Rabu , 05 July 2017, 05:48 WIB
Dekrit Presiden 5 Juli: Mempertautkan Golongan Islam dan Kebangsaan
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Lukman Hakiem*
SEBAGAI kelanjutan dari Mosi Integral Natsir yang disampaikan di parlemen pada 3 April 1950, diadakan perundingan antara delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan delegasi Republik Indonesia (RI).
SEBAGAI kelanjutan dari Mosi Integral Natsir yang disampaikan di parlemen pada 3 April 1950, diadakan perundingan antara delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan delegasi Republik Indonesia (RI).
Pada 19 Mei 1950, ditandatangani Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI yang menyatakan: "menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945."
Pada 20 Juli 1950, dalam Pernyataan Bersama Pemerintah RIS dan Pemerintah RI antara lain dinyatakan: "menyetujui rencana Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia." UUD itu didapat dengan mengubah Konstitusi RIS sedemikian rupa.
UUD 1945 Sama Sekali Tidak Menyebut Pemilu
UUD 1945 Sama Sekali Tidak Menyebut Pemilu
UUD Negara Kesatuan ini kemudian disebut UUD Sementara 1950. Disebut UUD Sementara, karena di dalam UUD Sementara itu dimuat ketentuan mengenai Konstituante yang dibentuk untuk menyusun UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD Sementara 1950.
Hal itu diatur dalam BAB 5 dan Pasal 134 UUD Sementara 1950. Dengan Pasal 134 itu, terbukalah kesempatan rakyat melalui wakil-wakil yang dipilihnya untuk mendapatkan Undang-Undang Dasar yang dikehendakinya.
Semangat terbebas dari belenggu penjajahan menyebabkan para penyusun Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950 sangat peduli kepada kemauan rakyat sebagai dasar kekuasaan penguasa yang dinyatakan dengan pemilihan umum berkala yang jujur, umum, bersifat kebersamaan, rahasia, dan bebas.
Dalam Konstitusi RIS itu dinyatakan dalam Pasal 34, sedang dalam UUD Sementara 1950 dinyatakan di Pasal 35.
Sesungguhnya, inilah salah satu perbedaan pokok antara Konstitusi RIS, dan UUD Sementara 1950, dengan UUD 1945 yang dirancang oleh BPUPK dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Sesungguhnya, inilah salah satu perbedaan pokok antara Konstitusi RIS, dan UUD Sementara 1950, dengan UUD 1945 yang dirancang oleh BPUPK dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Salah satu kelemahan UUD 1945, meskipun mengaku menganut asas kedaulatan rakyat dan mengaku menganut sistem demokrasi perwakilan, tetapi tidak satu pasal pun di dalamnya yang menyinggung adanya pemilihan umum. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) hanya mengatakan, susunan keanggotaan MPR dan DPR "ditetapkan dengan undang-undang."
Atas dasar ketentuan UUD 1945 itu, Prof. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendapat boleh saja seluruh anggota MPR dan DPR diangkat oleh Presiden. Asalkan pengangkatan itu dilaksanakan berdasarkan undang-undang, maka pengangkatan seluruh anggota MPR dan DPR oleh Presiden, sah adanya.
Mewujudkan Gagasan Bung Karno
Mewujudkan Gagasan Bung Karno
Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) dalam S. U. Bajasut dan Lukman Hakiem (2014) mencatat, dengan Pasal 134 UUD Sementara 1950 terbuka jalan untuk merealisasikan pokok pengertian kedaulatan rakyat seperti yang dijelaskan oleh Ir Sukarno dalam pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945.
Dalam pidato yang kemudian dibukukan dengan judul "Lahirnya Pancasila", Bung Karno antara lain mengatakan: "Apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan/badan perwakilan. Inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat apa-apa yang dirasa perlu bagi perbaikan."
Menurut Bung Karno, jika memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya agar sebagian terbesar kursi badan perwakilan rakyat diisi oleh utusan-utusan Islam.
Jika 60%, 70%, 80%, 90% utusan yang duduk dalam dewan perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam, Bung Karno yakin: "Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu hukum Islam."
Menurut Prawoto, hakikat pemikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945 itulah yang kemudian memimpin pertumbuhan kepartaian di Indonesia menuju pemilihan umum untuk membentuk parlemen dan Konstituante.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/07/05/osl8oo385-dekrit-presiden-5-juli-mempertautkan-golongan-islam-dan-kebangsaan
====
Syeikh Abbas Abdulloh dan Negara berdasar atas Ketuhanan
Suaraindonesiaraya.id - Syeikh Abbas Abdullah yang lebih di kenal dengan Syeikh Abbas Padang Japang dilahirkan di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 1883. Ayahnya Syeikh Abdullah yang ikut berjuang bersama Tuanku nan biru dalam perang Paderi yang di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Syekh Abbas, bersama dengan Syekh Mustafa pernah diasuh ulama Minangkabau terkemuka di Mekkah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Imam Masjidil Haram) dan juga sempat jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir.
Sumatera Thawalib didirikan Syekh Abbas Abdulloh pada 1875, dan berubah menjadi Darul Funun El Abbassyiah pada tahun 1930, karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). DFA bisa tumbuh pesat berkat dukungan usaha kebun karetnya dan tujuh toko bukunya di kota Payakumbuh. Pada 1940, siswa DFA tercatat lebih dari 4.000 orang. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok Sumatera, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Sejalan dengan kemajuan itu, sekolah ini merupakan basis perjuangan kemerdekaan, termasuk pasukan Jihad. Waktu itu, Syekh Abbas sendiri terpilih menjadi imam (panglima) jihad wilayah Sumatera Tengah. Kebesaran kedua syeikh yang bersaudara ini membuat Sukarno pada tahun 1942 merasa perlu ke Padang Japang, setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu.
Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981 mengatakan bahwa Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan benar-benar tercapai. Dalam hal ini Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Syekh Abbas juga menambahkan kalau hal demikian diabaikan, revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Beliau juga mengingatkan Bung Karno bahwa umat akan mendukung, selama Bung Karno tidak memisahkan agama dan pemerintah. Dan Bung Karno juga diingatkan harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa kita.
Syeikh Abbas Abdulloh juga menghadiahi Bung Karno sebuah peci. Peci diberikan supaya Bung Karno menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam. Dengan Peci tersebut, Syeikh Abbas menekankan bahwa Peci itu, paling tidak, akan senantiasa menyadarkan kita kepada agama dan bangsa.
Ide Ketuhanan sudah mengalir dalam diri Bung Karno, bersumber dari pergaulan Bung Karno dengan para ulama. Sejak muda dia tumbuh dalam lingkungan Sarekat Islam. Saat masa-masa pembuangan, Bung Karno terus berkorespondensi dengan ulama. Misalnya, dengan pendiri Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hassan saat dibuang ke Ende.
Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi, Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah, juga telah menggambarkan kedekatan Bung Karno dengan para ulama’. Menurut Beliau, Bung Karno telah menemui empat orang ulama tasawuf yang mukasyafah (terbuka mata batinnya) terkait dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Empat ulama tasawuf itu adalah Syeikh Musa dari Sukanegara, Cianjur; KH Abdul Mu'thi dari Madiun; Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung; dan Hadratusysyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari, Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama). Kesimpulan dari pertemuan Sukarno dengan empat ulama tasawuf tersebut adalah “Akan ada berkat Rahmat Allah yang besar turun di Indonesia, pada Jumat legi, 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Bila meleset, harus menunggu tiga abad lagi.”
Dengan kata lain, Nasehat Syeikh Abbas yang diterima Bung Karno pada saat kunjungannya pada 1942, mematrikan dan mengkristalkan nilai – nilai yang sudah mengalir dalam diri yang bersumber dari pergaulannya dengan para ulama’. Dipatrikan dan dikristalkan dengan nasehat Syeikh Abbas bahwa negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa nilai tersebut, revolusi tidak akan bisa mencapai cita – cita luhurnya.
Peristiwa sejarah ini setidaknya dapat lebih memperjelas mengapa muncul konsepsi Ketuhanan dalam dasar Negara dan UUD 1945. Meskipun sempat memicu perdebatan pada proses perumusannya, namun dapat dicapai konsensus nasional tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Peran Syeikh Abbas dan DFA-nya terus berlanjut pasca proklamasi kemerdekaan. Pada masa agresi militer Belanda II, tahun 1947-1949, Darul Funun pernah menjadi pusat pemerintahan propinsi. Mr. Teuku Muhammad Hasan, gubernur Sumatera Tengah ketika itu, berkantor di Darul Funun itu. Setelah terbentuknya PDRI, Darul Funun menjadi kantor mentri PPK dan mentri Agama PDRI. Ketika Muhammad Natsir dan Dr.J.Leimeina menjemput ketua PDRI, Mr.Syafrudin Prawiranegara, Darul Funun menjadi pusat pertemuan, orang-orang membicarakan dan merumuskan nasib tanah air ini di Darul Funun.
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang, wafat pada tahun 1957. Minangkabau menangis kehilangan putra terbaiknya, Darul Funun kehilangan pengasuhnya, kehilangan separuh nafasnya.
Sumber: http://suaraindonesiaraya.id/konten/syeikh-abbas-abdulloh-dan-negara-berdasar-atas-ketuhanan
=====
SYEKH ABBAS ABDULLAH
“Kalah politik Jepang oleh Belanda. Kalau Belanda tidak boleh kita menjadi tentara baginya, tetapi Jepang dibolehkannya. Masukilah Gyu Gun itu nanti berguna bagi kita untuk memeranginya” (Syekh Abbas Abdullah, 1944)
“Kamu harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa ini.”
“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam.”
(Syekh Abbas Abdullah, saat memberikan kopiah tinggi yang diberikan kepada Soekarno, dan menjadi identitas selanjutnya bagi Soekarno)
“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam.”
(Syekh Abbas Abdullah, saat memberikan kopiah tinggi yang diberikan kepada Soekarno, dan menjadi identitas selanjutnya bagi Soekarno)
Syekh Abbas Abdullah (1883M- 1957M / 1376H) dilahirkan di nagari yang bernama Padang Japang, sebuah nagari di kenagarian kecamatan Guguk Kabupaten 50 Kota sekarang ini. Dalam bidang pendidikan, nagari ini adalah nagari yang termasuk paling dahulu mempunyai tradisi edukasi dibandingkan daerah lain pada masanya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya di daerah ini dua buah institusi pendidikan Islam yang termasuk tertua di Sumatera Barat yaitu surau Syekh Abdullah, ayah dari Syekh Abbas. Kemudian yang satu lagi, surau Syekh Muhammad Shaleh, ayah dari Syekh Abdul Wahid.
Surau Syekh Abdullah didirikan di Padang Japang pada tahun 1854, tidak lama setelah berakhirnya Perang Paderi. Sedangkan surau Syekh Muhammad Shaleh pada mulanya didirikan di Padang Kandis, kemudian dipindahkan ke Tabek Gadang Padang Japang pada tahun 1906. Kedua institusi pendidikan (baca: tradisional) Islam ini telah banyak melahirkan cerdik pandai dan tersebar di berbagai daerah di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat.
Syekh Abbas Abdullah secara genealogis berasal dari kalangan ulama. Dalam dirinya terdapat “darah biru” ulama-ulama terkemuka di daerahnya pada zaman mereka masing-masing. Dari pihak keluarga ayahnya terdapat lima orang Syekh yaitu Syekh Muhammad Shaleh (Syekh Munggu), Syekh Abdul Wahid Shaleh, saudara se ayahnya Syekh Muhammad Shalih, Syekh Mustafa Abdullah dan ayah Syekh Abbas Abdullah sendiri yakni Syekh Abdullah.
Ibu Syekh Abbas Abdullah bernama Seko yang berasal dari nagari Padang Japang. Ibunya bukan berasal dari kalangan ulama, akan tetapi berasal dari keluarga hartawan yang taat beragama. Syekh Abbas Abdullah bersaudara enam orang dari satu ayah dengan tiga orang ibu. Yang tertua bernama Syekh Muhammad Shalih, yang kedua Syekh Mustafa Abdullah dan merupakan saudara seayah seibu Syekh Abbas Abdullah. Sedangkan dari ibunya yang lain terdapat saudaranya yang lain yaitu Syekh Muhammad Said, Sa’adah dan Sa’adud. Dari enam orang tersebut, empat orang menjadi ulama. Dengan memiliki latar belakang keluarga seperti yang diterangkan diatas, telah membuka jalan yang sangat luas bagi Syekh Abbas Abdullah untuk menjadi ulama besar. Apalagi sejak kecil, beliau memang dikondisikan oleh ayahnya untuk kelak menjadi seorang ulama.
Sebagaimana halnya ulama pada masanya, Syekh Abbas Abdullah juga merupakan “orang jemputan”. Istri beliau berjumlah tujuh orang yaitu Kalimah, Lian, Tobik, Soviah, Saliah, Rohana dan seorang lagi di Batuhampar (tidak diketahui namanya). Dari ketujuh orang istrinya tersebut, Syekh Abbas Abdullah dikaruniai 15 orang anak yang diberinya nama Sofia, Zuraidah, Abdul Muis, Fauzi, Naimah, Azhariah, Damsakti, Azhari, Nuraini, Zahriah, Firman, Ismet, Faruq, Farid dan Adliah. Pada umumnya mereka dididik disekolah Syekh Abbas Abdullah kecuali tiga orang yaitu Azhari, Faruq dan Firman. Diantara anaknya yang cukup berhasil dan mengikuti jejak beliau menjadi ulama adalah H. Fauzi Abbas yang melanjutkan memimpin sekolah Darul Funun. Syekh Abbas wafat pada tanggal 17 Juni 1957.
Syekh Abbas Abdullah mulai masuk sekolah pada umur tujuh tahun. Waktu itu, pendidikan dan institusi pendidikan merupakan sesuatu yang langka dan elitis, baik untuk daerah Padang Japang maupun daerah-daerah lain di Sumatera Barat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda tidak begitu memperhatikan kebutuhan pendidikan rakyat. Sekolah yang ada hanyalah Kweekschool di Bukittinggi dan beberapa sekolah Gubernemen kelas II.
Maka kondisi yang minim ini, pendidikan surau merupakan alternatif yang terbaik ketika itu. Di daerah 50 Kota pada masa Syekh Abbas Abdullah ini tidak begitu banyak terdapat institusi pendidikan surau yang cukup baik, diantaranya surau yang terdapat di Batuhampar, Canduang, Sicincin, Mungka, Padang Panjang, Padang Japang dan Pandam Garang Suliki. Oleh ayahnya, Syekh Abbas Abdullah dimasukkan ayahnya ke surau Pandang Gadang. Walaupun ayahnya merupakan seorang ulama dan memiliki surau sendiri, namun Syekh Abbas Abdullah bukan belajar di surau yang dipimpin ayahnya tersebut. Hal ini disebabkan karena tuntutan adat istiadat Minangkabau yang berlaku pada waktu itu dimana anak-anak yang telah berumur tujuh tahun ke atas tidak baik tidur bersama dengan keluarganya lagi.
Waktu belajar di Pandan Gadang ini, Syekh Abbas Abdullah termasuk anak yang cerdas dan keras hati dalam mendapatkan pelajaran. Dari gurunya di Pandam Gadang inilah ia mendapat “mutiara kata” yang kelak menentukan jalan hidupnya. Isi mutiara kata tersebut adalah “kalau kamu ingin menjadi orang yang pintar dan berguna nanti, maka pergilah belajar ke negeri Mekkah”. Perkataan inilah yang mendorongnya untuk pergi ke Mekkah selagi umurnya belum pantas menunaikan ibadah haji. Setelah enam tahun belajar di Pandam Gadang, keinginannya untuk pergi ke Mekkah semakin menggebu-gebu.
Pada tahun 1896, satu kesempatan berharga terbuka baginya untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Pada waktu itu, mamaknya, Ibrahim akan pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini tidak disia-siakannya. Ia bermohon kepada mamak dan keluarganya untuk diizinkan ikut ke Mekkah. Tetapi mamaknya melarang, sebab umurnya masih kecil dan jalan yang akan dilalui sangat sulit. Tapi melihat keinginan yang demikian besar dan kegigihan Syekh Abbas Abdullah merayu dan memohon mamak serta keluarga, akhirnya Syekh Abbas Abdullah diizinkan berangkat. Tetapi setelah selesai menunaikan ibadah haji, Syekh Abbas Abdullah tidak mau pulang karena ia ingin belajar di Mekkah. Pada mulanya mamaknya melarang, akan tetapi berkat kegigihannya, mamaknya terpaksa memberi izin. Di Mekkah ini kemudian ia belajar kepada banyak guru, salah satunya adalah kepada mufti mazhab Syafii yang juga merupakan putra asli Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy.
Setelah beberapa tahun belajar dibawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abbas Abdullah kemudian pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa tahun mengabdikan diri dan mengajar di kampung halamannya, Syekh Abbas Abdullah kemudian melanjutkan pendidikannya ke centre ilmu pengetahuan Islam lainnya pada masa itu yaitu ke Mesir. Di Mesir, beliau belajar di Universitas Al-Azhar sebagai pendengar (mustami’). Salah seorang gurunya yang kemudian sering disebutnya adalah Syekh Badwiy, ulama pintar tapi memiliki cacat penglihatan (buta).
Sementara itu, disamping belajar di Mesir beliau menyempatkan diri pergi belajar ke daerah-daerah lain di Timur Tengah serta Eropa untuk mengadakan komparasi (studi perbandingan) seperti Palestina, Libanon, Syiria, Swiss dan lain-lain. Di Swiss beliau bertemu dengan Mahmud Yunus yang pada waktu itu sedang melakukan kunjungan ke sana. Sewaktu akan kembali ke kampung halamannya kembali, beliau kembali menunaikan ibadah haji ke Mekkah, kemudian beliau terus menuju Mesir untuk mengantarkan putera kakaknya Talut Musthafa dan Nazaruddin Thaha.
Melihat perjalanan pendidikan Syekh Abbas Abdullah ini, maka dari berbagai institusi pendidikan serta “warna” pendidikan yang dilaluinya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Mekkah dan Mesir merupakan dua “warna” yang sangat mempengaruhi pemikiran Syekh Abbas Abdullah. Figur Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mesir dan figur pemikiran serta ide-ide Muhammad Abduh di Mesir, menjadi konhtributor terbesar dalam mempengaruhi orientasi pemikiran Syekh Abbas Abdullah dalam pergulatan hidup dan pemikirannya kedepan.
Melihat masih banyaknya tradisi kultural di Minangkabau, khususnya didaerahnya yang masih banyak terjadi hal-hal yang bersifat bid’ah dan khurafat, maka Syekh Abbas Abdullah mencari format dan strategi yang efektif menanggulangi ini. Untuk itu ia pergi menemui teman-temannya yang dianggapnya bisa memahami keinginannya seperti Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang Batusangkar, Syekh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang dan Syekh Ibrahim Musa di Parabek.
Bertepatan di waktu itu di Padang Panjang dan Parabek, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Ibrahim Musa sedang mengkoordinir murid-muridnya di bawah suatu organisasi yang diberinya nama Sumatera Thawalib. Sebagai hasil dari kunjungan Syekh Abbas Abdullah menemui teman-temannya itu adalah bergabungnya pelajar-pelajar surau Padang Japang ke dalam Sumatera Thawalib dan sekaligus sekolahnya dinamakan dengan Madrasah Sumatera Thawalib. Dalam institusi pendidikan ini, Syekh Abbas Abdullah membina dan mengembangkan pola pendidikan yang nantinya berguna bagi murid-muridnya untuk menghadapi tantangan lingkungan yang penuh dengan tantangan.
Diantara pembinaan dan pengembangan yang beliau lakukan adalah mempersiapkan kader-kader muballigh. Kader-kader muballigh ini dilatihnya sekali seminggu yang disebut dengan muhadarah. Murid-murid dilatih bagaimana cara memberikan ilmu yang telah didapat kepada masyarakat. Pada mulanya kegiatan ini terkonsentrasi di sekolah saja, tetapi melihat animo masyarakat yang demikian tinggi, maka beliau mulai mengembangkannya dan membuka diri untuk masyarakat sekitarnya serta tidak hanya terfokus bagi para pelajar saja.
Diantara pelajar-pelajar yang telah dirasa cakap dan mampu dalam muhadarah ini, barulah diterjunkan ke dalam masyarakat. Mereka inilah yang dibawa oleh Syekh Abbas Abdullah berkeliling dari kampung ke kampung. Di saat para murid-muridnya berdakwah, Syekh Abbas Abdullah sering ikut tapi tidak ikut berdakwah. Beliau baru ikut menerangkan suatu materi ketika ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh para muridnya. Menurut H. Sya’ban Naim, salah seorang muridnya, Syekh Abbas Abdullah tidak biasa berdakwah dan berpidato. Ia tidak memiliki kemampuan maksimal sebagai seorang orator.
Ide-ide baru yang dikembangkan melalui media dakwah ini ialah merobah cara berfikir masyarakat yang telah terkontaminasi. Pelaksanaannya adalah berpedoman kepada pemikiran Muhammad Abduh yang masuk ke Sumatera Barat melalui majalah-majalah dan buku-buku karangan Muhammad Abduh sendiri seperti Al-Islam Ruhul Madaniyah. Di antara ide-ide Muhammad Abduh yang begitu ditonjolkan pada waktu itu adalah masih terbukanya pintu ijtihad, tetapi ijtihad tersebut tidak boleh dilakukan oleh semua orang, melainkan bagi orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditetapkan.
Masalah yang masuk dalam “wilayah” ijtihad ini tidak mengenai masalah ibadah, akan tetapi mayoritas masalah kemasyarakatan. Kemasuarakatan inilah yang harus disesuaikan dengan kehendak zaman. Dengan sendirinya taqlid kepada ulama tak perlu lagi dipertahankan, tetapi perlu diperangi karena taqlid seperti inilah yang akan membawa ummat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.
Sebagai konsekuensi dari ide-ide yang dikemukakan oleh pelajar-pelajar Sumatera Thawalib Padang japang dibawah bimbingan Syekh Abbas Abdullah ini mendapat tantangan dari beberapa kalangan ulama. Kondisi ini menimbulkan perdebatan-perdebatan antara yang mempertahankan dan yang menentang. Di mana-mana diadakan Majelis Tarjih untuk memperbincangkan berbagai masalah-masalah yang muncul sehingga masing-masing kelompok berusaha untuk mempertahankan perspektif mereka. Dalam konteks ini, maka timbullah iklim intelektual yang hidup.
Syekh Abbas Abdullah dengan pelajar-pelajar asuhannya membentuk suatu majelis tarjih yang waktu itu lebih dikenal dengan nama Debating Club. Debating Club ini pada mulanya diadakan dalam perkumpulan pelajar-pelajar di bawah bimbingan Syekh Abdullah Abbas saja, satu kali dalam satu minggu. Kemudian, sebagaimana halnya yang juga terjadi pada pelatihan muhadarah, kegiatan Debating Club ini juga menarik perhatian masyarakat. Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Debating Club ini sering di tempat terbuka dengan mengundang pelajar-pelajar lain seperti dari Tabek Gadang, Mungka dan lain-lain.
Materi yang diperbincangkan dalam Debating Club ini adalah masalah-masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti masalah riba, judi, ibadat, bank dan lain-lain. Pengikut-pengikutnya terdiri dari guru-guru dan murid-murid dari kelas tertinggi. Sedangkan Syekh Abdullah Abbas sebagai pembina hanya ikut menghadiri dan ikut aktif apabila ada masalah yang sulit dipecahkan atau dicari jalan tengahnya. Hasil dari Debating Club ini kemudian akan disiarkan atau diberitahu kepada masyarakat oleh para muballigh. Hasil yang diperoleh dari tradisi Debating Club ini sangat besar sekali. Terjadi perubahan pola pikir dalam masyarakat. Seorang yang akan berfatwa harus meneliti secara cermat darimana sumbernya. Karena itu, suatu hal tidak lagi diterima secara “membabi buta atau taqlid” dari seseorang begitu saja. Masyarakat tidak disuruh menerima tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Dengan demikian, dalam masyarakat, timbul tradisi kritis.
Sementara itu, cara berfikir ulama-ulama semakin hari semakin maju dan terbuka. Pengembangan ajaran Islam tidak hanya melalui media dakwah (lisan) saja lagi, akan tetapi ditambah dengan media jurnalistik (tulis) yaitu dengan menerbitkan majalah. Majalah Islam yang pertama sekali terbit di Sumatera Barat adalah Al-Munir di bawah pimpinan Syekh Abdullah Ahmad dan H. Marah Muhammad bin Abdul Hamid yang dibantu oleh HAKA, Dahlan Sutan Lembak Tuah, H. Muhammad Thaib Umar dan Sutan Mahmud Salim. Isinya mengupas tentang soal-soal agama yang sulit seperti masalah taqlid kepada satu iman, soal berhimpun di rumah orang kematian pada waktu hari pertama dan ketiga serta seterusnya, soal niat dan membaca usalli, soal berfoto, soal berdiri di waktu barzanji, soal tuah burung ketitiran dan masalah berpuasa dengan hisab dan rukyah. Majalah ini kemudian terhenti terbitnya karena percetakannya terbakar.
Kemudian pada tahun 1918, majalah Al-Munir diterbitkan kembali di Padang Panjang dengan nama Al-Munir el-Manar. Majalah ini diterbitkan oleh Jamiah Sumatera Thawalib Padang Panjang dua kali dalam satu bulan. Rais Tahrirnya adalah Zainuddin Labay el-Yunusiy, al-Mudirnya H. Syu’ib, Muharrirnya Abdul Hamid dan Annazirnya Basa Bandaro Padang. Pembantu-pembantunya terdiri dari H. Ahmad Khatib, H. Rasyid dan Abdul Madjid Sidi Sutan. Sedangkan pemimpinnya adalah HAKA, Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Abbas Abdullah Padang Japang. Penerbitan majalah ini kemudian diikuti oleh Jami’atul Muzakarah Ikhwan Parabek dengan nama Al-Bayan. Sedangkan Sumatera Thawalib Padang Japang menerbitkan pula dengan nama Al-Imam yang dipimpin sendiri oleh Syekh Abbas Abdullah. Nomor pertamanya diterbitkan pada bulan Nopember 1919 M./1338 H. Majalah ini diusahakan oleh pelajar-pelajar Padang Japang dengan biaya dari Syekh Abbas Abdullah. Isinya terutama mengupas tentang masalah agama yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran. Disamping itu juga terdapat ruangan terjemahan dari majalah-majalah Arab seperti Al-Manar dan Al-Ahram dari Mesir.
Majalah ini disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, sehingga orang yang jauh dapat bertanya kepada ulama tentang soal agama atau soal lain yang dikeragui. Karena itu, pengembangan pembaharuan pemikiran melalui majalah ini sangat besar pengaruh nya. Dengan cara-cara seperti ini, Syekh Abbas Abdullah telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam membentuk dan membina kader-kader ulama yang dapat diterjunkan ke dalam masyarakat untuk memperbaiki pola dan perspektif pemikiran mereka. Perjuangan yang demikian bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi membutuhkan kesungguhan, ketabahan, pengorbanan fisik mental finansial dan keuletan. Karena yang diubah bukanlah masalah bentuk luarnya, melainkan adalah adat tradisi yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kala itu.
Langkah awal yang dilakukannya adalah terlibat secara langsung dalam pembinaan (ikut mengajar) di surau peninggalan ayahnya yang dipimpin oleh kakaknya, Syekh Mustafa Abdullah. Usaha yang dilakukannya pertama sekali adalah menukar cara belajar yang waktu itu hanya mementingkan beberapa mata pelajaran saja. Kemudian berusaha memperbaharui beberapa kitab yang dipelajari. Melalui Syekh Abbas Abdullah, sistem pelajaran di surau milik ayahnya ini yang kemudian dirubahnya menjadi Sumatera Thawalib Padang Japang, mulai diperkenalkan kitab-kitab yang dikeluarkan Mesir seperti Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir. Kitab-kitab ini diajarkan pada murid-mirid yang telah berada pada kelas tertinggi yaitu kelas VI dan kelas VII. Di samping itu, beliau juga mengajarkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah kepada murid-murid tertentu.
Kitab-kitab yang beliau ajarkan ini sangat disukai oleh pelajar-pelajar yang berfikiran maju. Kitab Bidayatul Mujtahid tidak memihak pada salah satu mazhab, sangat sesuai dengan pemikiran yang suka berijtihad. Tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir yang uraiannya sesuai dengan rasio, cocok pula dengan perkem-bangan zaman. Sedangkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah disukai pula karena dapat menimbulkan kesadaran dan semangat juang ummat Islam dalam menghadapi penjajahan Belanda. Disamping itu, ilmu matiq mulai diajarkan pada murid-murid kelas lima ke atas. Ilmu ini sangat berguna dalam melatih menegakkan pendapat dalam berdiskusi. Sejalan dengan diajarkannya ilmu matiq, maka cara belajar pun mulai berobah. Kalau sebelumnya murid belajar secara pasif, maka sekarang para murid diminta untuk aktif. Seorang murid ditunjuk untuk membaca, kemudian yang lainnya diminta untuk membandingkan bila ada yang salah.
Di samping perubahan materi dan cara belajar ini, cara menuntut pelajaran juga berubah. Pada masa sebelumnya seseorang yang pergi menuntut ilmu terlebih dahulu harus pergi mencari “induk semang”. Bila tidak dapat induk semang, maka pergi meminta-minta tiap hari kamis ke kampung-kampung. Tradisi ini mulai dilarang oleh Syekh Abbas Abdullah karena menurut beliau meminta-minta bertentangan dengan ajaran Islam dan merendahkan derajat serta ilmu seseorang. Dengan demikian, seorang murid membawa perbekalan yang cukup dari kampung halaman mereka masing-masing. Bagi yang kurang mampu, dicarikan pekerjaan pada sore harinya. Untuk meninggikan pandangan masyarakat terhadap pelajar-pelajar, maka Syekh Abbas Abdullah mulai mengatur cara berpakaian. Kalau pada masa dulu seorang pelajar mirip dengan “labai”, maka oleh Syekh Abbas Abdullah, para murid disuruh berpakaian bersih dan rapi, memakai alas kaki dan rambut dipotong tetapi tidak dicukur habis. Melihat perkembangan Sumatera Thawalib Padang Japang yang demikian, membuat masyarakat banyak yang tertarik untuk belajar. Sehingga berdatanganlah murid-muridnya dari berbagai pelosok daerah seperti dari Tapanuli, Bangkinang, Bengkulu, Jambi dan lain-lain. Murid-murid periode inilah yang menentukan perkembangan pendidikan agama pada masa selanjutnya seperti Nasharuddin Thaha, Zainuddin Hamidy dan lain-lain. Sekembalinya dari menuntut ilmu ke Mesir, Syekh Abbas Abdullah langsung mencurahkan tenaga dan fikiran sepenuhnya pada perguruan Sumatera Thawalib Padang Japang. Diadakannya perbaikan dalam sistem pengajaran dan peralatan dengan menerapkan apa yang dilihatnya di Universitas Al-Azhar. Sekolah dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Ibtidaiyah dengan lama belajar selama empat tahun dan Tsanawiyah dengan lama belajar selama empat tahun. Sementara itu, pada tahun 1928, pengetahuan umum seperti ilmu bumi, sejarah, tata negara, biologi dan bahasa asing mulai di perkenalkan.
Dalam pada itu, organisasi Sumatera Thawalib yang telah berusaha menyatukan pelajar-pelajar Madrasah Sumatera Thawalib yang ada, mengadakan rapat di Bukittinggi. Di antara isi rapat tersebut adalah meninjau kembali kemungkinan dimasukkannya mata pelajaran praktis seperti mata pelajaran pertanian, pertukangan dan perdagangan. Rapat ini tidak berjalan mulus karena sebagian peserta menarik diri. Tambahan lagi, suasana politik sudah mulai masuk kedalam Sumatera Thawalib yang mengakibatkan organisasi ini berubah menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Syekh Abbas Abdullah selaku orang yang telah banyak merasakan asam garam kehidupan ini, telah mengetahui hal ini. Beliau kemudian berkata : “kalau sekolah sudah memasuki dunia politik, maka sekolah itu akan hancur, boleh berpolitik tapi jangan di sekolah”. Karena itu, ia menarik sekolahnya dari keanggotaan Sumatera Thawalib dan kemudian menukar nama madrasahnya menjadi Darul Funun el-Abasiyah.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Syekh Abbas Abdullah adalah memperbaharui bangunan gedung tempat belajar. Hal ini dilakukan karena pada masa sebelumnya pelajar-pelajar Padang Japang hanya belajar di surau. Untuk itu, Syekh Abbas Abdullah mewakafkan sebagian tanahnya dan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Tahun 1928, keinginan kemudian terealisasi. Pada tahun 1927, Muhammadiyah mulai masuk ke Padang Japang. Salah satu kegiatannya adalah mendidik pemuda berorganisasi melalui organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Terinspirasi dengan organisasi Hizbul Wathan ini, maka banyak institusi pendidikan Islam pada masa itu mendirikan organisasi seperti Hizbul Wathan tersebut. Sumatera Thawalib Parabek dengan Ansharullah-nya, Thawalib Padang Panjang dengan Al-Hilal-nya dan Darul Funun el-Abasiyah Padang Japang dengan kepanduan Al-Kasyaf-nya. Dengan berdirinya Al-Kasyaf ini, maka bidang pelajaran keterampilan mendapat perhatian yang besar pula di madrasah tersebut. Sehingga madrasah Padang Japang ini betul-betul termasuk institusi pendidikan Islam yang maju waktu itu.
Sekitar tahun 1934, kemajuan madrasah ini mulai goncang karena pemerintah kolonial Belanda mulai mencurigai madrasah-madrasah di Indonesia, terutama di Sumatera Barat, yang mempelajari materi yang memiliki potensi untuk menumbuhkan perasaan nasionalisme kebangsaan. Penggeledahan mulai dilakukan, tidak terkecuali Darul Funun. Hal ini membuat kegiatan pendidikan berhenti untuk sementara waktu, walaupun akhirnya kemudian dilanjutkan lagi. Pada tahun 1942, konstelasi sosial politik Indonesia berubah. Menyikapi perubahan sosial politik yang terjadi, berbagai madrasah di Sumatera Barat membentuk berbagai lasykar pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Madrasah Darul Funun Padang Jabang oleh Syekh Abbas Abdullah dibentuk lasykar Sabilillah dibawah pimpinan Saaduddin Syarbaini. Setelah Indonesia merdeka, sebahagian dari anggota lasykar ini ada yang aktif dan menjadi anggota militer, seperti anaknya sendiri, Kapten Azhari, dan lain-lain.
Secara ideologis, Syekh Abbas Abdullah telah membentuk rasa kebangsaan para anak didiknyua. Dengan dirubahnya kurikulum Sumatera Thawalib Padang Japang yang memberikan porsi pembelajaran mengenai tata negara dan sejarah yang secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa kebangsaan, membuat pemerintah kolonial Belanda menaruh curiga terhadap institusi pendidikan Islam seperti Sumatera Thawalib Padang Japang ini. Ketika Syekh Abbas Abdullah mulai berkiprah dalam dunia kemasyarakatan dan pendidikan di kampung halamannya, pengaruh komunis mulai merambah Sumatera Barat, tidak terkecuali di institusi pendidikan yang dipimpinnya. Pelajar-pelajar Sumatera Thawalib banyak yang apresiatif terhadap komunis dan berkeinginan untuk memasukinya. Oleh Syekh Abbas Abdullah hal ini ditentangnya habis-habisan dengan mengatakan bahwa komunis merupakan ideologi yang berseberangan secara total dengan ajaran agama Islam, terutama yang menyangkut ajaran mereka mengenai anti Tuhan. Dengan demikian, Syekh Abbas Abdullah memiliki kontribusi yang besar dalam mengantisipasi pernyebaran ajaran komunis, terutama dalam masyarakatnya dan para pelajarnya.
Kedatangan Jepang ke Sumatera Barat, kolonial Jepang berusaha mendekati para ulama. Sementara itu, para ulama memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengorganisir diri dalam suatu badan yang bernama Majelis Islam Tinggi (MIT) dibawah pimpinan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Djambek. MIT secara umum bertujuan untuk memperkokoh keimanan dan menolak secara tegas tradisi Seikere (menyembah atau membungkukkan badan menghadap Tokyo). Ketika Jepang terdesak, Jepang berusaha untuk menarik pemuda-pemuda ikut perang membela Jepang. Akan tetapi, umumnya para pemuda tersebut tidak begitu tertarik. Yeno Kenzo, Residen Jepang di Sumatera Barat berusaha mengumpulkan sejumlah pemuka agama, adat dan cerdik pandai dalam rangka membentuk badan lain yang bernama Gyu Gun Ko En Kai yang merupakan bagian dari Hoko Kai. Rasionalisasinya adalah bahwa badan yang dibentuk ini merupakan tentara rakyat dan akan berdampingan membela tanah air dengan Jepang. Keinginan inipun disosialisasikan kepada masyarakat. Ketika kabar ini sampai ke Padang Japang, banyak para pemuda yang ragu-ragu, kemudian mereka pergi menemui Syekh Abbas Abdullah yang waktu itu merupakan salah seorang anggota MIT untuk minta pendapat. Syekh Abbas Abdullah kemudian mengatakan : “Kalah politik Jepang oleh Belanda. Kalau Belanda tidak boleh kita menjadi tentara baginya, tetapi Jepang dibolehkannya. Masukilah Gyu Gun itu nanti berguna bagi kita untuk memeranginya”. Perkataan Syekh Abbas Abdullah ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat dan murid-muridnya. Sehingga banyak dari masyarakat yang memasuki Gyu Gun, diantara Azhari, anak beliau sendiri. Ketika Indonesia merdeka, dan untuk mensikapi hal ini, maka pada bulan Desember 1945, MIT sebagai badan yang memiliki pengaruh besar di Sumatera Barat mengadakan kongres di Bukittinggi pada bulan Desember 1945. Hadir dalam kongres tersebut para ulama dari berbagai penjuru Sumatera Barat. Hasil kongres tersebut menghasilkan semboyan revolusioner yang berbunyi : “Siapa-siapa yang tewas dalam memperjuangkan kemerdekaan dewasa ini adalah mati syahid dunia dan akhirat”. Di samping itu kongres tersebut juga membentuk tiga panitia yakni panitia fatwa, panitia barisan Sabilillah dan panitia politik.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
(Edit oleh: Muhammad Ilham, Abdullah Arifianto)
(Edit oleh: Muhammad Ilham, Abdullah Arifianto)
SOEKARNO MENGHADAP PANGLIMA JIHAD
SIANG itu, Juni 1942, ada sesuatu yang berubah pada diri Soekarno. Ia tampil lebih elegan. Peci hitamnya yang semula pendek berubah bentuk menjadi lebih tinggi. Rupanya, itulah peci baru hadiah dari Syekh Abbas Abdullah. Kenang-kenangan yang diberikan Syekh Abbas di Jorong Padang Japang, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, sebelum kemerdekaan Indonesia.
“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam,” kata Syekh Abbas, seperti dituturkan Kepala Desa Padang Japang, Harmaini, 61 tahun, kepada Gatra. Syekh Abbas adalah penerus Darul Funun El Abbassyiah (DFA), pondok pesantren tebesar dan pelopor pembaruan di Sumatera Tengah.
Waktu itu, peci merupakan indentitas kaum muslim. “Umat akan mendu kung kamu, selama kamu tidak memisahkan agama dan pemerintah. Kamu juga harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan –
menghancurkan bangsa kita,” kata Syekh Abbas, seraya menatap Bung Karno yang masih membetulkan letak pecinya.
Peci tinggi itu tampak pas. Serasi dengan wajah Bung Karno yang kala itu agak kurus. Peci lama Bung Karno -yang sudah lusuh dan pendek- ditinggalkan di surau syekh. Bung Karno tampak menikmati peci barunya. Beberapa kali ia bercermin di dinding kamar Syekh Abbas. Sesaat kemudian keduanya melangkah ke halaman Gedung DFA, sekitar 50 meter dari kediaman syekh. Di situ, Bung Karno berpidato sekitar 30 menit di hadapan para siswa, lalu pamit kembali ke Padang.
Namun, sebelum pulang, Bung Karno diapit Syekh Abbas dan Syekh Mustafa -kakak beradik putra Syekh Abdullah, pendiri DFA- dijepret juru kamera Said Son. Tiga hari kemudian, Syekh Abbas mengungkapkan pertemuannya dengan Bung Karno di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid Al-Abbasyiah. Kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara.
Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar Bung Karno pandai-pandai menjaga martabatnya. Sebab, menurut syekh, gigi taring sebelah kanan Bung Karno dempet. Maksudnya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat ramang mata, alias mudah jatuh cinta kepada wanita,” kata Syekh Abbas.
Maka, jika tidak berhati-hati, Bung Karno bisa tacemo alias tercela oleh wanita. “Peci itu, paling tidak, akan senantiasa menyadarkan kita kepada agama dan bangsa,” kata Syekh Abbas. Tak jelas, apa reaksi Bung Karno saat menerima petuah itu.
Yang pasti, di mata Bung Karno, Syekh Abbas adalah orang yang dicarinya, untuk dimintai pendapatnya sehubungan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dan, kesempatan itu muncul saat ia terbebaskan dari tawanan Belanda di Bengkulu, 1942. Saat itu, Jepang mulai memasuki Indonesia. Cemas melihat situasi negeri ini yang mulai kacau, Bung Karno yang dibui di Bengkulu diboyong Belanda ke Kota Cane, Aceh.
Kala perjalanan sampai di Painan, sekitar 70 kilometer dari Padang, Bung Karno ditinggalkan. Belanda ketakutan karena Jepang telah sampai di Bukittinggi. Maka, bersama istrinya, Ibu Inggit dan seorang anak angkatnya, Bung Karno naik pedati ke Padang.
Dua hari kemudian mereka sampai di Padang, dan disambut Abu Bakar Djafar. Pakaian Bung Karno yang kotor kemudian diganti dengan beberapa setelan jas oleh Persaudaraan Saudagar Indonesia (Persdi). Lalu, pakaiannya yang kumuh dibagikan kepada anggota Persdi untuk kenang-kenangan.
Dari Padang, rombongan meneruskan perjalanan ke Bukittinggi. Ia bermalam di kota dingin itu, dan membebaskan Anwar Sutan Saidi, ayah Rsutam Anwar, pemilik Hotel Minang, tokoh pergerakan yang ditahan Jepang karena dituduh berpihak kepada Belanda. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Payakumbuh. Dari sini, Bung Karno menuju Jorong Padang Japang, yang jalan tanahnya berdebu sejauh 18 kilometer. Ia disambut ribuan warga serta siswa DFA dan Nahdhatunnisyaiyah di sepanjang jalan 500 meter.
Peninjauan Bung Karno ke Jorong Padang Japang ternyata cukup “rumit”. Misalnya, ia masih harus menuruni ratusan anak tangga yang terbuat dari sabut kelapa. Lalu, untuk menuju kampus DFA, ia meniti pematang tebat nan berliku, yang cuma bisa dilewati satu orang sejauh 600 meter.
Kini, kampus DFA menyisakan dua bangunan. Yakni, enam lokal ruang belajar dan kantor merangkap asrama siswa berukuran 22 x 12 meter. Kondisi bangunan itu menyedihkan. Langit-langitnya lapuk dimakan usia. Makam dua ulama besar, Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, ditumbuhi lumut menandakan jarang dikunjungi orang. Setelah lama tak aktif, sejak tahun 1994 DFA kemudian dihidupkan kembali oleh Jendral Purnawirawan Aditiawarman Thaha. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke gedung baru tiga lokal dengan seratusan siswa, persis di atas tebing gedung lama.
DFA, yang didirikan Syekh Abdullah pada 1875, awalnya hanya pengajian sistem halaqah di sebuah masjid tua beratap ijuk. Setelah Syekh Abdullah meninggal pada 1903 dalam usia 73 tahun, DFA ditangani dua putranya, Syekh Abbas dan Syekh Mustafa. Keduanya pernah diasuh ulama Minangkabau terkemuka di Mekkah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka juga belajar di beberapa perguruan di Timur Tengah dan Eropa. Bahkan, keduanya sempat jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir.
Pulang ke Tanah Air pada 1919, dalam usia 36 tahun, Syekh Abbas bersama Syekh Abdul Karim Amarullah, ayah almarhum Prof. Dr. HAMKA, dan beberapa ulama tamatan Mesir, mendirikan sejumlah sekolah dengan satu nama: Madrasah Sumatra Thawalib. Inilah madrasah pertama sistem klasikal yang memakai papan tulis serta kursi dan meja. Tapi, pada 1930, Syekh Abbas mengganti nama sekolahnya menjadi DFA karena menolak bergabung ke dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi).
DFA tak sebatas mengajarkan Al-Quran dan Hadits, tapi juga ilmu falaq, geografi, fisika, kimia, aljabar, serta kesenian, semuanya dalam bahasa Arab. DFA juga punya barisan pandu terlatih, grup kesenian, dan kesebelasan yang mampu bermain hingga ke Singapura. Majalah Al Imam adalah media perjuangan mereka.
Syekh Abbas, berdarah Arab Yaman, bertubuh tinggi kekar dan bercambang, tak memerlukan bantuan siapa pun dalam mengelola pesantrennya. DFA bisa tumbuh pesat berkat dukungan tanah wakaf penduduk dan usaha kebun karet dan tujuh toko buku milik Syekh Abbas di kota Payakumbuh. Toko itu adalah merupakan agen dan penyalur buku-buku asal Timur Tengah untuk Sumatera Tengah. Pada 1940, siswa DFA tercatat lebih dari 4.000 orang. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok Sumatera, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Sejalan dengan kemajuan itu, sekolah ini merupakan basis perjuangan kemerdekaan. Pasukan jihad untuk menghadapi penjajah Belanda terlahir dari sini. Waktu itu, Syekh Abbas sendiri terpilih menjadi imam (panglima) jihad wilayah Sumatera Tengah. Itu sebabnya, beberapa kali Belanda ingin memberangus DFA. Namun, niat itu selalu urung terlaksana setelah Belanda bertatap muka dengan Syekh Abbas.
Kala Bung Karno mengunjunginya, Syekh Abbas yang telah menanti di tangga Surau Baru, nama kediaman syekh, ia tampak kurang sedap menyambut. Rupanya syekh kecewa berat. Soalnya, janji Bung Karno kurang tepat, alias molor dua jam. Bung Karno baru tiba di kampus DFA pukul 13.00. Padahal, warga dan siswa sudah capek menanti. Masakan rendang dan gulai kambing untuk sang tamu pun lama tak tersentuh. “Kalau begini nanti kau memimpin negara ini, rakyat akan kecewa. Negara akan binasa,” kata Syekh Abbas.
Bung Karno, yang paham watak keras Syekh Abbas, cuma tersenyum dan menunduk. Mereka berdua kemudian masuk ke kamar kerja syekh. Hampir tiga jam keduanya berbicara empat mata. Sementara itu, Ibu Inggit dan anak angkatnya ditemani Nurjani dan Zuraida, keponakan syekh, berbincang di ruang tamu. Saat makan siang inilah Bung Karno dihadiahi peci tinggi. Sejak itu, Bung Karno selalu mengenakan peci tinggi, dan tampak lebih gagah.
Peci tinggi itu seakan menjadi tak terpisahkan dari Bung Karno. Peci itu pula yang pernah digunakan Bung Karno sebagai alat “diplomasi”. Kala Bung Karno mengunjungi Kuba, pada 1962, pemimpin Revolusi Kuba Fidel Castro sempat bertukar “tutup kepala” dengannya. Castro ganti mengenakan peci Bung Karno, dan kepala Bung Karno ditutupi topi tentara ciri khas Castro. Keduanya tertawa lepas menikmati adegan langka ini.
(Fachrul Rasyid HF/Dari Buku Refleksi Sejarah Minangkabau : Dari Pagaruyung sampai Semenanjung & Majalah GATRA 9 Juni 2001-)
Sumber:http://www.darulfunun.or.id/13/syekh-abbas-abdullah/
=====
Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang, Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan
Bisa jadi hal ini pulalah inspirasi bagi perumus pancasila di negara yang kemudian bermekaran bunga-bunga korupsi. Selama bangsa dan negara ini masih ada, dan selama pancasila menjadi dasar, tak seharusnya (kita) melupakan Syeikh Abbas Padang Japang.
Jaranglah kita tahu bagaimana cerita sebenarnya. Saya tidak mendapatkan data pasti. Namun yang jelas, Padang Japang sangat berjasa dalam menumbuh-kembangkan ilmu pengetahuan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Namun, ada cerita lain yang bergulir dari mulut ke telinga di tengah masyarakat nagari itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno pernah datang untuk belajar di sekolah Syeikh Abbas Abdullah itu. Ada pula yang mengatakan, Soekarno berpacaran dengan gadis nagari itu, kemudian gadis itu ditinggalkannya setelah ia berangkat kembali ke Jakarta.
Memang, sekarang, ada perempuan tua yang agak cacat mental, yang dipercayai orang-orang bahwa dialah pacar Soekarno dulu. Kebenaran cerita yang berkembang di tengah masyarakat itu sulit juga di percaya. Haruslah diluruskan, bahwa kedatangan Ir.Soekarno, hanya meminta saran dan pituah Syeikh Abbas Abdullah yang mendunia ilmu dan namanya ketika itu.
Sejarah
Syeihk Abbas Abdullah yang lebih di kenal dengan Syeikh Abbas Padang Japang, dalam buku yang pernah diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatra Barat, tahun 1981 bahwa ia termasuk salah satu dari 20 ulama terkemuka Minang Kabau. Popularitasnya sekaliber dengan H. Agus Salim, Syeihk Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang), Ahmad Khatib Alminangkabawi, Imam Masjidil Haram yang terkenal itu, buya HAMKA dan sederatan ulama terkemuka lainnya. Ia dilahirkan di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 1883. Ayahnya Syeikh Abdullah yang ikut berjuang bersama Tuanku nan biru dalam perang Paderi yang di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Sejak berumur 13 tahun beliau memberanikan diri mencapai keinginannya untuk menjadi ulama besar. Maka berangkatlah ia ke tanah suci bersama pamannya yang ingin menunaikan ibadah haji. Ketika syeikh berumur 21 tahun, setelah banyak belajar dari ulama besar di tanah suci, muncullah kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Delapan tahun ia di tanah suci, Mekkah, ia pun pulang kampung. Membawa kitab-kitab besar. Menjadi bahan tertawaanlah bagi orang-orang sekampungnya ketika itu, banyak mempertanyakan untuk apa kitab-kitab besar ini.
Semangatnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak pernah luntur. Ia pun menjadi guru di sekolah ayahnya. Ketika itu masih sangat sederhana, sistem halaqah di dalam masjid. Syeihk Abbas tidak puas dengan sistem itu, ia ingin mengubah sistem dari tradisonal menjadi sistem yang lebih modern. Ia berangkat ke Bukittinggi menemui Syeihk Ibrahim Musa Parabek, dilanjutkannya perjalanannya ke Padang Panjang menemui Syeikh Abdul Karim Amrullah yang kemudian lebih dikenal buya Hamka, dan syeikh Thaib Umar di Sengayang Batu Sangkar. Dapatlah kata sepakat bahwa sistem halaqah harus diganti dengan sistem klassikal dengan kurikulum yang teratur dan bahan bacaan yang mendalam.
Kemudian, nama sekolahnya diganti dengan Madrasah Thawalib Padang Japang, setelah dapat bekerja sama dengan sekolah di Parabek, Padang Panjang dan Sungayang yang berada dalam naungan oragnisasi Sumatera Thawalib. Pembaharuannya ketika itu di sambut hangat oleh masyarakat Minang, walupun ada bertentangan dengan Syeikh Saad Mungka, Syeikh Sulaiman Arrasuli Canduang, dan Syeikh Muhammad Djamil Jaho, dan syeikh yang menganut ilmu tarekat lainnya.
Syeikh Abbas Padang Japang pun ingin mengubah paradigma masyarakat, bahwa memakai jas, dasi dan sistem belajar klassikal bukanlah hal yang diharamkan agama. Sebab, pemahaman masyarakat sebelumnya “haram” karena meniru gaya kolonial Belanda yang non muslim.
Syeikh Abbas merasa belum cukup ilmu dalam pertentangan pendapat itu, maka ia putuskanlah untuk berangkat lagi ketanah suci. Dalam perjalanan yang kedua ini , Syeikh Abbas mengunjungi negara-negara Islam lainnya, seperti Syria, Lebanon dan bahkan sekular Swiss. Di Swiss itulah beliau bertemu dengan Mahmud Yunus pada tahun 1924. Beliaupun melanjutkan perjalanan ke Mesir, Universitas Islam terkemuka, Al Azhar. Disanalah ia banyak belajar, walaupun hanya sebagai Mutsami’ namun beliau aktif dalam organisasi.
Setelah banyak mendapat ilmu pengetahuan, iapun pulang ketanah air. Sebelum sampai di Padang Japang, ia berkunjung ke pesantren-pesantren di tanah Jawa. Perjalanan itu mempertemukannya dengan pemimpin Islam terkemuka, H. Agus Salim.
Sesampainya di Padang Japang, ia menikah dengan siti Hulimah, gadis senagarinya. Rasanya, telah lama benar ia membujang dan berpetualang ke manca negara dalam mencari ilmu pengetahuan.
Syeikh Abbas melihat perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti HIS, MULO, AMS dan sebagainya, hanya teruntuk bagi bangsawan dan orang- orang kaya saja. Tersentaklah hati Syeikh Abbas untuk menggerakkan kembali Madrasah Thawalibnya dulu yang pernah ia tinggalkan. Perubahan sistempun terjadi, alat-alat banyak bertukar sesuai dengan pengalamannya di Al Azhar, Mesir.
Hal tersebut membuat perguruan Thawalibnya menjadi pesat dan menjadi pusat pendidikan agama terkemuka dan modern di Ranah Minang. Padang Japang ramai di kunjungi orang dari berbagai daerah untuk mencari ilmu agama. Alumninya tersebar keseluruh pelosok negeri dengan berbagai keahlian. Untuk mengemukakan alumninya, dapat di sebutkan Zainudin Labay El Yunusi, yang kemudian menjadi ilmuwan yang dikenal dengan filosof dari Timur. Zainudin Hamidiy yang berhasil mendirikan Ma’had islami di Payakumbuh dan Nashrudin Thaha yang berperan sebagai ulama, pengarang dan politikus yang jakhirnya menjadi menantu Syeikh Abbas.
Pada tahun 1930, Thawalib Padang Japang menyatakan keluar dari Sumatera Thawalib yang berganti nama menjadi Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI setelah berlangsungnya kongres Sumatera Thawalib. Maka Syeikh Abbas mengganti nama madrsahnya menjadi madrasah Darul Funun El Abbasyiyah, tidak berinduk lagi kepada PERMI.
Perkembangan pun semakin meningkat, mengundang orang berdatangan dari luar daerah bahkan luar propinsi. Kolonial Belanda yang memang tidak pernah senang dengan pribumi, keiri-dengkian atas prestasi syeikh Abbas membuat Belanda berang, merasa tertandingi. Maka dituduhkanlah hal yang macam-macam ke Syeikh Abbas. Terjadilah penggeledahan pada tahun 1934, yang mengakibatkan terhentinya kegiatan madrasah untuk beberapa saat lamanya. Delapan tahun setelah penggeledahan itu, barulah Soekarno tergerak hatinya untuk datang meminta saran dan pendapat Syeikh Abbas.
Padang Japang Berjasa
Sesudah kemerdekaan, bermacam-macam barisan rakyat untuk membela kemerdekaan bermunculan. Syeikh Abbas pun pernah diangkat menjadi Imam Jihad untuk daerah Minang Kabau. Pada masa agresi militer Belanda II, tahun 1947-1949, Darul Funun pernah menjadi pusat pemerintahan propinsi. Mr. Teuku Muhammad Hasan, gubernur Sumatera Tengah ketika itu, berkantor di Darul Funun itu. Setelah terbentuknya PDRI, Darul Funun menjadi kantor mentri PPK dan mentri Agama PDRI. Ketika Muhammad Natsir dan Dr.J.Leimeina menjemput ketua PDRI, Mr.Syafrudin Prawiranegara, Darul Funun menjadi pusat pertemuan, orang-orang membicarakan dan merumuskan nasib tanah air ini, Indonesia ini, di situ di Darul Funun itu.
Darul Funun Kini
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang, meninggal pada tahun 1957. Orang-orang terkejut, perih yang sangat dalam, Minang Kabau menangis kehilangan putra terbaiknya, Darul Funun kehilangan pengasuhnya, ya, kehilangan separuh nafasnya.
Amatlah miris hati kita, melihat sekolah yang diperjuangkan seorang pahlawan, yang tak pernah ada nama jalan seperti namanya di Ranah Minang ini. Hampir tidak ada seorangpun dari kampung Padang Japang itu, anaknya bersekolah di sana sekarang, dan siswanya pun boleh dihitung pakai jari tangan saja. Dunia telah meodern. Semuanya serba digital, canggih. Sekolah-sekolah modern buatan pemerintah, saling berpacu menjadi sekolah internasional, dengan peralatan, sarana dan prasarana yang serba canggih pula, uang sekolahnya pun mahal.
Seperti HIS, MULO, AMS dan sederetan sekolah Belanda lainnya, yang teruntuk buat orang kaya-kaya saja. Sementara keberadaan darul funun El abbasiyah kini semakin di pinggirkan, sekolah yang pernah mengangkat harkat martabat anak-anak miskin, sebagai sebuah perpacuan intelektual dengan penjajah dulu, kini teredusir oleh arus globalisasi, arus yang membuat generasi Padang Japang menjadi “latah”. Sejarah telah bergulir, dengan pelaku dan latar yang berbeda, namun, penjajahan pendidikan itu sama saja dengan kolonial.
Sudah lama sekali Syeikh Abbas meninggal dunia, tahun 1957 lalu, namun ia tetap hidup dalam sanubari kita. Hanya bagi kita yang tahu sedikit saja. Atau sejarah ini tidak diturunkan oleh ninik mamak, bapak, atau ibu kepada anak-kemenakan mereka. Sehingga nyaris kita merasakan Syeikh Abbas benar-benar telah tiada. Nyaris kita kehilangan benar dan benar-benar melupakannya.
======
Sudah lama sekali Syeikh Abbas meninggal dunia, tahun 1957 lalu, namun ia tetap hidup dalam sanubari kita. Hanya bagi kita yang tahu sedikit saja. Atau sejarah ini tidak diturunkan oleh ninik mamak, bapak, atau ibu kepada anak-kemenakan mereka. Sehingga nyaris kita merasakan Syeikh Abbas benar-benar telah tiada. Nyaris kita kehilangan benar dan benar-benar melupakannya.
======
PECI TINGGI PANGLIMA JIHAD UNTUK SOEKARNO
Tidak banyak dari kita yang menyadari bahwa proklamasi yang disuarakan pada 17 Agustus 1945 lekat dan terbungkus dengan seni. Justru sebaliknya banyak dari kita yang mengendapkan kesan bahwa prokalmasi sama dan sebangun dengan asap mesiu, bambu runcing, tentara pelajar, pekik merdeka, laskar-laskar perjuangan atau pertempuran bersenjata.
Ya jelas, kalau sedang lagi berjuang membela sebuah prinsip penting, tidak ada tempat lain selain berjuang dengan kekuatan seadanya. Kalau perlu dengan ayunan tangan pun tak menjadi soal atau kekuatan senjata. Yang penting berjuang secara fisik. Memikirkan yang lain, maaf saja, tidak ada tempat untuk dilakukan. Apakah benar proklamasi 17 Agustus 1945 seperti itu? Jawabannya cukup lima huruf: TIDAK.
Mungkin hanya Indonesia negara satu-satunya di dunia yang getol mengurusi hal-hal berkaitan dengan seni ketika sedang perang revolusi. Kalau kita membayangkan revolusi di Afrika, pasti terbayang akan pembantaian suku, pertumpahan darah dan kematian. Bagaimana dengan di Amerika Latin? Sama saja. Yang terdengar hanya perang gerilya melawan penguasa. Gerilya berasal dari bahasa Spanyol, /guerra/ yang artinya perang dan diadaptasi ke bahasa Inggri menjadi /guerilla/ atau gerilya daam bahasa Indonesia. Di belahan dunia manapun begitu, kalau lagi perang, ya perang! Mengurusi yang lain, seperti kesenian, menjadi urusan kesekian. Nanti saja kalau sudah selesai revolusinya.
Ketika baru masuk SMA di Jakarta, saya dan teman-teman pernah mengunjungi pameran seni Bung Karno di Taman Ismail Marzuki tahun 1983. Saat itu namanya sedang dipendam dalam-dalam oleh penguasa. Tapi sebaliknya pameran itu dipadati pengunjung yang sangat antusias dengan masalah seni, terutama pada masa revolusi. Terlihat bagaimana nuansa seni, terutama lukisan dan pahatan, sangat identik dengan gelora revolusi dan perang kemerdekaan.
Nah, Indonesia justru sebaliknya, beda negara-negara lain. Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti sudah dipersiapkan tata seninya jauh sebelum negeri ini lahir. Apa yang dibicarakan Soekarno pertama kali mendarat di Jakarta di Pelabuhan Pasar Ikan pada 1942? Setelah dia dibuang bertahun-tahun di Ende, Flores, lalu ke Bengkulu, lalu melanglang keliling Sumatera dan akhirnya terdampar di Palembang, dan pulang berlayar dengan perahu kecil ke Jakarta? Dia hanya membicarakan masalah model jas dengan penjemputnya, yang juga bekas iparnya, Anwar Tjokroaminoto. Bukan strategi perjuangan.
Lalu apa yang dilakukan pemerintah negeri ini yang baru berusia 4 bulan, ketika keadaan Jakarta sedang genting melinting dengan kacau balau menghalau apapun? Pameran lukisan! Beberapa pelukis seperti Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Mochtar Subianto, Raden Ali, Kartono Judoko dan seniman lainnya, mengadakan pameran di gedung Sekolah Tinggi Tabib Jakarta. Pameran itu dibuka oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dan dihadiri pembukaannya oleh Presiden Soekarno yang gila seni beserta istri, Wakil Presiden Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir serta beberapa menteri, termasuk Sir Philip Christison, seorang juru runding dari Inggris.
Semua itu tak lepas dari intelijensi para pendiri negara ini yang punya wawasan luas, termasuk menyentuh dunia seni dan penampilan. Lihat saja, mana ada penampilan modis mereka yang kelihatan jelek dan kumuh, meski untuk memikirkan pangan saja sangat susah saat itu. Mereka semua terlihat ganteng, necis, parlente dan sedikti modis dengan pakaian dan penampilan a la kadarnya. Bandingkan dengan tokoh-tokoh asing… Hmmm… jauuuuh.
Paman Ho Chi Minh, terlihat seperti opa-opa tua ompong berpakaian lusuh. Churchill yang perlente mirip gentong besar yang bisa berjalan. Mao seperti tukang obat yang baru keluar hutan mencari ramuan dari tanaman. Castro mirip tentara dekil yang jarang mandi dan berdandan dengan brewok seperti hutan lindung. Nehru bagaikan mannequin. Beda dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Amir Sjarifuddin yang terlihat bersih, intelek dan good-looking dengan penampilannya.
Penampilan tokoh dan pendiri bangsa-bangsa lain di manapun sangat jelas mewakili apa yang mereka perjuangkan. Melihat para pria berkumpul memakai kaffiyeh (penutup kapal untuk pria Arab), pasti mereka sedang membicakan Yasser Arafat, tokoh Palestina. Atau topi hijau dengan bintang merah yang dipakai oleh Tentara Merah (ABRI-nya Cina), pasti itu gaya Mao Tse-tung, serta Fidel Castro dengan topi militer warna hijau khasnya atau tokoh Prancis Charles de Gaulle dengan topi mirip kaleng. Juga seorang Nehru dari India dengan peci putihnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah sulit dipisahkan dengan visual peci hitam yang bertengger di atas kepala beberapa pentolan pendiri negeri ini, seperi Soekarno dan Hatta. Saat masa revolusi ketika orang melihat ada tokoh berpeci, pasti yang dibicarakan tentang proklamasi. Tentang kemerdekaan. Tentang tanggal 17 Agustus 1945. Terutama pada diri Soekarno dan juga Hatta. Sang dua sejoli.
Sejak kapan peci hitam menjadi ciri khas proklamasi? Ya sejak 17 Agustus 1945! Sampai tanggal 17 Agustus 1966, hari 17an terakhir Soekarno, dia selalu memakai peci hitam bergaya khas ketika bertindak sebagai pusat perhatian di podium perayaan 17 Agustus. Hanya menjelang akhir hayatnya, rakyat Indonesia baru bisa melihat Soekarno asli tanpa peci hitam. Saat dia tak punya kekuasaan lagi dan mulai sakit-sakitan.
Ketika selesai menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para pembantunya tahun 1942, Soekarno terpaksa berkeliling Sumatera dengan kondisi yang melelahkan dan menyebalkan. Pakaiannya lusuh dengan peci hitam yang pendek terlihat kurang tampan dan proporsional, ditambah lagi jarang mandi karena dia dan keluarganya melakukan perjalanan jauh itu (kadang mengendarai dokar) dengan penuh ketakutan atas gangguan dari tentara Jepang, yang sedang menderita kekalahan oleh pihak Sekutu.
Dari Bengkulu melalui jalan darat menuju kota Painan (kota pesisir kearah tenggara Padang), lalu ke Bukittingi dan berkeliling ke Payakumbuh dan akhirnya menemui sahabatnya, yang juga memimpin sebuah pesantren terkenal, Darul Funun al Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Kala itu Soekarno bukan siapa-siapa dan belum menjadi presiden.
“Kamu harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa ini”, kata pemimpin pesantren sambil menatap Soekarno yang sedang membetulkan sebuah peci hitam tinggi. Peci tersebut memang baru saja diberikan oleh Syech Abbas Abdullah, pemimpin pesantren itu ketika melihat penampilan Soekarno kurang oke dengan peci lamanya yang lebih pendek.
Peci itu memang pas dan serasi dengan visual wajah Soekarno. Pas margopas! Peci lamanya mana? Di tinggal di pesantren Syech Abbas Abdullah, yang juga menyarankan agar kelak Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi pemimpinnya, Indonesia harus berdasarkan ketuhanan. “Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam”, ujar sang syech kepada calon pemimpin bangsa terbesar umat Islamnya di jagat.
Lengkap dan pantas sudah penampilan baru Soekarno. Dia terlihat lebih ganteng dan siap memimpin negeri ini dengan penampilan khasnya tiada dua di dunia: peci hitam tinggi pemberian Syech Abbas Abdullah. Tapi nanti duluuu… Sang tuan rumah juga menyarankan agar penampilan baru Soekarno diimbangi dengan martabatnya yang handsome juga. Menurut penerawangannya, gigi taring Soekarno sebelah kanan itu dempet. Artinya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat rimbang mata atau mudah jatuh cintah kepada wanita”, ramal Syech Abbas Abdullah.
Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan perjuangannnya di tahun-tahun kemudian. Peci itu menjadi benda seni yang memwakilkan sebuah sosok yang memiliki andil dengan proklamasi. Di kemudian hari bahkan menjadi ciri khas orang Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang diikuti menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia.
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah dikumandang, lalu dipertahankan dengan berdarah-darah dan akhirnya diisi dengan susah payah, selalu diwakili dengan visual pelakunya yang berpeci hitam. Ketika Soekarno membacakan naskah proklamasi, ikut upacara keagamaan di Gereja Mormon, berziarah ke makam Abdul Qadir Jailani serta makam George Washington, berpidato di Kongres Amerika Serikat, rapat umum di Stadion Lenin, Moskow, berdiskusi di Balai Rakyat Beijing dengan Mao, sowan berkali-kali ke Kaisar Hirohito, hampir pingsan di La Paz, Bolivia, ditangkap dan dibuang Belanda ke Prapat, bersembahyang di mesjid Leningrad (Petersburg), berpesta dengan Marilyn Monroe, naik sepeda di Kobenhavn, Denmark, merokok bareng Nehru di India, diskusi dengan Juan Peron di Buenos Aires, serta ngobrol dengan Elvis Presley di Hawaii, peci hitam itu selalu ada dan memvisualkan keindonesiaan yang makin melekat.
Tidak terbayang bila Soekarno melepas peci hitamnya setelah dibuang dari Bengkulu, karena pendek dan lusuh bentuknya. Untungnya hal ini tidak terjadi, karena jasa Syech Abbas Abdullah. Dia menjadi stylist proklamasi tanpa disadari. Hal-hal sepele sebelum dan sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, memang selalu diperhatikan terutama masalah seni dan penampilan untuk memancarkan kekuatan visual yang dominan. Indonesia tanpa Soekarno tidak terbayangkan seperti apa. Soekarno tanpa peci hitam tinggi, juga tak bisa dibayangkan.
Seperti yang dinubuatkan Syech Abbas Abdullah, negara Indonesia akan selalu memikirkan penampilan tanpa esensi. Bangsa Indonesia memang tak mengenal dan kurang suka dengan kekuatan riset. Senangnya bereksperiman sesaat dan improvisasi tanpa rencana. Mirip seperti seni, yang kaya improvisasi. Bukankah naskah proklamasi kemerdekaan ini ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di atas sebuah piano? (*).
SUMBER:
1. Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad” .
2. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999.
1. Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad” .
2. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999.
(ISK)
===========
Sila Ketuhanan, Petunjuk dari Ulama Padangjapang untuk Bung Karno
Satu Islam – Bung Karno menetapkan lima prinsip sebagai dasar negara Indonesia: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Lima prinsip itu dikenal dengan Pancasila. (Baca: Di Bawah Pohon Sukun Ini, Lahir Cikal Bakal Pancasila)
Pancasila dikukuhkan hari lahirnya oleh Bung Karno pada pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI. Ketuhanan yang ditempatkan pada prinsip kelima oleh Bung Karno akhirnya menjadi sila pertama dengan modifikasi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Panitia Sembilan.
Sila pertama pada awalnya berbunyi Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya. Konsep ini usulan dari golongan agama. Menurut Charles Simabura, dosen ilmu tata negara Universitas Andalas, dalam sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, semua anggota memberi usul. Hampir semua menawarkan konsep Ketuhanan.
Sila pertama mengenai konsep Ketuhanan tersebut buah dari pergaulan Bung Karno dengan para ulama. Sejak muda dia tumbuh dalam lingkungan Sarekat Islam. Saat masa-masa pembuangan, Bung Karno terus berkorespondensi dengan ulama. Bung Karno sering melakukan diskusi dan minta petunjuk tentang berbagai masalah politik dan keagamaan kepada dua ulama asap Padang, yakni Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah. Mereka sama-sama murid dari Syekh Ahmad Chatib, anak Minang yang menjadi Imam Masjidil Haram Mekkah. Sama-sama pula mendirikan Perguruan Islam yang terkenal.
Siapa Syekh Abbas Abdullah? Beliau kawan dekat Syekh Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Rasul. Bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lainnya, Syekh Abbas mendirikan nama madrasah yang sama yakni Madrasah Sumatra Thawalib. (Baca: Kisah Pohon Soekarno Tempat Berteduh di Arafah)
Kedua ulama ini dimakamkan di Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota. Tepatnya di Padangjapang, yang terletak sekitar 17 kilometer sebelah utara Kota Payakumbuh.
Untuk menuju lokasi ini bisa menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Dari Payakumbuh menuju arah utara. Setelah melewati jembatan Lampasi, anda akan menemui persimpangan. Kedua simpang, dapat anda pilih.
Bila memilih jalan ke kiri, berarti Anda akan melewati Nagari Koto Baru Simalanggang dan Nagari Guguak VIII Koto. Setelah sampai di Dangung-dangung, anda dapat melanjutkan perjalanan arah ke Limbanang. Tapi, sesampai di kawasan bernama Talago, anda harus belok ke kanan. Maka sekitar tiga kilometer saja, anda akan sampai di Padangjapang.
Tapi bila memilih jalan yang kanan, maka anda akan melewati nagari Simalanggang, Koto Tangah Simalanggang, Taehbaruah, Mungka, Jopangmangganti, dan barulah sampailah di Padangjapang.
Anggota Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Luhak Limopuluah Yulfian Azrial, menyebut perjuangan Syekh Mustafa dan Syekh Abbas amat terkait dengan perjuangan pendidikan Islam Sumatera Tawalib, ataupun pergerakan Tuanku Jamil Jaho di Padangpanjang.
”Sebagai perguruan besar, Darul Funun memang banyak banyak melahirkan tokoh besar. Kebesaran kedua Syekh ini bahkan membuat Presiden Soekarno merasa perlu ke Padangjapang, setelah bebas dari masa pembuangannya di Bengkulu,” kata Yulfian Azrial.
Disebutkan pula, Bung Karno sering melakukan diskusi dan minta petunjuk tentang berbagai masalah politik dan keagamaan. Bahkan tentang konsep menuju kemerdekaan Indonesia. Hal itu setidaknya bisa dibuktikan, dengan masih adanya dokumentasi Bung Karno semasa di Padangjapang.
Begitu juga setelah zaman kemerdekaan. Para pejuang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), merasa sangat perlu untuk menemui Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah. Mereka sangat banyak mendapat masukan dari kedua Syekh kakak beradik ini.
”Mohammad Natsir yang diutus Soekarno untuk menemui tokoh PDRI di Sumatera, akhirnya juga harus menemui kedua tokoh ini,” kata Yulfian. (Baca: Ndalem Pojok: Saksi Sejarah Masa Kecil Bung Karno)
Terkait dengan sila pertama Pancasila, Syekh Abbas yang memberi wejangan kepada Bung Karno. Kala itu, Bung Karno berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padangjapang, yang didirikan Syekh Abbas.
“Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan benar-benar tercapai. Dalam hal ini Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981.
Syekh Abbas, yang dikenal dengan sebutan Buya (Syeikh) Abbas Padangjapang, menambahkan kalau hal demikian diabaikan, revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Fachrul Rasyid HF, yang turut menulis dalam buku tersebut, mengatakan tidak banyak orang tahu pembicaraan mereka berdua sebelum Syekh Abbas mengungkapkannya tiga hari kemudian. “Di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syekh Abbas mengatakan kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara,” ujar Fachrul menirukan kembali cerita yang dia dapat dari keluarga Syekh Abbas dan masyarakat setempat. “Persisnya, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan.”
Tahun 1930, Syekh Abbas mengubah Sumatra Thawalib di Padangjapang menjadi DFA karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Syekh Abbas sendiri kala itu bukan sekadar ulama melainkan juga panglima jihad Sumatra Tengah. Pasukan jihad ini didirikan DFA sebagai basis perjuangan menghadapi Belanda. Anggotanya adalah Hizbul Wathan dan Laskar Hizbullah.
Sementara sekolah tetap menjadi basis menggapai dan mengisi kemerdekaan.
“Wajar Sukarno menemui Syekh Abbas karena dia bukan saja ulama tapi panglima perang,” tukas Fachrul, wartawan senior di Sumatra Barat.
Dikatakannya, perjumpaan Sukarno dengan Syekh Abbas hanya sebentar. Datang sekitar jam satu siang lalu balik sekitar sorenya. Bung Karno sendiri berada di Padang ketika era transisi dari Belanda ke Jepang. Dia berada di Sumatra Barat selama lima bulan, dari Februari 1942 hingga Juli 1942.
======
Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (1276-1334 H)
Posted on 25/12/2010 by adminmajliskeramas
Nama lengkap beliau Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al Minangkabawi as Syafi’i lahir di Kota Gedang Bukittinggi Sumatera Barat, pada hari Senin tanggal 6 Dzulhijah 1276H, dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334H. Beliau adalah seorang Ulama Besar yang pertama menduduki kursi dan jabatan IMAM KHATIB dan Guru Besar di Mesjid Mekkah (Mesjid Haram) dan juga Mufti Besar dalam Madzhab Syafi’i. Beliau adalah satu-satunya Ularna Indonesia yang mencapai derajat setinggi jabatan yang dipangkunya di Mekkah Mukarramah. Banyak sekali murid beliau bangsa Indonesia pada permulaan abad ke 14 H. yang belajar kepada beliau tentang ilmu fiqih Syafi’i’ yang kemudian menjadi ulama-ulama besar pada pertengahan abad ini di Indonesia.
Di antara murid-murid beliau bangsa Indonesia itu dapat dicatat, yaitu Syeikh Sulaiman Ar Rasuli Candung Bukittinggi. Kemudian terdapat alm. Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, alm. Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawa Bukittinggi, Alm. Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, alm. Syeikh Khatib ‘Ali Padang, alm. Syeikh Ibrahim Musa Parabek, alm. Syeikh Mustafa Husein Purba Baru Mandahiling, alm. Syeikh Hasan Maksum Medan Deli dan banyak lagi ulama di Jawa, Madura, Sulawesi, Kalimantan yang berasal dari murid Syeikh Ahmad Khatib ini.
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi ini boleh dikatakan menjadi tiang tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
l. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
6. Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara.
7. Tanbihul Awam, masalah Syarilat lsl,am.
8. Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas.
9. Itsbatus Zain.
10. Dan banyak lagi yang lain.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
6. Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara.
7. Tanbihul Awam, masalah Syarilat lsl,am.
8. Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas.
9. Itsbatus Zain.
10. Dan banyak lagi yang lain.
(SELESAI)
Sumber : Sejarah dari Keagungan Mazhab Syafi’i karangan KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah.
======
Abbas Abdullah
Syekh Haji Abbas Abdullah (lahir di Padang Japang, Guguak, Lima Puluh Kota, tahun 1883 - meninggal 17 Juni1957 pada umur 74 tahun) adalah ulama Indonesia asal Minangkabau (Sumatera Barat). Ia bersama Abdul Karim Amrullah, Ibrahim Musa, Muhammad Jamil Jambek dan beberapa ulama lainnya merupakan pendiri Sumatera Thawalib, serta pemimpin surau Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.[1]
Pada tahun 1944, Soekarno datang menemuinya untuk meminta pendapat tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.[2] Dia juga berkontribusi dalam membina majalah Al-Imam. Dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, dia dipilih sebagai imam jihad Fisabilillah. Pada masa PDRI, madrasahnya menjadi kantor PPK dan Agama. Ia meninggal pada tanggal 17 Juni 1957 akibat penyakit asma.
Catatan kaki
Referensi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas ensiklopedia.web.id, ensiklopedia-dunia.nomor.net, nomor.net (kodepos.nomor.net), indonesia-info.net, kota-jakarta.web.id, kuliah-karyawan.com, kucing.biz, kelas-karyawan.co.id, kelas-karyawan-bandung.com, al-quran.co, civitasbook.com (Pahlawan Indonesia), jadwal-shalat.com, gilland-ganesha.com, sepakbola.biz, gilland-group.co.id |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar