juga sempat menyinggung nama Bagir. ”Jadi, saya ini angkatan Pak Bagir Manan yang terakhir. Yang lainnya sudah pensiun semua,” kata dia.
Dalam buku Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan yang diterbitkan MA khusus untuk menghormati jasa Artidjo, nama Bagir turut hadir. Dia menyisipkan kesannya terhadap sosok Artidjo. Tidak panjang. Tapi, cukup.Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung. Setelah itu, dia berencana menghabiskan waktu di tiga kota: Jogjakarta, Situbondo, dan Sumenep. Menurut dia, jadi hakim itu, bermimpi mendapat hadiah saja tak boleh.
SAHRUL YUNIZAR, Jakarta
IMAM S. ARIZAL, Sumenep
MENGEMBANG senyum Bagir Manan. Melihat Artidjo sibuk melayani awak media, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) itu lantas berkelakar. ”Biasanya hakim agung nunggu ketua MA. Ini ketua MA nunggu hakim agung,” ucap dia, lantas tertawa kecil.
Bagir adalah salah seorang yang dekat dengan Artidjo. Maklum, dia merupakan pimpinan Artidjo ketika mengawali tugas sebagai hakim agung.
Dalam wawancara kemarin, Artidjo juga sempat menyinggung nama Bagir. ”Jadi, saya ini angkatan Pak Bagir Manan yang terakhir. Yang lainnya sudah pensiun semua,” kata dia.
Dalam buku Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan yang diterbitkan MA khusus untuk menghormati jasa Artidjo, nama Bagir turut hadir. Dia menyisipkan kesannya terhadap sosok Artidjo. Tidak panjang. Tapi, cukup.
Menurut Bagir, Artidjo punya modal yang tidak dimiliki banyak hakim agung lainnya. Yakni, pengalaman sebagai praktisi dan teoretisi. Keduanya diperoleh Artidjo sebelum bertugas di MA. ”Menurut saya, penggabungan dua keahlian tersebut merupakan modal yang sangat bagus untuk seorang hakim agung,” kata Bagir dalam buku tersebut.
Masih dalam buku yang sama, Bagir mengungkapkan bahwa Artidjo di matanya merupakan sosok yang baik dan serius dalam bekerja. Dia juga mengenal pria kelahiran 1948 itu sebagai sosok yang tidak pernah menunda pekerjaan.
Soal urusan hukum pidana, Bagir juga tidak pernah segan berdiskusi dengan Artidjo. ”Karena menurut saya, tentang hal itu, beliau lebih paham dari saya,” ungkap Bagir.
Bukan hanya itu. Bagir mengenal Artidjo sebagai sosok yang tidak banyak bicara. Termasuk kepada media. Baik di media cetak maupun media elektronik. Menurut Bagir, itu memang suatu keharusan bagi seoarang hakim.
Sebab, banyak bicara bisa jadi malah menjurus pada pelanggaran kode etik. ”Pak Artidjo memiliki standar seperti itu, dirinya sangat displin tentang kode etik,” papar Bagir. Artidjo pun tidak menampik ketika ditanya soal hal tersebut.
Pascagenap berusia 70 tahun 22 Mei lalu, Artidjo menjadi buruan awak media. Namun, baru Jumat hakim kelahiran Situbondo itu bersedia bertatap muka dengan awak media. Dalam kesempatan tersebut, sedikit banyak Artidjo membuka perjalanan hidupnya.
Termasuk pengalaman selama bertugas di MA. Adalah perkara Presiden Soeharto yang paling membekas di kepala alumnus Universitas Islam Indonesia tersebut.
Kala menangani perkara itu, Artidjo belum lama bertugas di MA. Dia ingat betul perkara tersebut ditangani bersama Syafiuddin Kartasasmita sebagai ketua majelis dan Sunu Wahadi sebagai anggota majelis.
Bukan sebatas tertanam kuat dalam kepalanya, perkara itu juga istimewa bagi Artidjo. Meski, semua perkara sama saja di mata suami Sri Widyaningsih tersebut. ”Setelah mengadili Presiden Soeharto itu, perkara yang lain-lain itu kecil aja,” kata dia.
Ucapan tersebut dibuktikan Artidjo lewat ketokan palu dalam setiap persidangan selanjutnya. Beberapa nama besar pernah merasakan bagaimana tegasnya Artidjo dalam memutus perkara. Khususnya perkara menyangkut kasus korupsi.
Mulai Artalyta Suryani, Irawady Joenoes, Urip Tri Gunawan, Gayus Tambunan, Lutfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Djoko Susilo, Akil Mochtar, sampai O.C. Kaligis.
Meski sering berhadapan dengan orang besar, Artidjo tidak pernah gentar. Tentu dia sadar dengan risiko atas sikap tersebut. Salah satunya ancaman dan gangguan. Pernah, kata dia, sebelum bertugas di MA, dia dikejar untuk dibunuh.
Itu terjadi di Dili, Timor Timur, pada 1992. ”Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah melindungi saya yang didatangi oleh ’ninja’ itu,” kenangnya.
Saat menjadi pembela dalam kasus pembunuhan misterius, sambung Artidjo, dirinya juga pernah diancam ditembak oleh penembak misterius. ”Tentu itu tidak saya hiraukan,” imbuhnya. (*/c10/ttg)
jpnn.com, JAKARTA - Hakim agung Artidjo Alkostar terhitung sejak Selasa lalu (22/5) telah memasuki masa pensiun. Pengadil kelahiran 22 Mei 1949 itu mengakhiri jabatannya sebagai hakim setelah berkarier selama 18 tahun di Mahkamah Agung (MA).
Mengacu Undang-undang MA maka ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu diberhentikan secara hormat dari jabatannya oleh presiden setelah berusia 70 tahun. Selama berkarier di MA, Artidjo mengaku telah memutus 19.708 perkara.
Namun, mantan ketua Kamar Pidana MA itu mencatat hanya satu perkara yang menurutnya rumit untuk diselesaikan. Yakni perkara dugaan korupsi Presiden Soeharto.
"Saya kira semua perkara sama. Tapi waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an, saya pernah menangani perkara Presiden Soeharto," kata Artidjo di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (25/5).
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu menjelaskan, ketua majelis hakim yang menangani perkara Presiden Soeharto adalah Syafiuddin Kartasasmita. Sedangkan Artidjo adalah anggota majelis hakim perkara penguasa Orde Baru itu.
Nahas, Syafiuddin tewas ditembak oleh suruhan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. "Saya menjadi salah satu anggotanya dan waktu keputusan yuridis tetap diadili," tutur Artidjo.
Oleh karena itu, Artidjo menyebut perkara tersebut terbilang rumit karena tercampur opini publik. Dia pun merasa tidak ada lagi perkara besar dan rumit yang pernah ia selain kasus korupsi Soeharto.
"Jadi, tetap selama saya mengadili, perkara yang rumit (adalah) perkara Presiden Soeharto. Yang lain-lain itu kecil aja," jelasnya.
Pria berdarah Madura itu juga mengaku tak luput dari ancaman selama berkiprah di MA. Namun, Artidjo bergeming tanpa ciut nyali.
"Kalau mengancam saya itu salah alamat. Pertama, saya sejak menjadi advokat tidak punya kekuasaan. Tidak pernah takut gitu, tidak pernah," kata tegasnya.
Ancaman pembunuhan sudah dialami Artidjo jauh sebelum jadi hakim agung. Dia mengaku pernah diancam dibunuh ketika sedang berada di Dili, Timor Timur yang kala itu masih menjadi bagian dari Indonesia.
"Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah masih melindungi saya," tutur Artidjo.
Pihak yang mengancam Artidjo kala itu memintanya tak usah berlagak pahlawan. Sebab, pria asal Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur itu memang getol mengadvokasi kasus-kasus pembunuhan misterius.
Menurut Artidjo, nyalinya sudah terasah sejak belia. Dia kerap bergelut dan berlatih bela diri.
"Jadi memang background saya tidak memungkinkan saya diancam. Sejak kecil saya sudah menjadi joki karapan sapi, berkelahi gulat dan silat. Jadi tidak memungkinkan. Darah Madura saya tidak memungkinkan untuk menjadi takut sama orang," jelasnya.(ce1/rdw/JPC)
------
JAKARTA, KOMPAS.com - Artidjo Alkostar puluhan tahun bergulat di bidang hukum. Sebelum jadi hakim agung, pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1949, ini sempat jadi pengacara. Dia sudah terbiasa dengan ancaman atau intimidasi, bahkan teror. Teror pernah dia terima saat menjadi pembela kasus Santa Cruz di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste). "Waktu itu jam 12 (malam), tempat saya didatangi orang berpakaian layaknya ninja," kata Artidjo di program Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Senin (12/9/2016). Najib, salah seorang penjaga kediaman Artidjo di Dili, sempat berteriak. Lalu melempar kaki meja ke arah ninja tersebut. Ninja, yang tadinya hendak masuk, malah kabur. "Pisaunya pisau ninja," cerita Artidjo. Saat jadi hakim agung, Artidjo punya cerita lain. Katanya, dia pernah disantet. Hal itu diketahui saat sang penyantet mengaku dan menceritakan upayanya itu ke kolega Artidjo di Mahkamah Agung. Beruntung, santet gagal. "Foto saya sudah dikirimkan ke Banten. Kata saya, kalau di Sumenep (penyantetnya) itu masih kelas taman kanak-kanak (karena tak berhasil menyantet Artidjo)," ujar Artidjo yang beribukan perempuan Sumenep. Artidjo kini kebal ancaman. Intimidasi dan ancaman yang ditujukan kepadanya salah alamat karena dia tak pernah takut. "Saya sudah biasa (diancam). (lagian) di era sekarang, media sudah terang benderang mengontrol karena itu saya tak takut," ujar Artidjo. Artidjo adalah hakim agung yang ditakuti para terdakwa kasus korupsi. Dia kerap menambah hukuman bagi pelaku kejahatan yang masuk kategori luar biasa itu, di tingkat kasasi. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum. Terakhir kasus pengacara Otto Cornelis Kaligis. Semua nama itu, oleh Artidjo, dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama. Bahkan ada sejumlah terdakwa yang mencabut permohonan kasasinya ketika tahu bahwa Artidjo masuk dalam majelis hakim yang akan menangani perkara.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diteror Ninja hingga Santet, Artidjo Tak Pernah Gentar", https://nasional.kompas.com/read/2016/09/13/07400001/diteror.ninja.hingga.santet.artidjo.tak.pernah.gentar.
Penulis : Krisiandi
JAKARTA - Mahkamah Agung kembali mengeluarkan putusan memperberat hukuman untuk koruptor. Kali ini putusan itu dikeluarkan untuk kasasi yang diajukan Aiptu Labora Sitorus, bintara polisi di Papua yang terlibat illegal logging dan penimbunan BBM.
Dalam laman kepaniteraan MA menyebutkan, majelis hakim mengabulkan kasasi Jaksa Penutut Umum dan menolak permohonan terdakwa. Perkara itu sendiri disidangkan oleh Artidjo Alkostar yang selama ini dikenal garang terhadap kasus-kasus korupsi. Selain Artidjo, susunan majelis hakim lainnya ialah Surya Jaya dan Sri Murwahyuni.
"MA mengadili sendiri perkara itu dengan menjatuhkan putusan 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar," ujar Artidjo.
Pengadilan Negeri Sorong diketahui selama ini meloloskan Labora dari jeratan pencucian uang. Dia hanya divonis melanggar UU Migas dan UU Kehutanan. Vonis pemilik rekening Rp 1,5 triliun ini hanya dua tahun penjara dan denda 50 juta.
Jaksa dan terdakwa sama-sama banding. Pengadilan Tinggi memberikan vonis yang lebih berat yakni 8 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Jaksa dan Labora pun mengajukan kasasi. Menurut Artidjo, majelis hakim menolak kasasi terdakwa karena yang diajukan hanyalah pengulangan dari persidangan tingkat pertama dan kedua.
Selain perkara Labora, Artidjo juga tak mengabulkan kasasi yang diajukan Ahmad Fathanah, terdakwa kasus suap pengaturan import daging sapi bersama Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Dengan ditolaknya permohonan kasasi Fathanah, berarti sahabat karib LHI itu dihukum sesuai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yakni 16 tahun penjar dan denda Rp 1 miliar.
Selama ini kasasi di MA yang ditangani Artidjo memang kerap memperberat hukuman para koruptor. Itu yang terjadi pada Angelina Sondakh (anggota DPR asal Partai Demokrat yang terjerat korupsi Wisma Atlet), LHI (koruptor impor daging sapi) hingga terpidana korupsi simulator SIM, Irjen Djoko Susilo.(gun)
JAKARTA, KOMPAS.com — Hakim Agung Artidjo Alkostar mengaku pernah merasa tersinggung oleh sikap dua orang pengusaha yang diduga hendak menyuap dirinya. Hal itu diungkapkan Artidjo dalam program acara Satu Meja bertajuk "Palu Godam Hakim Artidjo" yang disiarkan Kompas TV, Senin (12/9/2016) malam. Artidjo mengatakan, kejadian tersebut dialaminya saat kariernya menjadi hakim MA belum lama dimulai. "Dulu, saya masuk Mahkamah Agung tahun 2000, ada dua pengusaha masuk (bilang), 'Ya Pak Artidjo yang lain sudah, tinggal Pak Artidjo saja (yang belum)'," ujar Artidjo menirukan dua pengusaha yang diceritakannya itu. (Baca: Upaya Koruptor demi Hindari Palu Artidjo) Artidjo mengaku seketika itu pula ia menjawab dengan tegas, "Anda lancang sekali." Artidjo melanjutkan, kejadian itulah yang kemudian mendasari dirinya untuk membuat tulisan "Tidak Menerima Tamu yang Berperkara" yang dipasang di depan ruang kerjanya di Mahkamah Agung. "Ya, waktu itu saya tempelkan di kamar (perkara pidana), di lantai tiga Mahkamah Agung," kata dia. Adanya tulisan tersebut, kata Artidjo, sempat mendapat respons negatif di lingkungan MA. Tindakan Artidjo tersebut dianggap menghalangi kunjungan ke MA, termasuk kunjungan keluarga. "Tampaknya kolega saya kurang berkenan," kata dia. (Baca: Artidjo Alkostar: Keadilan Itu di Dalam Hati) Menurut Artidjo, persoalan kunjungan keluarga dan pihak lain, terutama yang beperkara, perlu dibedakan. Meski banyak resistensi, Artidjo tetap tak melepaskan tulisan tersebut. Hal itu, lanjut dia, perlu dilakukan agar kamar pidana yang menjadi beban tugas dan kewenangannya tetap bersih dari upaya suap. "Saya kira kalau ke Mahkamah Agung harus bisa dibedakan, itu bukan masalah keluarga, itu saya kira perlu diatur tentang tamu-tamu yang tidak berkepentingan tentang keluarga," ujar alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut. Artidjo adalah hakim agung yang ditakuti para terdakwa kasus korupsi. Dia kerap menambah hukuman bagi pelaku kejahatan yang masuk kategori luar biasa itu di tingkat kasasi. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum. Terakhir kasus pengacara Otto Cornelis Kaligis. Semua nama itu, oleh Artidjo, dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama. Bahkan ada sejumlah terdakwa yang mencabut permohonan kasasinya ketika tahu bahwa Artidjo masuk dalam majelis hakim yang akan menangani perkara
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Artidjo Alkostar dan Tulisan "Tidak Menerima Tamu yang Berperkara" ", https://nasional.kompas.com/read/2016/09/13/09000031/kisah.artidjo.alkostar.dan.tulisan.tidak.menerima.tamu.yang.berperkara..
Penulis : Fachri Fachrudin
Artidjo Alkostar tak Mempan Godaan, Santet Salah Alamat
Artidjo Alkostar Pernah Diancam Didor Penembak Misterius
Artidjo Pensiun setelah 18 Tahun di MA, Begini Kesannya
Artidjo Cs Vonis Mati 2 Warga Malaysia
Artidjo Kembali Perberat Hukuman Koruptor
MA Batalkan Vonis Bebas Rahudman Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar