Sabtu, 23 September 2017

Tokoh PKI Muso



Begini Sosok Muso 

  • Sabtu, 23 September 2017 10:00 WIB
Intisari-Online.com – Dalam tengah-tengah bergejolaknya revolusi fisik, dan menghebatnya rongrongan kaum komunis yang tergabung dalam apa yang menamakan dirinya Sayap Kiri, serta tekanan-tekanan pihak Belanda yang bertambah lama bertambah memuncak, tersiarlah berita bahwa telah tiba di Indonesia dutabesar Indonsia untuk Polandia: Soeripno.
Soeripno itu dikabarkan sebagai seorang mahasiswa yang sedang menuntut pelajaran di negara sosialis tersebut dan kemudian atas prakarsa sendiri berhasil mengadakan hubungan diplomatik dengan Polandia.
Yang membikin kaget orang bukan Soeripno-nya, tetapi justru sekretaris pribadinya yang bernama: Soeparto, yang kemudian diketahui sebagai Muso, jago komunis kawakan yang sudah meninggalkan Tanah Air bertahun-tahun lamanya.
Soeripno dan Muso berhasil menerobos blokkade Belanda, dan mendarat dengan pesawat Catalina di rawa Campurdarat, Tulung Agung (yang terkenal dengan banjirnya).
Dalam waktu yang relatif singkat Muso sudah mendjadi bahan pembicaraan orang, karena namanya sering disebut dalam koran; kendati pada waktu itu wartawan-wartawan tidak dibenarkan oleh pihak PKI atau FDR untuk menghubungi dia.
Atau Muso-nya sendiri yang memang ogah mengadakan hubungan langsung dengan wartawan.
Sampai pada suatu saat, para wartawan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta mendapat pemberitahuan bahwa sebentar siang Muso akan mengadakan konferensi pers di Balai Wartawan.
Letak Balai Wartawan Yogya pada waktu itu di Jalan Malioboro, satu gedung dengan surat kabar “Kedaulatan Rakyat", yang kini menjadi gedung DPRD-GR (Gotong Royong).
Kalau tidak keliru, undangannya jam sepuluh tetapi pada waktu itu ternyata rombongan Muso datangnya sangat terlambat.
Para wartawan Yogya (yang jumlahnya tidak lebih dari dua puluh lima orang) tumplek blek ada di Balai Wartawan semuanya.
Mereka ingin melihat wajah dan belajar kenal dengan Muso, agitator komunis kawakan yang kemudian dengan “trace-baru"-nya ternyata membawa malapetaka kepada bangsa Indonesia dengan pemberontakannya yang dilakukan pada tanggal 19 September 1948 itu.
Baru kira-kira jam setengah dua belas datanglah sebuah truk penuh dengan isi laskar Pesindo lengkap dengan senjata masing-masing yang sekaligus merupakan pengiring dari sebuah mobil yang datang terlebih dulu.
Setelah Muso dengan terengah-engah masuk ke ruang mencari tempat duduk dan minta maaf atas kelambatan kehadirannya, maka konferensi pers pun dimulailah.
Muso mengemukakan pandangannya mengenai situasi revolusi yang sudah begitu merosot nilainya; dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh presiden Soekarno terutama, selalu dikecam dan diejeknja dengan penuh sinisme.
“Kalau saya nanti jadi mendiami gedung di sana itu, maka segera akan saya lakukan perubahan-perubahan yang radikal. Keadaan akan saya sesuaikan dengan keadaan revolusi…,” demikian antara lain ujarnya.
Yang dimaksudkan dengan “gedung di sana” yaitu Istana atau Gedung Agung yang menjadi kediaman Kepala Negara RI pada masa itu; sebuah gedung bekas tempat kediaman gubernur-gubernur Belanda dan pembesar tertinggi Jepang untuk daerah Yogyakarta.
Seorang rekan (kalau tidak keliru Samawi dari KR) menanyakan, “Apakah dengan begitu Saudara Muso ingin menggantikan kedudukan Bung Karno?”
“Yyyy… yaaa… kalau rakyat menyetujui. Tetapi… tetapi… yaaaa, begitulah…”
Muso Ialu, berceritera tentang kesalahan persetujuan Linggarjati dan Renville, yang berarti suatu kegagalan total dari politik yang selama ini dijalankan oleh Amir Sjarifuddin, sesama orang komunis seperti dia.
Dia juga mengemukakan bahwa keadaan negeri Soviet sudah begitu majunya, sampai anak-anak sekolah tidak usah membayar uang kuliah, upah buruh dijamin, kesejahteraan sosialnya ditanggung negara, dan lain-lain tetek-bengek untuk propaganda.
“Lalu? Apa kita punya sekarang? Ini uang Uri apa Nuri apa apa namanya itu, … nilainya tambah hari tambah merosot…” Berkata begitu itu dia sembari menyeringai. Meringis mengejek.
“Ini saudara Muso. Kami kepingin tahu! Saudara Muso datang untuk konferensi pers, untuk apa harus dikawal dengan laskar satu truk lengkap dengan senjata segala?" demikian seorang rekan bertanya.
“Ooo… itu disebabkan… itu disebabkan… karena… karena… ya, kita harus waspada terhadap agen-agen kaum imperialis yang di mana-mana mempunyai antek-anteknya…”
Pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan kemudian berkisar kepada perundingan dengan Belanda, dengan persatuan nasional dan pokok-pokok persoalan yang  dewasa ini memang menjadi topik.
Tidak lama konferensi pers yang diadakan oleh Muso dengan para wartawan Ibukota itu.
Di konferensi itulah saya untuk kali pertama melihat dan berhadapan dengan Muso, gembong komunis Indonesia yang sekaligus juga merupakan tokoh komunis internasional.
Kesan saya: serba kampungan. Inteligensinya kurang. Isi kepalanya tidak banyak. Patutnya memang tukang gontok; atau tukang gelut. Atau tukang pukul.
Kalimat-kalimat yang diucapkannya tidak diplomatis, dan ya, seperti yang sudah saya katakan di atas: kampungan.
Tidak menimbulkan rasa simpati; Iebih-lebih setelah dia mengutarakan dengan sinisme tentang keuangan RI kita; tentang niatnya hendak menggantikan Kepala Negara (pada waktu revolusi sedang berkecamuknya itu).
Ada yang juga harus saya catat di sini. Pada waktu itu di antara para pengawalnya ada seorang anak muda. Sikapnya masih agak kaku dan malu-malu. Dalam konferensi pers itu dia mencari  tempat pinggir.
Rambutnya berombak, kulitnya kuning, tampannya memang ngganteng. Saya ingat-ingat kemudian. Saya ingat-ingat….
Namanya: Aidit. Dipa Nusantara Aidit, yang kemudian dalam perkembangan sejarah Indonesia juga mengalami nasib seperti Muso sendiri, mati sia-sia karena (dianggap) berkhianat kepada negara dan bangsa.
Itulah "perkenalan" saya untuk kali pertama dengan Muso. Perkenalan kedua kalinya terjadi  sewaktu para mahasiswa Gadjah Mada mengadakan malam ceramah; sedangkan yang memberikan ceramah adalah para tokoh-tokoh politik pada waktu itu.
Salah seorang di antara para tokoh yang diminta memberi ceramah ini ialah Muso ini. Tempat ceramah di pagelaran Alun-alun Lor.
Mula-mula yang hadir cukup banyak. Ruang ceramah penuh dengan mahasiswa-mahasiswi. Tetapi, entah memang disengaja entah tidak, bertambah lama jumlah pengunjungnya menjadi susut, menjadi berkurang sehingga ruangan hampir-hampir menjadi kosong.
Kala itu yang menjadi moderatornya ialah Jusuf Simanjuntak yang kemudian kita kenal sebagai Yusuf Adjitorop, tokoh PKI pelarian yang kemudian bermukim di Peking dan hidup atas belas kasihan pemerintah China.
Seorang mahasiswa menanyakan, “Pak Muso mengapa sekarang anti-Linggarjati, padahal dulu Amir Syarifuddin yang notabene juga orang komunis justru mendukungnya?"
Suasana menjadi geger. Tetapi, sebelum pertanyaan itu diajukan suasana memang juga sudah agak panas. Memang begitulah, cara pada waktu itu apabila ada sesuatu golongan hendak mengacau rapat atau pertemuan. Beraneka ragam caranya; rupa-rupa metodenya.
Simanjuntak nampak agak panas juga telinganya. Kok ada yang berani mengajukan pertanyaan begitu? Tetapi Muso-nya sendiri lalu menenangkan anak buahnya.
"Tenang, tenang…, jangan panik, jangan panik. Saya juga sudah tahu, dari mana angin menghembus…”
Simanjuntak oleh sementara pengunjung dianggap kurang mampu dan tidak tegas  menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada Muso; karena itu dia lalu disoraki, dijengek-jengeki.  Mukanya menjadi merah, matanya mendelik.
Saya terus terang saja lupa, entah bagaimana tempo hari itu jawabnya Muso atas pertanyaan itu. Yang saya masih ingat ialah, bahwa sewaktu rapat itu ditutup ruang ceramah sudah hampir kosong.
Agaknya para mahasiswa-mahasiswi sudah ogah lagi mendengarkan pidato gembong komunis itu.
Lain sekali, dengan keadaan sewaktu pada suatu ketika Mohammad Yamin yang oleh para mahasiswa juga diminta adakan ceramah. Yamin memang pandai mengambil hati mahasiswa.
Kendati pada waktu itu dia tidak masuk partai ini itu, kepada saya dia pernah katakan: sekarang ini bukan zamannya masuk partai ini itu, tetapi masih blok ini itu, namun sampai akhir ceramahnya sambutan para pemuda mahasiswa sangat gairah sekali.
Sering kali terdengar suara tepuk tangan, mawurahan tanda setuju dengan apa yang diuraikan oleh pembicara.
Pada waktu itu dalam "primbon" saya sudah saya buat perbandingan antara Muso dan Yamin ini. Sayang sekali, buku primbon saya itu hilang tak karuan, sewaktu serdadu Belanda main ugal-ugalan menyebut Yogya, dan kantor “Antara” tempat saya bekerja juga ikut diduduki oleh pihak yang pada waktu itu menjadi penguasa.
Dua kali itu saja saya melihat dan berkenalan dari dekat (dalam arti fisik) dengan Muso.
Orangnya gede, dempal. Suaranya bantas, braok. Pipinya gendut, item dito perawakannya. Lagi sekali, dia memang lebih pantas menjadi jagoan tukang kepruk daripada menjadi pemimpin.
Akhirnya, dalam petualangannya memberontak terhadap pemerintahan RI yang sah yang notabene sedang menghadapi kepungan pasukan Belanda itu, Muso akhirnya tertembak mati oleh seorang anggota Hizbullah; setelah terlebih dahulu berkejar-kejaran naik dokar (delman) dan sembunyi di balik pohon asam segala, persis seperti yang pernah kita lihat dalam film koboi itu.

(Ditulis oleh Haji Soebagiyo, I.N., wartawan Antara. Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1970)
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar