Minggu, 12 Mei 2019

Membangkitkan Orde Baru Lewat Tim Pantau ; Rocky Gerung: Penguasa Gaji Akademisi Intai Warganegara

Membangkitkan Orde Baru Lewat Tim Pantau Pencaci Jokowi

CNN Indonesia | Kamis, 09/05/2019 16:37 WIB


Membangkitkan Orde Baru Lewat Tim Pantau Pencaci Jokowi

Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana membentuk tim hukum nasional untuk mengawasi ucapan tokoh terhadap pemerintah dan presiden.

Tim yang diisi oleh pakar dan akademisi itu akan menentukan apakah pernyataan seorang tokoh melanggar hukum atau tidak.

Wiranto mengaku belum bisa memastikan payung hukum untuk tim tersebut. Akan tetapi, ia meyakini tim tersebut perlu dibentuk untuk menindak pihak yang nyata melakukan pelanggaran hukum.


Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari justru melihat rencana pembentukan tim hukum nasional Kemenko Polhukam sebagai langkah mundur alias kembali ke era Orde Baru. 

Keberadaan tim itu disebut berpotensi merenggut kebebasan masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang terjadi saat Orba.

"Itu tidak jauh beda dengan apa yang kita pahami pernah terjadi di Orde Baru," ujar Feri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/5).

Efek dari rencana memantau perkataan para tokoh adalah kesan bahwa pemerintahan Joko Widodo kembali menghidupkan iklim serba penuh kontrol seperti Orde Baru. 

Kesan itu disebut Feri bisa semakin kuat lantaran Wiranto, pada masa lalu, dikenal memiliki relasi dengan Orde Baru. Jika kesan itu dibiarkan, Feri mengingatkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah akan menurun.

"Ingat latar belakang Pak Wiranto ada relasinya dengan Orde Baru. Beliau adalah Panglima di Orde Baru," ujar Feri.

Membangkitkan Orde Baru Lewat Tim Pantau Pencaci JokowiPemerintah berencana membentuk tim memantau kritik para tokoh terhadap pemerintah dan Presiden Joko Widodo. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Feri mengingatkan pemerintah bahwa pasal 28 dan pasal 28F UUD 1945 telah secara jelas memberi kebebasan kepada masyarakat. 

Dalam pasal 28, ia menyebut UU melindungi kemerdekaan warga negara dalam berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Sedangkan pasal 28F, warga negara berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam bentuk apapun.

Jika hak dalam UUD 1945 dibatasi, ia berkata hal tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD. 

"Kalau ada rencana Menko Polhukam melakukan itu saya khawatir itu akan menyebabkan tindakan Pak Wiranto itu dinilai telah bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.

Selain bertentangan dengan UUD, Feri menilai Wiranto selaku Menko Polhukam sejatinya tidak berwenang untuk melakukan eksekusi terhadap sebuah tindak pidana. 

Feri berkata dalam UU Kementerian Negara, fungsi Menko adalah mengkoordinir kementerian-kementerian yang berada di wilayah kerjanya.

Membangkitkan Orde Baru Lewat Tim Pantau Pencaci JokowiMahfud MD jadi salah satu tokoh yang ditawari bergabung dalam tim pemantau ucapan tokoh. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Ia mencontohkan Wiranto hanya dapat berkoordinasi dengan Menteri Kominfo dalam persoalan pelanggaran hukum di media elektronik. Sementara di ranah penindakan, Wiranto cukup berkoordinasi dengan Kepolisian atau Kejaksaan.

"Kalau kemudian lembaga-lembaga itu tidak dimanfaatkan, malah kemudian menyerahkan kepada ahli yang dibentuk Kementerian Koordinator, untuk apa lembaga-lembaga ini dikoordinir oleh Kemenko Polhukam?," ujar Feri.

"Jadi ada semacam pengabaian terhadap fungsi kelembagaan di bawah dia. Dan itu tidak bagus," ujanya menambahkan.

Lebih lanjut Feri menilai pembentukan tim hukum tersebut terbilang aneh mengingat tensi politik dalam pemilu mulai menurun karena Ramadan. Ia berkata tim tersebut justru berpotensi menimbulkan keributan baru di tengah masyarakat.

"Itu sebenarnya tidak baik bagi sebuah negara yang keributan itu malah dimunculkan oleh pejabat yang berada di lingkaran satu Istana. Mestinya Pak Wiranto membuat lebih sejuk suasana," ujar Feri.

Atas keadaan itu, ia meminta Wiranto membatalkan pembentukan tim hukum dan mematuhi aturan konstitusi yang berlaku.

Adapun pakar atau akademisi yang diajak Wiranto bergabung ke dalam tim, Feri mengimbau untuk berpikir ulang dan mematuhi ketentuan yang berlaku dalam UUD 1945.

"Apa yang diamankan Pak Wiranto tidak memiliki nilai hukum. Jadi tindakannya itu tidak berakibat apapun. Kecuali memberikan kesan pemerintahan mau menuju ke ruang-ruang otoritarian," ujarnya. (jps/wis)




Lagi Ramai Tim Bentukan Jenderal Wiranto,Penguasa Gaji Akademisi Intai Warganegara

Lagi Ramai Tim Bentukan Jenderal WirantoRocky Gerung: Penguasa Gaji Akademisi Intai Warganegara
Lagi Ramai Tim Bentukan Jenderal Wiranto, Rocky Gerung: Penguasa Gaji Akademisi Intai Warganegara


TRIBUN-TIMUR.COM - Hiruk-pikuk Pilpres 2019 belum berakhir. KPU masih melakukan penghitungan manual berjenjang, muncul lagi isu hangat.
Menteri Politik Hukum dan Keamanan RI, Jenderal TNI (Purn)Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum.
Tim ini untuk mengkaji ucapan-ucapan tokoh di media sosial untuk menghindari disintegrasi bangsa.
Namun tim asistensi hukum ini menuai pro dan kontra. 
Yang kontra di antaranya akademisi Rocky Gerung
Tim asistensi hukum yang dibentuk Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sudah mulai efektif bekerja.
Pada Kamis (9/5/2019), Wiranto memimpin rapat yang dihadiri oleh para pakar dalam tim tersebut.
"Sudah dibahas semuanya tadi oleh pakar hukum yang kita kumpulkan untuk membantu menelaah menilai melakukan evaluasi apakah aksi yang meresahkan masyarakat itu masuk kategori yang mana, pasalnya berapa, mau diapakan," kataWiranto kepada wartawan usai rapat.
Ternyata pembentukan tim ini menuai pro dan kontra.
Kritik salah satunya datang dari pengamat politik Rocky Gerung.
Dalam kicaunnya Rocky menyindir dengan mengibaratkan negara tengah mengancam warga negaranya sendiri.
"Negara Mengancam Warganegara, Ajaib!," tulisnya.
"Warga negara ngancam balik dituduh makar,ajaib," jawab akun .










Rocky kembali membalas: Big Brother is watching you!
Tak sampai disitu Rocky menjelaskan tentang fungsi demokrasi sesungguhnya.
"Demokrasi menghormati keragaman pandangan hidup. Bukan benar-salahnya<' tulisnya.
ia juga mengkritik pelibatan akademisi dalam tim hukum itu.
"Penguasa menggaji akademisi untuk mengintai warganegara. Dua-duanya dungu," katanya.










Haris Azhar: Orang ini Spesialis Hantam Rakyat
Direktur Lokataru, Haris Azhar menanggapi keras rencana pembentukan tim hukum nasional pengkaji ucapan tokoh yang dibentuk Menko Polhukam Wiranto.
Bahkan dengan tegas, Haris Azhar menyebut bahwa rencana yang digadang-gadangkan Wiranto adalah bentuk dari sebuah kepanikan.
"Kita membentuk Tim Hukum Nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapapun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum," ujar Wiranto dikutip dari Kompas TV, pada Selasa (7/5/2019).
Wiranto menjelaskan tak akan membiarkan pihak yang mencaci ataupun medelegitimasi presiden yang masih secara sah menjabat hingga Oktober 2019 nanti.
Presiden yang dimaksud Wiranto itu tak lain adalah Jokowi.
"Tidak bisa dibiarkan rongrongan terhadap negara yang sedang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap presiden yang masih sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya," ujar Wiranto.
Mengetahui rencana tersebut, Haris Azhar pun memberikan tanggapannya.
Dilansir dari tayangan Satu Meja Kompas TV edisi Rabu (8/5/2019), Haris Azhar mengaku bingung dengan rencana pembentukan tim hukum nasional yang disebut Wiranto.
Haris Azhar pun lantas kembali mengulas soal peristiwa yang menyangkut dengan Wiranto.
"Kalau enggak salah, rezim ini ya yang tutup komisi hukum nasional ya ? Saya enggak paham sebetulnya ini mau ngapain.
Kalau mau dibilang ijtihad, headline besar, lewat pagar saya tembak, statementnya Wiranto. Setahun kemudian Yunhat ditembak atas perintahnya Wiranto untuk mengamankan RUU PKB. Jadi memang orang ini spesialis hantam rakyat," ungkap Haris Azhar.





Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (18/12/2018). (CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (18/12/2018). (CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com) (Kompas.com)

Lebih lanjut, Haris Azhar pun menyebut bahwa rezim pemerintahan saat ini memiliki mesin yang bersifat otoriter.
Sambil membahas persoalan rezim negara ini, Haris Azhar pun kembali menyinggung soal sosok Wiranto.
"Menurut saya, mesinnya otoriter, mesin represif, mesin statement yang keluar ini (Wiranto). Kalau mau bicara hukum, hukum ini punya norma. Nama Wiranto ini dicatat di PBB. Jadi ada institusi negara yang melindungi orang seperti Wiranto, menyerahkan berkas penegakan hukum, di kantor satpam," pungkas Haris Azhar.
Menegaskan pernyataannya, Haris Azhar pun lantas menyebut bahwa pembentukan tim yang disebut Wiranto tersebut adalah bentuk dari kepanikan.
Haris Azhar pun menyayangkan jika rakyat akhirnya menjadi sulit untuk mengemukakan pendapat.
Wiranto mengatakan, Tim Asistensi Hukum Polhukam saat ini terdiri dari 22 pakar. Jumlah itu terdiri dari pakar, staf Polhukam hingga anggota Polri.\ Namun, tak menutup kemungkinan jumlah pakar dalam tim itu akan bertambah lagi.
Berikut daftar anggota Tim Asistensi Hukum Polhukam berdasarkan data yang diberikan oleh staf Wiranto:
1. Prof. Muladi, Praktisi Hukum
2. Prof. Romli Atmasasmita, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-undangan
3. Prof. Muhammad Mahfud MD, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
4. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana
5. Prof. I Gede Panca Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
6. Prof. Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur
7. Prof. Dr. Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
8. Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ahli Ilmu Negara UI dan UPH
9. Prof. Dr. Farida Patittinggi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
10. Dr. Harsanto Nursadi, Ahli Administrasi Negara/ Hukum Tata Negara
11. Dr. Teuku Saiful Bahri, Lektor Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
12. Dr. Teguh Samudera, Praktisi Hukum
13. Dr. Dhoni Martim, Praktisi/Akademisi
14. Kepala Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
15. Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam
16. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kemenko Polhukam
17. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
18. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo
19. Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI
20. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri
21. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri
22. Indra Fahrizal, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Ekonomi dan Moneter
23. Asistensi Deputi Koordinasi Penegakan Hukum Kemenko Polhukam
24. Adi Warman, Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam.
(TRIBUN/IMUR / Ilham Arsyam
sumber:http://makassar.tribunnews.com/2019/05/12/lagi-ramai-tim-bentukan-jenderal-wiranto-rocky-gerung-penguasa-gaji-akademisi-intai-warganegara?page=all



Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta 
Tim Asisten Hukum bentukan Kementerian Koordinator bidang 
Politik, Hukum, dan Keamanan dibubarkan.


Komnas HAM minta tim bentukan Wiranto dibubarkan dengan alasan 'intervensi hukum'

  • 10 Mei 2019




pemiluHak atas fotoANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Image captionMenko Polhukam Wiranto memberi keterangan pers usai rapat koordinasi pengamanan di Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta, Kamis (18/4). Menko Polhukam mengapresiasi semua pihak yang mewujudkan Pemilu 2019 berjalan aman, lancar, dan damai.


