Rabu, 22 Februari 2017

Inkonstitusional Freeport Sudah 20 Tahun

Rabu , 22 February 2017, 09:17 WIB

Tulisan Amien Rais Soal Freeport 20 Tahun 

Red: Muhammad Subarkah
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

Oleh: M Amien Rais*

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Pasal ini sudah demikian jelas, demikian terang benderang, tidak ber-wayuh arti dan interpretasi bahwa seluruh kekayaan alam (natural resources) yang berada dalam perut bumi, di berbagai bukit dan gunung-gunung, di atas tanah yang berupa hutan dan di dalam air yang berupa hasil-hasil sungai, danau, dan lautan di seluruh Indonesia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sejak awal Orde Baru kita semua sudah bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Murni berarti bahwa kita memegang teguh jiwa dan aksara pasal demi pasal UUD 1945 serta melaksanakannya dengan segenap kemampuan. Konsekuen berarti bahwa setiap rintangan dan halangan yang mengadang pelaksanaan konstitusi harus kita atasi secara tegas. Demikian juga tidak boleh kita menutup-tutupi kebenaran dengan kebatilan dan menyembunyikan kebenaran dari mata rakyat, sementara kita mengetahui apa yang sedang kita perbuat.

Penjelasan atas pasal 33 itu, antara lain, menyatakan "kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang". Kata-kata "bukan kemakmuran orang-seorang" itu ditulis dengan huruf tebal. Juga diuraikan dalam penjelasan UUD 1945 itu bahwa negara harus menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menentukan hidup orang banyak. "Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya."

Karena itu, ketika saya membaca berita di koran bahwa ladang emas di Busang, Kalimantan Timur, oleh pemerintah diserahkan kepada dua perusahaan Kanada dengan penguasaan saham sebesar 90 persen, perasaan keadilan saya benar-benar memberontak. Pemerintah Indonesia sendiri merasa cukup dengan 10 persen pemilikan saham. Sejak kapan konstitusi kita menyuruh kita mempersilakan pihak asing untuk mengeruk kekayaan bangsa dengan menyisakan sepersepuluh hasil buat kita sendiri? Di pasal apa dan ayat mana kita diamanati konstitusi untuk berbuat seperti itu?

Bila kita belum punya modal dan keahlian untuk menambang emas, perak, tembaga, nikel, baja, timah, dan seterusnya, mengapa tidak kita biarkan dahulu kekayaan kita itu tetap tinggal di perut bumi dan di gunung-gunung Indonesia? Apa artinya sepersepuluh bagian untuk kita, sementara kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan juga sangat berat dengan biaya sosial (social cost) yang kelewat mahal?

Apa urgensi kita mendesak-desak dua perusahaan Kanada untuk segera menyelesaikan 'sengketa' mereka dan supaya segera mereka dapat menguliti dan mengelupasi dalam-dalam kekayaan alam kita? Kekayaan yang semestinya untuk anak cucu kita di abad 21 nanti? Marilah kitarenungkan dalam-dalam masalah ini. Bukankah sikap kita yang aneh itu bertentangan dengan amanat konstitusi kita? Dus, inkonstitusional dan bahkan antikonstitusional?

Bisakah kita mengambil pelajaran dari PT Freeport Indonesia di Irian Jaya? Perusahaan tambang Amerika ini sejak 1973 telah menambang emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya. Sekarang ini setiap hari, secara harfiah setiap hari, 125 ribu ton bijih tambang diruntuhkan dari gunung-gunung di Pegunungan Jaya Wijaya. Dari jumlah bijih tambang sekian itu, diperoleh konsentrat sekitar 6.000 ton. Setiap ton konsentrat mengandung 300 kilogram tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas.

Walhasil, selama seperempat abad, kekayaan bangsa yagn sudah digotong ke luar negeri kurang lebih 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang, bernilai lebih dari Rp 400 triliun. Belum nilai perak dan tembaganya yang tentu lebih besar lagi. Tahun 1991, Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun (dus, setengah abad) dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Masya Allah!

Mau dibawa ke manakah Indonesia yang kita cintai bersama? Barang kali kita dapat mengambil satu sisi positif dari Orde Lama yang kita kutukitu. Seingat saya, dahulu Bung Karno dan Chairul Saleh pernah mencoba mendorong keluarnya sebuah perundang-undangan yang cukup patriotik. Seingat saya, undang-undang itu menetapkan barang tambang menjadi milik negara. Bila kita terpaksa menggunakan pihak asing, pihak asing itu kita ikat dengan kontrak kerja. Pihak asing itu, sebagai kontraktor, memperoleh maksimal 15 persen dari hasil tambang kita.

Produk undang-undang di zaman Orde Lama itu agaknya lebih bagus buat kepentingan bangsa. Saya bermimpi semoga pemerintah kita hasil SU MPR 1998 nanti dapat meninjau kembali seluruh izin yang sekarang ini kita berikan kepada pihak asing untuk memompa keluar kekayaan bangsa secara amiensemena-mena. Mari kita laksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.


* Resonansi ini terbit pada Kamis 9 Januari 1997 di Harian Republika. Redaksi sudah meminta izin Amien Rais untuk pemuatan ulangnya hari ini. Redaksi berpendapat isi resonansi ini, walaupun sudah berumur 20 tahun, masih amat relevan dan penting.
=======

Tambang Emas Freeport di Papua Terbesar di Dunia

RABU, 22 FEBRUARI 2017 | 05:28 WIB
Tambang Emas Freeport di Papua Terbesar di Dunia
Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, 15 Februari 2015. Executive Vice President dan General Manager Operational Freeport, Nurhadi Sabirin mengatakan terdapat peluang tambang tersebut menjadi tempat wisata setelah wilayah itu habis masa eksplorasinya. ANTARA/M Agung Rajasa

TEMPO.COJakarta - Perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional. Induk PT Freeport Indonesia, perusahaan yang memiliki tambang emas dan tembaga Grasberg, di Papua tersebut enggan mengikuti permintaan pemerintah agar beralih status dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Rencana gugatan tersebut disampaikan Presiden Direktur Freeport-McMoRan, Richard C. Adkerson, di Jakarta, Senin 20 Februari 2017. Dia menyatakan sedang dalam tahap negosiasi dengan pemerintah. Freeport telah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, pada Jumat, 17 Februari 2017.

Baca : Jonan Sebut Freeport Hanya Sebesar Sapi, Ini Alasannya

Surat tersebut menjelaskan perbedaan pendapat antara Freeport dan pemerintah mengenai operasi KK dan IUPK. Jika dalam waktu 120 hari setelah surat tersebut dikirim tidak ada kesepakatan, kedua belah pihak berhak menyelesaikan masalah ke arbitrase. "Hari ini Freeport tidak melaporkan arbitrase, tapi kami memulai proses untuk melakukan arbitrase," kata Adkerson.

Tambang emas Grasbeg ternyata tidak hanya terbesar dibandingkan tambang Freeport di negara lain. Melainkan juga merupakan tambang emas terbesar di dunia dari sisi produksi.

Baca : Lewat Cuitannya, Said Didu Beberkan Simalakama Freeport  

Menurut laporan keuangan Freeport-McMoran Inc, hingga Desember 2016, perusahaan memiliki cadangan tambang di Papua, yakni untuk tembaga sebesar 26,9 miliar pound dan emas 25,8 juta ounce.

Jumlah cadangan tembaga Freeport di Indonesia adalah urutan ketiga setelah tambang di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Adapun untuk cadangan emas Freeport di Indonesia adalah yang terbesar. Sebab perusahaan hanya memiliki dua tambang emas di Indonesia dan Amerika Utara. Untuk tambang emas di Amerika utara jumlah cadangannya kecil hanya 0,3 juta ounce.

Baca : Soal Freeport, Wakil Menteri Energi: Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat

Dari sisi produksi, tambang emas  Grasberg juga merupakan terbesar di dunia. Seperti dilansir investingnews.com pada 1 Desember 2016, yang merangking 10 besar tambang emas besar berdasarkan realisasi produksi pada 2015 dengan menganalisis data dari Thomson Reuters GFMS Gold Mine Economics. Tambang-tambang tersebut adalah :

1. Grasberg, Papua, Indonesia.
- Produksi emas : 1,23 juta ounce.

2. Goldstrike, Nevada, Amerika Serikat.
- Produksi emas : 1,05 juta ounce.

3. Cortez, Nevada, Amerika Serikat
- Produksi emas : 999 ribu ounce.

4. Pueblo Viejo, Republik Dominika.
- Produksi emas : 953 ribu ounce.

5. Yanacocha, Cajamarca, Peru.
- Produksi emas : 918 ribu ounce.

6. Carlin, Nevada, Amerika Serikat.
- Produksi emas : 886 ribu ounce.

7. Lihir, Papua Nugini.
- Produksi emas : 805 ribu ounce.

8. Boddington, Australia. - Produksi emas : 794 ribu ounce.

9. Olimpiada, Rusia.
- Produksi emas : 760.100 ounce.

10. Kalgoorlie Super Pit, Australia.
- Produksi emas : 640 ribu ounce.

ABDUL MALIK | VINDRY FLORENTIN
===
TEMPO.COJakarta - Perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, pada Senin 20 Februari kemarin mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional. Induk PT Freeport Indonesia, perusahaan yang memiliki tambang emas dan tembaga Grasberg, Papua tersebut enggan mengikuti permintaan pemerintah agar beralih status dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Perjalanan kontrak tambang antara Freeport dengan pemerintah berlangsung sejak 1967 silam masa pemerintahan Presiden Soeharto dan terakhir pada Januari 2017 lalu ketika Presiden Joko Widodo melarang ekspor sebelum mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Perseroan juga diwajibkan melepas 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia tahun ini. 

Baca : Jonan Sebut Freeport Hanya Sebesar Sapi, Ini Alasannya

Permintaan pemerintah tersebut ditanggapi oleh Freeport dengan rencana pengajuan gugatan ke arbitrase, karena perseroan tetap bersikukuh mempertahankan kontrak karya. Seperti apa kronologi perjanjian kontrak pertambangan Freeport dengan pemerintah Indonesia? Berikut daftar lengkapnya :

Tahun 1967
- Kontrak karya generasi I (1973-1991)
- Total eksploitasi : 258 ribu ton
Tahun 1991
- Kontrak karya generasi II (1992-2014)
- Total eksploitasi : 3.992 ribu ton

Baca : Soal Freeport, Wakil Menteri Energi: Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat

Tahun 2009
- Kewajiban penghiliran tambang mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
- Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara selalu berubah-ubah.
- Peraturan Pemerintah No 23/2010 menyebutkan kewajiban divestasi hingga 20 persen.
- Peraturan Pemerintah No 24/2012 menyatakan kewajiban divestasi sebesar 51 persen hingga tahun kesepuluh.
- Peraturan Pemerintah No 1/2014.
- Peraturan Pemerintah No 77/2014 menyebut kewajiban divestasi tambang bawah tanah 30 persen. Perpanjangan diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak karya berakhir.

Baca : Tanpa Freeport, Bea-Cukai Jamin Penerimaan APBN Aman

Tahun 2017
- Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017. Dalam PP ini kontrak karya diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus. Kewajiban divestasi bertahap hingga 51 persen.

12 Januari 2017
Ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia berhenti.

Realisasi Ekspor Freeport
Freeport mendapatkan rekomendasi izin ekspor bersyarat :
- Juli 2014-Januari 2015  : 756 ribu ton
- Januari 2015-Juli 2015 : 756 ribu ton
- Juli 2015-Februari 2016 : 775 ribu ton
- Februari 2016-Agustus 2016 : 1,03 juta ton
- Agustus 2016-Januari 2017 : 1,4 juta ton

ABDUL MALIK | AGUS SUPRIYANTO (DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER)
=====

Soal Freeport, Wakil Menteri Energi: Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat

SELASA, 21 FEBRUARI 2017 | 19:20 WIB
Soal Freeport, Wakil Menteri Energi: Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat
Menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) Ignasius Jonan (kanan) dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menjalani pelantikan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 14 Oktober 2016. Tempo/ Aditia Noviansyah
TEMPO.COJakarta - Pemerintah akan mencari jalan terbaik menanggapi tuntutan PT Freeport Indonesia. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menyatakan sebisa mungkin solusi yang ditawarkan tidak melanggar hukum.

Baca : Gerilya Freeport Setelah Temui Sri Mulyani dan Jonan
"Solusi-solusi tersebut sudah kami cari setelah terjadi diskusi alot," kata Arcandra di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017. Ia tidak bisa memprediksi, apakah jalur arbitrase internasional akan ditempuh Freeport.

Lebih lanjut, Arcandra menyatakan Presiden Joko Widodo memberi arahan yang tidak jauh berbeda. Ia berujar, Presiden ingin solusi bagi Freeport menemukan jalan terbaik dan tidak melanggar hukum. Ia berharap Freeport Indonesia tidak menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan persoalan.

Baca: Freeport Ancam ke Arbitrase, Jatam: Nyanyian Lama
Di sisi lain, Arcandra tak bisa memprediksi dampak yang akan terjadi bila jalur arbitrase yang dipilih. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang berdaulat. "Saya belum tahu tuntutan mereka apa (bila arbitrase yang dipilih)," ucapnya.

Kemarin, Chief Executive Officer Freeport-McMoran Richard Adkerson menuturkan perusahaannya memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara pemerintah Presiden Jokowi dan Freeport. Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua pihak pada Senin, 13 Februari 2017.

"Dalam surat itu, ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," ujar Adkerson.

Adkerson menyatakan pihaknya bersiap membawa permasalahan antara Freeport dan pemerintah ke lembaga arbitrase internasional jika selama jangka waktu itu permintaan Freeport tak dipenuhi pemerintah.

ADITYA BUDIMAN | DIKO OKTARA
========

Kasus Freeport, Sri Mulyani: Semua Demi Penerimaan Negara

RABU, 22 FEBRUARI 2017 | 14:50 WIB
Kasus Freeport, Sri Mulyani: Semua Demi Penerimaan Negara
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama Presiden Asian Development Bank (ADB) Takehiko Nakao (kiri) menyampaikan keterangan kepada wartawan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di kantor Presiden, Jakarta, 1 Februari 2017. ADB mengapresiasi pemerintah Indonesia yang telah menempuh kebijakan ekonomi di tengah ketidakpastian keuangan global. ANTARA FOTO
TEMPO.COJakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang menyiapkan skema penerimaan negara. Persiapan itu menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang perubahan pelaksanaan izin tambang Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK.

“Bila diubah yang sesuai dengan UU Minerba yang baru, tentu menjaga agar penerimaan negara tetap bisa dipertahankan atau bahkan lebih baik sesuai dengan amanat Undang-Undang,” kata Sri Mulyani di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu, 22 Februari 2017.

Menurut Sri Mulyani, dalam berbagai kontrak karya yang dibuat sebelumnya, dimandatkan untuk dilakukan perubahan. Termasuk di dalamnya adalah berbagai macam pengaturan mengenai penerimaan negara.  “Di dalam Undang-Undang itu diamanatkan bahwa apapun kontrak yang ditandatangani harus menjamin penerimaan negara lebih baik,” katanya.

Baca: Gerilya Freeport Setelah Temui Sri Mulyani dan Jonan

Sri Mulyani menambahkan pada dasarnya di pemerintahan, baik Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan telah berkoordinasi melihat satu sisi adanya perubahan Undang-Undang Minerba. Adapun pada UU Minerba yang baru memandatkan pemerintah mengatur kembali pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia. Spiritnya adalah Indonesia bisa memanfaatkan sektor pertambangan untuk generasi yang akan datang dari sisi kepentingan nasional.

“Apakah itu dari sisi kemampuan untuk menciptakan investasi, kesempatan kerja, ekspor, industri hilir, maupun juga dari sisi penerimaan negara apakah dalam bentuk pajak, PPh, PPN, roylati, PBB, itu semuanya bisa dituangkan di dalam UU yang sudah diundangkan dari tahun 2009,” kata dia.

Baca: Hadapi Tekanan Freeport, Menteri Jonan Tawarkan 3 Opsi
Kemarin, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi menuturkan, potensi penerimaan negara yang hilang dari Freeport bisa mencapai Rp 100 miliar per bulan. Adapun kontribusi penerimaan bea keluar dari Freeport pada tahun lalu mencapai Rp 1,23 triliun.

Dengan asumsi kuota ekspor tahun ini sama dengan tahun lalu, maka potensi penerimaan bea keluar dari perusahaan milik Amerika Serikat tersebut mencapai Rp 100 miliar setiap bulannya.

Adapun saat ini Kementerian Keuangan belum menyetujui mekanisme Kontrak Karya (KK) atau pajak tetap (nail down) yang diinginkan Freeport. Padahal seharusnya, pajak yang dibayarkan Freeport berubah menjadi dari waktu ke waktu (prevailing) sesuai dengan perubahan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Keingian Freeport tersebut menjadikan potensi penerimaan bea keluar berkurang.

Freeport memberi waktu pemerintah 120 hari untuk menyelesaikan perbedaan persepsi tersebut. Jika waktu yang ditentukan habis, maka pemerintah akan membawa permasalahan ini dalam lembaga arbitrase internasional.

DESTRIANITA
====


Tidak ada komentar:

Posting Komentar