Sabtu, 26 Agustus 2017

BENTENG PERANG PADERI


Mari membangun persahabatan,kerjasama membangun sinergitas demi kesejahteraan dan kebahagiaan ummat manusia melalui BENDANG YANA ini. 
Cintuak Mont; sebuah blog yang saya ciptakan tahun 2008 
Saya gabungkan pengelolaanya dengan Blog "BENDANG YANA". 
Salam ..Yanuar abdullah

Selasa, 22 Februari 2011


BENTENG PERANG PADERI DAN BUKIK CINTUAK


Selasa, 22 Februari 2011

BENTENG PERANG PADERI

BENTENG TUANKU NAN GARANG
BENTENG TUANKU NAN GARANG
I.
Benteng pertahanan yang dibangun oleh para Panglima Perang Pasukan Pideri yang dipanggil Tuanku ; bisa ditemukan hampir diseluruh wilayah yang dipertahankan para Tuanku Paderi. Orang Minangkabau menyebut benteng itu “Kubu” , orang Belanda menyebutnya Ford.
Gelar atau panggilan Tuanku pada mulanya, adalah sebutan untuk pemimpin agama di dalam suku menurut adat Minangkabau. Setiap suku di Minangkabau ada pemimpim agamanya atau Imam Adat, yang dilengkapi dengan adanya “ surau suku “.
Kemudian dipakai pula sebagai gelar atau panggilan untuk para juru dakwah (Da’i) dan panglima perang semasa Pideri.; seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai dan lain-lain. Diantara Tuanku yang populer di Luak Limo Puluah Koto, adalah Tuanku Nan Biru di Talago, Tuanku Lintau di Pangian, Tuanku Nan Pahit di Air Tabik dan Tuanku Nan Garang di Koto Tuo. Tuanku Nan Garang adalah kemenakan Datuk Pobo, hakim Adat di Koto Tangah Bungo Satangkai.

Di Luak Limo Puluh Koto hampir disepanjang aliran Batang Sinamar yang dipertahankan Tuanku Pideri di temukan kubu-kubu pertahanan. Seperti kubu pertahanan Tuanku Nan Biru; Parit-parit dan kubu ( tanah yang ditinggikan) dibangun melintasi daerah Kecamatan Suliki, mulai dari Ekor Parit Limbanang; Kecamatan Guguak dan Kecamatan Mungka, dan Kubu Godang di Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh. Mulai Dari Padang Japang terus ke Guguak –Dangung-Dangung; Dari Koto Kociak terus ke Kubang dan Mudiak Liki. Oleh masyarakat parit-parit tersebut disebutnya Benteng Tuanku Nan Biru.
Kubu berbentuk tidak beraturan, mengikuti kontur alami tanah, lebarnya lebih kurang lima meter dan tinggi sekitar tiga meter, disebut Parik Godang di Padang Japang. Pada lapisan yang kedua adalah parit Parik Dalam; seperti ditemukan di, batas Koto Kociak -Padang Japang (Kecamatan Guguak); Jopang (Kecamatan Mungka ) - Padang Jopang (Kecamatan Guguak), serta Limbanang (Kecamatan Suliki) -Tanjuang Jati (Kecamatan Guguak). Kedalamnya 3-5 meter dialiri air; dan di dalamnya ditanam ranjau-kayu atau bambu yang di runcing hingga susah dilewati.
Pola benteng pertahanan yang sama ditemukan pula di Tumasek (Singapura ); reruntuhan utamanya bisa ditemui di Stamford Road sekarang; dan ditemukan di pula Lobu Tua Barus, Pugungraharjo, Nagarasaka, dan Bentengsari Lampung; di Jawa Barat di Banten, Girang. *

Benteng Tuanku Nan Garang
Benteng ini dibangun dengan system yang sama, dikenal dengan sebutan “ Kubu Aur Duri “; atau “Kubu Aur Baririk ‘; sebab di sekeliling kubu ditanami bambu berduri. Bangunan parit benteng ini sama konstruksinya dengan benteng-benteng lainya. Benteng ini ditujukan untuk melindungi wilayah Koto Tuo, Tigo Balai, Lubuk Batingkok, Taeh dan Gurun serta Sarilomak dan Tanjung Pati. Bila kita berdiri di per-tapak-an benteng tersebut dari kaki Gunuang Bongsu bagian Selatan ternyata , memiliki sudut pandang yang luas mencakup 60 % wilayah Luak Limo Puluah Koto, sangat pantas untuk mengamati pergerakan musuh.


I I.
Perang Paderi.

Perang Paderi yang berlangsung selama 16 tahun ( 1821-1837 ), berakhir setelah pemimpinnya ditawan Belanda melalui penipuan; diajak berunding tetapi tanpa ada perundingan, yang ada adalah penangkapan.
Kalau berperang Peto Syarif alias Imam Bonjol ini tak pernah terkalahkan oleh Belanda, sebab keuatan militernya sangat tangguh dan bersemangat jihad. Apalagi Imam Bonjol mendapat bantuan dari pihak Aceh yang mengirimkan orang-orang terlatih dari Aceh Pidie.
Disamping itu Imam Bonjol unggul dengan pasukan berkuda (kavaleri) yang diperbantukan Turki yang mengirimkan perwiranya yang di Minangkabau dikenal dengan nama “Haji Piobang “
Istilah “Perang Paderi” bersumber dari sebutan Kaum Adat. Kaum adat menyebutkan berperang melawan “Orang Pidie “, guna menghindari istilah memerangi para Imam, dan Ustazd, atau guru-guru mengaji; Hal ini untuk menghindari agar para “Imam Adat” setiap suku di Minang tidak tersinggung. Masyarakat Minang saat itu sudah menganut Islam semuanya, apalagi dibayangi tekanan yang sangat kuat dan kejam pemimpin Wahabbi. Maka digambarkan bahwa orang Pidie adalah orang asing yang merusak nagari datang dari luar Minangkabau; yakni para “tentara bayaran” dari Aceh Pidie atau Aceh Pedir. Maka Kaum Adat menyebutnya Perang dengan “Orang Pidie”. Para penulis Barat karena posisi pemimpin Kaum Putih ini, adalah pemimpin agama, imam, maka diidentifikasi-kan/diasosiasikan dengan “Paderi” dalam agama Nasrani.
Perang Paderi digambarkan juga dengan sebutan perang “hitam-putih”; karena Kaum Hitam ( Ninik Mamak berbaju adat warna hitam ) melawan Kaum Putih ( para Tuanku berpakaian putih-putih ). Tersebut juga perang Kaum Putih dengan Kaum Hitam.

Sekalipun pihak Belanda telah diperkuat oleh Pasukan Sentot Alibasa Prawiradirja dan Tumenggung Notoprawiro, tentara Belanda tetap kewalahan menghadapi Paderi. Pada akhirnya Sentot Alibasa dan pasukannya berbalik melawan Balanda lantaran menyadari bahwa perjuangan para Tuanku yang berlandaskan syarak Islamiyah ditujukan untuk menantang penjajahan bangsa Belanda terhadap bangsanya sendiri. Pasukan Sentot akhirnya meleburkan diri menjadi Orang Minangkabau , sementara Sentot ditawan dan diasingkan Belanda.
Suasana Minangkabau pada masa perang Paderi ini, kacau –balau, Datuk penghulu pemangku adat banyak yang memihak Belanda, lantaran tindakan ulama wahabi yang keras dan kejam. Dilain pihak ada juga Datuk dan Imam Suku yang memihak Pideri. -
Pada masa awal kedatangan tiga haji (aliran Wahabi) ini pihak kerajaan Minangkabau bersama Datuk-datuk Penghulu pemangku Adat sudah menerima ajarannya. Namun kemudian akibat peng-amalan-nya yang terlalu keras dalam menerapkan larangan (haram menurut Islam ); sampai Tuanku Nan Renceh di Agam sampai membunuh adik ibunya (oncu), memakan sirih dan menyugi tembakau. Larangan main judi, menyabung ayam dan minum arak (tuak=minuman keras memabukan ); mendapat hukuman berat dari pemimpin Pideri, hingga menjatuhkan wibawa para Datuk Penghulu pemangku adat itu ditengah kaumnya. Ujungnya pihak kerajaan Minankabau atas dorongan Datuk-datuk penghulu pemangku adat menantang para Ulama ini. Pihak Paderai akhirnya melalukan pembunuhan keluarga raja Pagaruyuang dan pembakaran Istana. Akhirnya pihak kerajaan meminta bantuan dan aperlindunagan kepada Belanda.
Awal tahun 1829, beberapa orang Tuanku pulang dari Tanah Arab , Makkah dengan membawa aliran baru yang lebih lunak, tidak sama dengan paham Wahabi yang dibawa Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang yang pulang dari Mekah tahun 1803.
Para Tuanku yang dating dengan “paham baru “ ini melakukan pendekatan, persuasive dan cara -cara yang lembut kepada kaum adat, hingga akhirnya tidak hanya kaum adat tetapi pengikut Wahabi pun banyak berubah haluan.
Diantara para Tuanku itu tersebutlah, Tuanku Nan Biru, Tuanku Nan Pahit, Tuanku Nan Garang dan Tuanku Ibrahim dari Luak Limo Puluah. Diantara mereka ada hubungan bathin sesama pejuang Pideri; Para tuanku penganut “ paham baru “ berbeda amalan dengan Wahabi yang diperankan ulama-ulama Pideri sebelumnya, seperti “ harimau nan salapan “ di Luak Agam. Namun mereka sama-sama anti penjajahan dan ikut berjuang bersama Paderi.
Tuanku Ibrahim seorang penganut paham baru dari Sungai Naning, disamping membawa Ilmu agama dari Makkah bersama-sama dengan para Tuanku lainnya, ia berbakat dagang dan melanjutkan missi “Paderi Baru“ lewat berdagang. Tuanku Ibrahim terkenal sebagai pedagang yang sukses. Hasil tambang dan hasil Hutan di sekitar Gunung Mas serta bahan tambang dan hasil kebun rakyat yang biasa dibawanya ke Selat Malaka dikumpulkannya di sepanjang aliran Batang Sinamar, mulai dari kampuang asalnya di Sungai Naning . Ia mebawa hasil tambang dan hasil hutan dari Sungai Naning dan sekitarnya dikumpul di kampung isterinya Dijah, (melahirkan anaknya Norma ) di Koto Tongah dan kemudian dibawa ke Tigo Batur, Lubuk Batingkok dekat Sarilomak melalui batang Sinamar. Di Tigo Batur ia dibantu oleh Tuanku Nan Garang untuk memberangkatkan barangnya ke Pangkalan atau ke Muaro Maek.
Disamping barang dagangan, ketika pulang dari Selat Malaka ia membawa barang –barang keperluan Pideri, berupa senjata dan amunisinya. Tuanku Ibrahim tidak mau berjualan dengan VOC ( Ulando ), ia memilih berhubungan dagang dengan Sipatokah (Portugis) dan Anggarai (Inggris );
Pertentangan dagang antara Inggris, Belanda dan Portugis di Eropah, juga berpengaruh terhadap perdagangan di Selat Malaka dan perairan Nusantara, termasuk suasana perdagangan disepanjang aliran Sungai –sungai besar di Sumbar, atau pelabuhan dagang di pantai Barat. Tak terkecuali perdagangan di aliran batang Sinamar terutama di pertemuan batang Sinamar, dengan batang Lampasi dan batang Na Mang serta batang Agam. Jalan raya (lebuh/lobuah) belum ada. Suasana dagang di mulut (muaro) sungai ini lah yang menumbuhkan kota-kota besar saat itu; Simalanggang, Koto Tongah, Sarilomak, Taram dan Sungai Baringin.
Pedagang asing sudah banyak yang masuk ke mulut muaro – sungai-sungai tersebut, malah terus masuk ke hulunya. Saudagar Arab disamping berdagang ia berdakwah melalui surau para Imam Adat ( tapian suku ) yang ada disepanjang tepian sungai .
Sementara itu Tuanku Nan Garang berupaya membantu jalur pengiriman barang-barang itu; sambil keduanya terus mengembangkan da’wah Islamiyah yang moderat.
Ketika krisis semakin memuncak antara Kaum Adat – Pideri; - Belanda; Tuanku Nan Garang yang mengkoordinir pintu gerbang dagang Luak Limopuluah ke arah Timur melalui; Buluah Kasok, Lubuk Limpato, Sarilomak; sesuai perkembangan situasi persaingan antara Pideri dengan Belanda, Tuanku Nan Garang mengkoordinir pasukan Paderi di wilayah itu serta membangun benteng pertahanan di bagian atas Koto Tuo, Lubuk Batingkok.
Sementara itu Tuanku Ibrahim yang telah sukses dalam missi dagangnya. Barang-barang kebutuhan Paderi, serta senjata dan amunisinya dapat didatangkan Ibrahim berkat keberhasilannya menjalin hubungan yang harmonis dengan raja Siak, Tumasek dan termasuk Johor dan Negeri Sembilan.
Hubungan baik dengan teman dagang itu , akhirnya malah ia menikahkan seorang puterinya dengan calon Raja yang akan naik Tachta di kerajaan Negeri Sembilan. Anak kandungnya Norma dari isterinya yang berasal dari Koto Tangah, Kec. Bukit Barisan Kab. Lima Puluh Kota dinikahkannya dengan Tuanku Imam di Negeri Sembilan . Perkawinan Yamtuan Imam dengan Norma ini melahirkan putera-putera; 1. Tengku Ahmad Tunggal. 2 . Tengku Cindai.3. Tengku Win, 4. Tengku Alam, 5. Tengku Jumaat.6. Tengku Ngaadin.(Dari cacatan: Jafri Dt.Lubuk Sati)

III.
Ahmad Tunggal Terjebak Perang Paderi.?

Dalam suasana puncak peperangan Paderi meletus ini, anak Tuanku Ibrahim pedagang dari Koto Tongah yang sampai di Negeri Sembilan bernama Norma ( kawin dengan Yamtuan Imam Seri Menanti ) dan cucunya Ahmad Tunggal datang ke Minangkabau. Keduanya bersama rombongan terjebak dalam perang di Koto Tangah Lubuk Batingkok.
Kenapa Norma bersama anaknya Ahmad Tunggal pulang ke Minangkabau ? Ada analisa yang mengatakan bahwa ; setelah datuknya Yamtuan Lenggang dijemput untuk menjadi Raja di Negeri Sembilan 1824 , di Pagaruyuang terjadi peristiwa berdarah; Pembunuhan semua keluarga kerajaan Pagaruyuang oleh pihak Paderi. Akibat peristiwa inilah Norma dan anaknya “pulang kampung” Sementara itu alasan lainnya adalah ; sebagai seorang calon Raja di Negeri Sembilan, Norma dan Yamtuan Imam merasa perlu memperkenalkan Minangkabau sebagai Tanah Pangkal kepada Ahmad Tunggal dan sekaligus meminta restu kepada Rajo Minangkabau dan para Datuk-Datuk penghulu negeri asalnya.
Norma bersama anaknya dan pengawalnya datang ke Minangkabau secara diam-diam dan tidak resmi guna memperkenalkan tanah leluhurnya kepada Ahmad Tunggal, lahir 17 Juni 1815 sebagai anak calon raja Yamtuan Imam di Negeri Sembilan.
Norma bersama rombongan, selesai mengunjungi tanah asalnya, Koto Tongah , Gunung Omeh dan meninjau keadaan kerajaan Pagaruyuang di Tanah Datar ketika hendak pulang balik ke Negeri Sembilan, rombongan berjalan melewati Sungai Potai dan Koto Rajo Ladang Loweh. terjebak dalam pertempuran “basosoh” antara Pideri melawan Belanda, selama empat-empat malam mulai tanggal 19 Oktober 1832.
Guna memenuhi pesan ayahandanya Tuanku Ibrahim ; Norma dan Ahmad Tunggal menemui temannya Tuanku Nan Garang, di Tigo Balai , Koto Tongah Lubuk Batingkok.
Tigo Balai terdiri dari Balai Patai, balai kaum Caniago dipimpin Dt. Majo Labiah, Balai Panjang sebagai balai kaum Jambak atau Pitopang yang dipimpin oleh Dt Paduko Tuan yang mempunyai hubungan balahan dengan Dt. Tumbi ( Jambak) di kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Bukit Barisan. Balai ketiga di Tigo Balai tersebut adalah balai Mangklhudu dipimpin Dt Mangkuto Bosa dalam pesukuan Melayu. Ketiga balai tersebut adalah tempat memberlakukan aturan adapt, sehingga daerah Lubuk Batingkok itu disebut pula sebagai Tigo Batur.
Kawasan Lubuak Batingkok, Tigo Batur, sejak tahun 1500-an, apalagi setelah Malaka jatuh tangan Portugis, menjadi tempat menampung hasil hutan untuk dibawa ke Malaka dan Kelang melalui pecan lama di Siak. Tetapi setelah Siak ditaklukan oleh Johor maka pedagang-pedagang Minangkabau membuat pangkalan dagangnya di hulu sungai Siak di Senapelan yang disebut “ Pakan Baru “ yang menjadi cikal bakal kota Pekan Baru sekarang.
Berlainan halnya dengan Simalanggang dengan “Pakan Raba”(Pasar Rabu-nya ), adalah pusat perdagangan rempah-rempah yang diperdagangkan dengan VOC yang berpusat di Pulau Cingkuak melalui Padang. Belanda selalu membuat permusuhan dengan masyarakat Tigo Balai melalui kaki tangannya di Pakan Rabaa ( Simalanggang ) . Belanda sendiri belum pernah memasuki daerah Tigo Balai sampai tahun 1832.
Di Koto Tongah Lubuak Batingkok, Tigo Batur, situasi semakin sulit. Sauasana semakin panas. Persiapan perang sudah di mulai. Sekalipun Norma dan Ahmad Tunggal termasuk kerabat kerajaan Pagaruyuang yang didukung Belanda, ia dinasehatkan agar menyamar seperti rakyat biasa, lantaran ayahnya menolak melakukan hubungan dagang dengan Belanda (VOC) dan memilih Portugus dan Inggris. Malah ia sudah dikenal berpihak kepada Paderi.
Sebelum bertemu Tuanku Nan Garang, Norma dan Ahmad Tunggal serta rombongannya ditahan oleh kaki tangan Belanda di Simalanggang. Setelah berita penahanan itu sampai pada Tuanku Nan Garang, dengan wibawa Tuanku Nan Garang yang tinggi, mereka dapat dibebaskan dan dibawa ke dalam kubu Aur Baduri. Ahamad Tungga dan ibunya beserta rombongon berlindung di dalam Kubu Tuanku Nan Garang, sampai perang usai.
Dalam menghadapi Belanda ini Tuanku Nan Garang mencoba mengulur waktu dengan mengajak Belanda berunding sementara persiapan dan gerak pasukannya menempati posisi siap tempur. Tawaran berunding itu langsung ditolak Belanda, lantaran sebelumnya guna memecah kekuatan Pideri Belanda sudah pernah pula meminta berunding; agar Tuanku Nan Garang tidak memerangi/memusuhi Belanda , tetapi sama-sama melindungi rakyat dari ancaman Pideri; * Tuanku Nan Garang meminta uang untuk membangun kekuatan pasukan untuk perlindungan rakyat. Residen Belanda Mac Gillavri yang khawatir terhadap stretegi Tuanku Nan Garang; pada waktunya ia akan melawan Belanda, ajakan berunding tersebut ditolaknya.
Perang pun tidak terhindarkan lagi. Koto Tangah dihujani Belanda dengan tembakan meriam dan peluru api, namun pintu pertahanan Tuanku Nan Garang tidak kunjung tembus. Setelah tiga hari, tentara Belanda banyak yang tewas dilanda peluru Kaum Paderi. Belanda banyak masuk jebakan yang dibuat Tuanku Nan Garang. Setelah mendatangkan bantuan dengan pasukan yang lebih segar dari Payakumbuh Belanda baru berhasil menembus pertahanan berlapis di Kubu Aur Duri tersebut.
Perang “basosoh”; perang tanding dengan pedang terhunus satu lawan satu terjadi. Pasukan Paderi berjihad sampai mati di sana. Setelah menembus kubu, Belanda harus bersusah payah menyeberangi parit berisi ranjau yang digenangi air, di sinilah pasukan Belanda banyak tewas di tangan Paderi. Melihat pasukan Belanda sudah mendapat bantuan dari Payakumbuh. Tuanku Nan Garang melepaskan bentengnya dan menghindar ke arah Utara. Kemarahan pihak belanda yang banyak menelan korban pasukan dan persenjatan melampiaskan kemarahannya denga membakar rumah penduduk serta merampas harta dan ternak penduduk Koto Tongah.

IV

Tuanku Nan Garang dan Perang Bukit Putus
Ada beberapa hal yang perlu dicari informasinya. Diberitakan bahwa Tuanku Nan Garang kemudian meninggal dalam suatu pertempuran melawan Belanda di Air Baba, dekat Ikan Banyak , Pandam Gadang, ketika berupaya menahan laju pasukan Belanda yang hendak merebut Koto Tinggi dan mengepung Bonjol . Namun tidak ada yang memastikan di mana ia dikuburkan, sementara ia seorang Panglima Perang musuh atau kawan pasti akan mencari dan menandainya. Sementara itu ada hal yang perlu diperhatikan; bahwa ada Catatan British yang menyebut nama “Angki Bongsu” yang terlibat dalam perang “Bukit Putus” tahun 1875 di Negeri Sembilan Malaysia. Mungkinkah Tuanku Nan Garang setelah perang di “Kubu Aur Duri”, di kaki gunuang Bongsu langsung menghindar ke tanah Semenanjung Negeri Sembilan, tidak menghindar ke Utara seperti ditulis C. Irar, sambil mengantarkan anak dan cucu Tuanku Ibrahim ( temannya ) Norma dan Ahmad Tunggal ? Setelah sampai di negeri Sembilan Tuanku Nan Garang yang membangun kubu di kaki Gunung Bongsu itu, menamakan dirinya “ Ongku Gunuang Bongsu “ ? tentu ahli sejarah yang bisa membuktikan.
Perang Bukit Putus adalah pertempuran antara pasukan Yamtuan Antah dengan pasukan British yang membantu Datuk Kelana Sungai Ujong. Ahmad Tunggal ikut pula membantu Datuk Kelana orang tempat ia merapatkan diri setelah tuntutannya untuk menjadi Yamtuan Seri Menanti. Ahmad Tunggal merapat ke Datuk Kelana Sungai Ujong setelah meksud keinginannya menjadi Yamtuan Seri Menanti diganjal oleh Simang Gagap. Mungkinkah ada dendam antara Siamang Gagap dengan Tuanku Ibrahim yang sama – sama datng dari Minangkabau ? Atau adakah “Cinta Tak sudah “ antara Siamang Gagap dengan ibu Ahmad Tunggal dengan Norma ? Atau dengan Ahmad Tungga sendiri. ?
Menurut catatan British (Inggris ) Ahmad Tunggal dan Angki Bongsu terlibat dalam “Perang Bukit Putus” pada bulan Desember 1875
“Orang besar Melayu yang telah menolong Murray dan pihak British ialah Tengku Ahmad Tunggal yang tidak dapat menjadi Yamtuan Seri Menanti dan seorang lagi disebut namanya oleh pihak British “Angki Bongsu”; tetapi tiadalah diketahui siapa orangnya “ demikian bunyi catatan British ( Inggris ).
Orang yang berseberangan dengan Ahmad Tunggal dan menolaknya untuk menjadi Yantuan Seri Menanti adalah Kahar, gelar Datuk Siamang Gagap. Adakah hubungan antara gelar Datuk Gagok di Kenagarian Siamang Bunyi Kec. Akabiluru dengan Siamang Gagap Negeri Sembilan ini ? Patut juga ditelusuri.
Siamang Gagap memang besar sekali pengaruhnya di Negeri Sembilan, ia bisa menolak seseorang yang hendak naik menjadi Yamtuan Seri Menanti. Disamping menolak Ahmad Tunggal, ia juga terhadap Tengku Muda Cik (putera Yamtuan Radin ) yang menuntut hendak jadi Yamtuan Negeri Sembilan.
Nama lain yang pantas pula ditelusuri adalah Tengku Lintau, yang diharapkan datuk-datuk undang dan rakyat menjadi Yamtuan Seri Menanti, tetapiTengku Lintau menolaknya .
Adakan hubungannya dengan nama Tuanku Lintau ( Paderi ) di Pangean, Tanah Datar ? Mari kita telusuri.-*

1 komentar:





Tidak ada komentar:

Posting Komentar