Melalui tim yang akan dibentuk ini, pemerintah berusaha menyeret persoalan hukum ke ranah politik, kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Choirul mengatakan hal itu terlihat dari tugas tim yaitu memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil kajian hukum terhadap tindakan yang dinilai melanggar hukum pasca Pemilu 2019.
Choirul mengatakan tugas yang diberikan kepada anggota tim itu adalah tugas penyelidik.
"Tugas itu karakternya intervensi terhadap penegakan hukum. Apalagi melihat struktur keanggotaannya. Artinya, setelah diputuskan lewat kajian dan dinyatakan orang itu melanggar pasti akan jalan kasusnya. Itu kan sarat kriminalisasi," ujar Choirul Anam kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta (10/05).
"Menkopolhukam menarik persoalan hukum jadi persoalan politik yang mestinya dihindari. Karena itu cerminan dari karakter Orde Baru," sambungnya.
Pada Surat Keputusan yang diteken Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, pada 8 Mei 2019, tugas tim tersebut juga menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan selaku Ketua Pengarah.
Setidaknya ada 24 anggota yang terdiri dari 13 orang berlatarbelakang pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi.
Anggotanya termasuk I Gede Panca Astawa dari Universitas Padjajaran, Farida Patittinggi yang menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Bintar R. Saragih dari Universitas Indonesia. Selebihnya terdapat pejabat di empat kementerian, Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Tapi menurut Komnas HAM, kehadiran tim tersebut akan memangkas dan menakut-nakuti seseorang dalam menyampaikan pendapat maupun pikirannya. Padahal, hal itu telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

pemiluHak atas fotoDETIK
Image captionKomnas HAM menilai pembentukan Tim Asistensi Hukum inskonstitusional.

"Kita ketahui karakter demokrasi bersifat noise atau riuh. Itu karena demokrasi memang memberi ruang kepada setiap orang mengeluarkan pikiran dan pendapat dan kerap berbeda-beda," ujar Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan.
"Tidak seharusnya ada suatu kebijakan yang bernuansa menebar ancaman dan menciptakan atmosfer ketakutan bagi warga negara," sambungnya.
Lebih jauh Choirul Anam mengatakan, keterlibatan belasan pakar hukum dalam Tim Asistensi Hukum, tidak menjamin adanya objektivitas dalam menilai suatu kasus, sekalipun mereka dianggap berintegritas tinggi. Sebab bagaimanapun, para ahli itu bekerja di bawah kewenangan pemerintah.
"Mau nggak mau karena di bawah Kemenkopolhukam, mau isinya semua profesor, hukum jadi instrumen untuk kepentingan-kepentingan politik. Karena ini di bawah kementerian politik. Jadi tokoh-tokoh itu tidak menjawab apapun," tegas Choirul Anam.

Publik diminta tidak berburuk sangka

Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi Warman, menilai kekhawatiran Komnas HAM tidak tepat.
Justru menurutnya, tim ini bertujuan melindungi agar "tidak ada pihak yang terzalimi".
Ia mengatakan prosesnya dilakukan secara terbuka dengan menggandeng para pakar hukum yang independen dan tidak memiliki afiliasi politik dengan siapapun.
"Justru ini kemajuan di zaman modern, membuka diri kepada tokoh-tokoh ahli hukum yang memiliki kapasitas, integritas, orang kampus. Malah tim diberikan kesempatan berdiskusi dengan tim lain yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademisi," ujar Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi Warman, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
"Mereka digaransi bekerja berdasarkan ilmu. Jadi jangan buruk sangka, lihat dulu hasilnya," sambungnya.
Dia juga mengatakan, Tim Asistensi Hukum dibentuk supaya aparat penegak hukum tidak terus menerus disudutkan dan dipersalahkan ketika menyelidiki suatu kasus yang tersangkut dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Sebab, keputusan Kepolisian maupun Kejaksaan Agung telah melewati pertimbangan pakar.
"Ini akan membuat nyaman tindakan penyidik benar-benar murni hukum, bukan area abu-abu atau kepentingan politik," jelasnya.
Adi Warman pun mengklaim, kajian hukum dan hasil rekomendasi dari para pakar hukum Tim Asistensi, tidak dimaksudkan melompati proses penyelidikan di Kepolisian.
"Tidak masuk (penyelidikan)."

Terpanggil untuk kepentingan negara

I Gede Panca Astawa yang merupakan Guru Besar Universitas Padjajaran, mengatakan menerima permintaan menjadi salah satu anggota Tim Asistensi Hukum, karena "untuk kepentingan negara". Ia mengaku tak memiliki kedekatan dengan Presiden Joko Widodo ataupun Menkopolhukam, Wiranto.
"Saya melihat negara memanggil, saya tidak lihat Wiranto-nya," ujar I Gede Panca Astawa, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
Dalam bekerja nanti, ia mengklaim akan objektif sebagai akademisi di bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Begitu pula dengan pakar lain yang memiliki latarbelakang ilmu hukum pidana.
"Dalam melakukan kajian itu, akan diletakkan secara proporsional. Kami akan berembuk apakah ucapan ini masuk kategori yang melanggar atau tidak. kalau tidak melanggar diberikan rekomendasi, misalnya tindakan ini tidak perlu ditindak," jelasnya.
Hasil kajian dan rekomendasi yang diberikan itupun, tidak dimaksudkan mengintervensi proses hukum yang akan berjalan. Para pakar, kata dia, hanya menjadi pagar agar aparat penegak hukum "tidak lepas kontrol".

pemiluHak atas fotoANTARA FOTO/SEPTIANDA PERDANA
Image captionMassa yang tergabung dalam GNPF Sumut melakukan aksi 'longmarch' menuju kantor Bawaslu Sumut, di Medan, Jumat (10/5/2019). Mereka menuntut Bawaslu Sumut untuk melakukan evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu 2019.

"Biar hati-hati, jangan sampai polisi reaktif. Hati-hati juga tidak menghilangkan ketegasan," ujarnya.
"Jadi kami tidak bermaksud mengintervensi, justru mengawal aturan yang ada," sambungnya.
I Gede Panca Astawa juga memastikan, Tim Asistensi Hukum tidak akan memberangus hak seseorang menyampaikan pendapat seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar.
"Tidak mungkin kami melakukan itu. Kami akan berpegang pada aturan yang ada."
Meski belum efektif bekerja di Tim Asistensi Hukum, tugas para anggota akan menelaah tindakan dan ucapan yang ada di media sosial, media cetak, elektronik, maupun di ruang publik.
Ia mencontohkan, jika ada ucapan dari pihak-pihak yang menghina simbol negara yaitu presiden, maka besar kemungkinan akan direkomendasikan diusut penegak hukum.
"Suka tidak suka, jangan lihat orangnya tapi jabatannya. Itu simbol negara. Kita tidak ingin simbol negara dihina, itu harus dapat suatu ganjaran," tukasnya.
"Kalau ujaran kebencian, hoaks, caci maki, atau fitnah, itu nggak bisa dibiarkan. Nanti kita lihat ada nggak aturannya."


Jadi Tersangka, Eggi Sudjana Tetap Minta Bawaslu Diskualifikasi Jokowi-Maruf


Eggi Sudjana dan Kivlan Zein beserta massa 
berkumpul di depan Bawaslu RI menuntut 
agar capres dan cawapres nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin didiskualifikasi dari Pilpres 2019 
karena berlaku curang.

Inisiator Gerakan Gabungan Elemen Rakyat (Gerak), Kivlan Zen dan Eggi Sudjana beserta massa yang kurang lebih berjumlah 200 orang ini berkumpul di depan kantor Bawaslu RI ,Jakarta, Kamis (9/5) sore ini. Mereka menuntut calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Jokowi-Maruf agar didiskualifikasi dari Pilpres 2019 ini.
Eggi Sudjana yang datang ke kantor Bawaslu RI sedianya ingin bertemu dengan pihak Bawaslu untuk bertemu dan melaporkan berbagai kecurangan, serta menuntut agar Jokowi-Maruf didiskualifikasi, namun karena pihak kepolisian tidak mengizinkannya masuk. Pertemuan pun batal.
Menurut Eggi, berdasarkan UU Pemilu, Bawaslu dan KPU bisa mendiskualifikasi paslon 01 tersebut karena telah melakukan banyak kecurangan, termasuk kasus surat suara tercoblos 01 di Malaysia sebelum pemungutan suara.
"Saya tidak mempersoalkan presiden, yang saya persoalkan adalah capres, kalau capres hukumnya sama dengan kita, pasal 27 ayat 1. Setiap orang sama kedudukannya dalam pemerintahan dan hukum tanpa kecuali. Jadi Jokowi hendaklah pakai konsep tahu diri, seperi pendahulunya. Siapa? Seokarno tahu diri sudah dipersoalkan oleh people power dia keluarkan perintah 11 Maret. Soeharto dengan people power, membuat pengunduran dirinya. Habibie tidak diterima laporan pertanggungjawabannya dia tidak paksakan untuk jadi presiden, kemudian yang terbaik lagi Gus Dur sudah dikepung Istana dia tidak pernah memerintahkan bansernya sudah punya pasukan berani mati untuk melawan rakyatnya, dia legowo dalam konteks dilengserkan oleh DPR. Jadi ini satu bukti orang-orang presiden kita tahu diri. Sekarang semua sudah tahu ini pemilu curang, betul-betul dan sudah banyak yang mati petugas KPPS 522 orang, " ungkap Eggi.

Sejumlah massa berorasi di depan kantor Bawaslu RI di Jakarta, Kamis (9/5), menuntut Bawaslu untuk mendiskualifikasi Jokowi-Maruf. (Foto: VOA/Ghita)
Sejumlah massa berorasi di depan kantor Bawaslu RI di Jakarta, Kamis (9/5), menuntut Bawaslu untuk mendiskualifikasi Jokowi-Maruf. (Foto: VOA/Ghita)
Eggy Sangkal Berbuat Makar
Ditambahkannya, Eggy pun mempertanyakan kenapa dirinya dijadikan tersangka untuk dugaan perbuatan makar. Ia tegaskan sekali lagi bahwa dirinya sama sekali tidak ingin berbuat makar. Menurutnya pihak kepolisian saat ini sudah tidak netral dengan menjadikannya tersangka, dan juga tidak membiarkan dirinya bertemu dengan pihak Bawaslu.

Eggy Sudjana memberikan keterangan kepada awak media, di depan kantor Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (9/5) (VOA/Ghita).
Eggy Sudjana memberikan keterangan kepada awak media, di depan kantor Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (9/5) (VOA/Ghita).
"Ini saya sudah buat klarifikasi jadi dalam konteks saya sebagai tersangka itu prosedural hukum dalam kitab acara hukum pidana polisi telah melanggar. Poinnya adalah polisi tidak mengindahkan tahapan-tahapan karena kalau tuduhannya makar tidak perlu laporan polisi. Kalau saya betul-betul makar mustinya langsung ditangkap, namanya makar. Makar itu 3 kategori yang bisa melengkapi arti secara struktur hukum pasal 104,106, 106 KUHP. Apa intinya 104 itu membunuh presiden dan wapres, pasal 106 itu adalah menggerakkan daerah seluruhnya, atau sebagian, pasal 107 menggulingkan pemerintaham yang sah. Dari mana elemen itu saya lakukan, tidak ada. Saya tidak mempersoalkan presiden, yang saya persoalkan adalah capres," tegasnya.
Eggy dan massa dari GERAK pun berencana untuk kembali mendatangi kantor Bawaslu RI untuk melaporkan bukti kecurangan dan tuntutan untuk mendiskualifikasi paslon 01 Jokowi-Maruf hari Jumat (10/5). Ia mengatakan sebelum mendatangi kantor Bawaslu massa akan mendeklarasikan kemenangan Prabowo-Sandi dari Masjid Istiqlal mulai jam 1 siang untuk kemudian berlanjut ke Bawaslu.

Sejumlah massa berorasi di depan kantor Bawaslu RI di Jakarta, Kamis (9/5), menuntut Bawaslu untuk mendiskualifikasi Jokowi-Maruf. (Foto: VOA/Ghita)
Sejumlah massa berorasi di depan kantor Bawaslu RI di Jakarta, Kamis (9/5), menuntut Bawaslu untuk mendiskualifikasi Jokowi-Maruf. (Foto: VOA/Ghita)
Ketua TKN: Pengiringan Opini Eggy dkk adalah Narasi Pihak yang Kala
Sementara itu Ketua TKN Jokowi-Maruf Abdul Kadir Karding kepada VOA mengatakan narasi penggiringan opini bahwa penyelenggara pemilu atau pihaknya melakukan kecurangan adalah biasa dilakukan oleh pihak yang kalah. Bahkan menurutnya hal ini sudah dilakukan oleh kubu 02 jauh sebelum pemilu dilaksanakan seperti kasus surat suara tujuh kontainer yang diisuka sudah tercoblos.
"Permintaan Bang Eggy itu harus dilihat dari kacamata bahwa dia adalah orang yang kalah dalam pilpres ini. Memang narasi yang mereka bangun selama ini adalah jika mereka kalah adalah akan ada isu misalnya soal kecurangan, dan itu sudah disiapkan sejak lama. Juga misalnya bagaimana dimainkan soal DPT, bagaimana dimainkan soal 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos padahal belum ada pengesahan dari KPU," ungkap Karding.
Karding pun mengimbau kepada semua pihak untuk tetap percaya pada kinerja penyelenggara pemilu yang sudah dijamin oleh UU. Kalaupun nantinya ada indikasi kecurangan disitu, pihaknya berharap agar sebaiknya ditempuh lewat jalur hukum dan sesuai dengan UU yang berlaku, sehingga suasana keamanan dan ketertiban akan tetap terjaga. (gi/em)
sumber: https://www.voaindonesia.com/a/jadi-tersangka-eggy-sudjana-tetap-minta-bawaslu-diskualifikasi-jokowi-maruf/4910564.html


TRIBUN-TIMUR.COM-Tim hukum nasional bentukan Menteri Koordinato bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam),Wiranto mulai bekerja.
Sebanyak 24 pakar hukum mulai mengkaji aktivitas dna ucapan sejumlah tokoh setelah Pemilu 2019.

Dikutip dari Kompas.com, salah satu anggota tim hukum nasional, Romli Atmasasmita menyebut, ada 13 tokoh yang dikini dikaji aktivitas dan ucapannya.
"Di rapat terakhir ada 13 tokoh dipaparkan fakta-faktanya terkait mereka," kata Romli kepada Kompas.com, Senin (13/5/2019).
Romli menyebut beberapa tokoh tersebut, yakni Bachtiar Nasir,Eggi Sudjana, Kivlan Zen, hingga Amien Rais.
"Sisanya saya tidak ingat," kata dia.
Menurut dia, tugas tim adalah mengkaji apakah aktivitas serta ucapan yang dilakukan para tokoh tersebut mengandung unsur pidana atau tidak.
Setelah itu, hasil dari kajian itu akan diteruskan kepada pihak kepolisian.
"Tim hukum ini bukan buat untuk tim intervensi agar polisi mengambil langkah-langkah hukum, tapi justru menjaga agar polisi bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, justru menjaga itu," kata dia.
Romli enggan membeberkan bagaimana hasil kajian tim terhadap para tokoh yang sudah dikaji aktivitas dan ucapannya.
Namun sebelumnya, kepolisian juga sudah melakukan proses hukum terhadap nama-nama tokoh yang disebut Romli.
Eggi Sudjana sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka makar.
Kivlan Zen juga sempat dicegah ke luar negeri atas kasus yang sama meski akhirnya pencekalan tersebut sudah dicabut.
Adapun Bachtiar Nasir sudah lebih dulu dijerat polisi, tetapi dalam kasus yang berbeda. Ia dijerat karena dugaan pencucian uang.
Daftar Anggota Tim Hukum Nasional
Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto langsung bergerak cepat membentuk tim hukum pengkaji ucapan tokoh.
Tim ini bernama Tim Hukum Nasional. Masih menuai polemik, pro dan kontra.
Tim ini diharapkan bisa meminimalisir ujaran kebencian maupun provokasi lewat media sosial.
Tim pengkaji ini merespon kecepatan informasi di dunia maya terutama media sosial tanpa cek dan klarifikasi.
Ada puluhan tokoh yang masuk dalam Tim Asisten Hukum bentukan Menko Polhukam Wiranto.
Tim hukum tersebut sudah efektif bekerja dan bertugas memberikan masukan atau kajian dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum.
"Kita mengajak pakar-pakar yang dimasyarakat, representasi masyarakat, kita ajak bersama-sama untuk menelaah, menganalisis itu," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Anggota Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam, di antaranya :
1. Prof. Muladi, Praktisi Hukum
2. Prof. Romli Atmasasmita, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-Undangan
3. Prof. Muhammad Mahfud MD, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
4. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana
5. Prof. I Gede Panca Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
6. Prof. Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur
7. Prof. Dr. Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
8. Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ahli Ilmu Negara UI dan UPH
9. Prof. Dr. Farida Patittinggi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
10. Dr. Harsanto Nursadi, Ahli Administrasi Negara/ Hukum Tata Negara
11. Dr. Teuku Saiful Bahri, Lektor Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
12. Dr. Teguh Samudera, Praktisi Hukum
13. Dr. Dhoni Martim, Praktisi/Akademisi
14. Kepala Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
15. Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam NegeriKemenko Polhukam
16. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kemenko Polhukam
17. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
18. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo
19. Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI
20. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri
21. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri 
22. Indra Fahrizal, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Ekonomi dan Moneter
23. Asistensi Deputi Koordinasi Penegakan HukumKemenko Polhukam 
24. Adi Warman, Sekretaris Tim Asistensi HukumKemenko Polhukam
Alasan Wiranto Membentuk Tim Hukum Nasional Ini
Menko Polhukam Wiranto membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengkaji atau memantau tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum.
"Kita membentuk Tim Hukum Nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapapun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum," ujar Wiranto dikutip TribunJakarta.com dari Kompas TV, pada Selasa (7/5/2019).
Wiranto menjelaskan tak akan membiarkan pihak yang mencaci ataupun medelegitimasi presiden yang masih secara sah menjabat hingga Oktober 2019 nanti.
Presiden yang dimaksud Wiranto itu tak lain adalah Jokowi.
"Tidak bisa dibiarkan rongrongan terhadap negara yang sedang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap presiden yang masih sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya," ujar Wiranto.
Dikutip TribunJakarta.com dari Kompas TV, pakar hukum tata negara, Juanda membeberkan pandangannya.
Juada awalnya mengatakan pembentukan Tim Hukum Nasional membawa pesan yang bagus, yakni menjaga agar seluruh masyarakat termasuk tokoh-tokoh mematuhi hukum yang berlaku.
Namun Juanda menilai tugas dan wewenang dari tim tersebut agar diperjelas agar tak saling tumpang tindih dengan staf ahli bidang hukum yang sudah ada di beberapa kementerian.
"Tugas dan wewenangnya perlu jelas, apakah nanti tidak overleap dengan staf ahli bidang hukum di beberapa kementerian," kata Juanda.
Juanda juga mengkhawatirkan Tim Hukum Nasional mungkin dapat menurunkan wewenang lembaga hukum yang sudah ada, misalnya kepolisian.
"Atau ini mendegradasi wewenang lembaga hukum yang sudah ada," kata Juanda.
Juanda mempertanyakan apakah kehadiran lembaga kepolisian tak cukup efektif untuk menangani tindakan ataupun ucapan tokoh yang dinilai melanggar hukum.
Ia berpendapat sebaiknya pemerintah mengefektikan kepolisian dibanding harus membentuk sebuah lembaga hukum baru.
"Dengan demikian apakah tidak cukup efektif lembaga hukum katakanlah polisi, ketika melihat perkataan seseorang telah mengarah kepada persoalan berpontensi memecah belah, mengapa tidak diefektikan lembaga kepolisian kita?" jelas Juanda.
"Apakah pihak kepolisian tidak mampu melakukan itu? atau memang tidak dipercaya? atau tidak efektif karena banyaknya pekerjaan kepolisian?" tambahnya.
Juanda menilai apabila tugas dan wewenang Tim Hukum Nasional tak diperjelas makan akan menimbulkan beragam tafsir.
"Ini beragam multitafsir," ucapnya.
Juanda kembali menegaskan pesan yang dibawa dalam penbentukan Tim Hukum Nasional sudah bagus, namun ia juga mengkhawatirkan tim tersebut akan memakan cost atau harga yang cukup besar.
Tak cuma cost uang namun juga politik.
"Ini pesan yang bagus, tapi berdasarkan keputusan siapa nanti? apakah presiden atau Menko Polhukam?" terang Juanda.
"Apakah nanti tidak terlalu besar nanti costnya ya? bukan cuma uang namun tapi politiknya," tambahnya.
Juanda menilai apabila tujuan Tim Hukum Nasional adalah terbatas untuk mengkaji ucapan atau tindakan tokoh maka pemerintah seharusnya cukup memanggil para parkir terkait permasalahan tersebut.
"Ini pesannya penting, tapi menurut saya cukup dipanggil saja para pakar terhadap kasus tertentu," ucap Juanda.
Namun jika Tim Hukum Nasional bertujuan untuk membantu atau memperkuat lembaga hukum yang sudah ada sebelumnya, maka Juanda mendukung langkah tersebut.(*)
Follow juga Instagram Tribun Timur:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tim Hukum Nasional Kaji Aktivitas Amien Rais, Bachtiar Nasir, hingga Kivlan Zen", https://nasional.kompas.com/read/2019/05/13/12562451/tim-hukum-nasional-kaji-aktivitas-amien-rais-bachtiar-nasir-hingga-kivlan. 
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Sabrina Asril

Editor: Anita Kusuma Wardana
Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar