Penyidikan e-KTP Jalan Terus
Kamis, 07 September 2017 – 18:51 WIB
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. Foto: Ricardo/JPNN.com
jpnn.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan mengendurkan penyidikan korupsi terkait kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) meski ada dugaan Agus Rahardjo yang juga ketua lembaga antirasuah itu terlibat. Saat ini, Agus menjadi terlapor di Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi proyek di Kementerian Dalam Negeri itu.
Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, laporan ke Kejagung soal Agus tak perlu dikhawatirkan. “Laporan itu tentu tidak mengkhawatirkan kami,” ujar Febri di kantornya, Kamis (7/9).
Dia mengatakan, saat ini KPK masih melanjutkan penyidikan kasus e-KTP untuk dua tersangka, yakni Setya Novanto dan Markus Nari. KPK pun terus memeriksa saksi-saksi untuk melengkapi berkas penyidikan.
“Pesan yang ingin kami sampaikan, kami akan terus melakukan pengusutan untuk kasus ini (korupsi e-KTP)," tutur mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Sebelumnya Koordinator Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN) Razikin Juraid melaporkan Agus Rahardjo ke Kejaksaan Agung, Rabu (6/9). Razikin melaporkan Agus karena saat menjadi kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ikut mengetahui perencanaan proyek e-KTP.
Menurut Febri, andai dahulu rekomendasi LKPP soal e-KTP dipatuhi maka proyek nasional itu tak akan bermasalah. “Karena ada cukup banyak saran yang krusial yang disampaikan yang tidak diikuti terdakwa yang sudah diproses ataupun pejabat Kemendagri," pungkas Febri.(dna/JPC)
Kamis, 07 September 2017 – 18:51 WIB
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. Foto: Ricardo/JPNN.com |
jpnn.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan mengendurkan penyidikan korupsi terkait kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) meski ada dugaan Agus Rahardjo yang juga ketua lembaga antirasuah itu terlibat. Saat ini, Agus menjadi terlapor di Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi proyek di Kementerian Dalam Negeri itu.
Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, laporan ke Kejagung soal Agus tak perlu dikhawatirkan. “Laporan itu tentu tidak mengkhawatirkan kami,” ujar Febri di kantornya, Kamis (7/9).
Dia mengatakan, saat ini KPK masih melanjutkan penyidikan kasus e-KTP untuk dua tersangka, yakni Setya Novanto dan Markus Nari. KPK pun terus memeriksa saksi-saksi untuk melengkapi berkas penyidikan.
“Pesan yang ingin kami sampaikan, kami akan terus melakukan pengusutan untuk kasus ini (korupsi e-KTP)," tutur mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Sebelumnya Koordinator Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN) Razikin Juraid melaporkan Agus Rahardjo ke Kejaksaan Agung, Rabu (6/9). Razikin melaporkan Agus karena saat menjadi kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ikut mengetahui perencanaan proyek e-KTP.
Menurut Febri, andai dahulu rekomendasi LKPP soal e-KTP dipatuhi maka proyek nasional itu tak akan bermasalah. “Karena ada cukup banyak saran yang krusial yang disampaikan yang tidak diikuti terdakwa yang sudah diproses ataupun pejabat Kemendagri," pungkas Febri.(dna/JPC)
KPK Sita 4 Mobil Milik Dua Auditor KPK Terkait Pencucian Uang
Laporan wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat unit mobil dari sejumlah lokasi terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dua auditor BPK RI.
Diketahui, KPK menetapkan Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan Auditor BPK Ali Sadli sebagai tersangka TPPU.
"Sejumlah aset yang diduga hasil tindak pidana korupsi telah disita," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu (6/9/2017).
Keempat mobil yang disita itu yakni Honda Audessey, dua unit mobil sedan Mercedez Benz warna putih, dan hitam serta Honda CRV.
Berdasarkan hasil penelusuran penyidik, Honda Audessey itu dibeli menggunakan identitas pihak lain dan disita saat dikembali ke sebuah dealer di Jakarta.
Sementara dua unit mobil Mercedez Benz disita dari seorang istri tersangka.
"Honda CRV disita dari pihak lain yang namanya digunakan salah satu tersangka," kata Febri.
Selain menyita empat mobil, penyidik juga menyita uang senilai Rp 1,6 miliar dan memeriksa sembilan saksi.
Hingga kini, penyidik masih terus dalami keberadaan aset-aset lain yang diduga hasil tindak pidana korupsi.
Febri menambahkan penerapan pasal TPPU ini dilakukan penyidik untuk mengejar kepemilikan aset-aset yang terindikasi hasil kejahatan dengan pendekatan follow the money.
"KPK memastikan pasal pencucian uang ini akan diberlakukan terhadap seluruh kasus korupsi yang ditangani sepanjang ditemukan adanya aset tidak wajar yang terindikasi untuk menyamarkan aset hasil dari korupsi," kata Febri.
===
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan auditor Ali Sadli sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam indikasi TPPU.
"Kedua tersangka diduga telah melakukan kegiatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana korupsi," tutur Febri, Rabu (6/9/2017) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Hal tersebut dilakukan keduanya diduga untuk menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan, yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana korupsi.
Atas perbuatannya, Rochmadi disangkakan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Ali disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam proses penyidikan dan penanganan perkara ini, sejumlah aset milik keduanya yang diduga hasil tindak pidana korupsi telah dilakukan penyitaan oleh penyidik KPK.
Sebelumnya, Rochmadi dan Ali juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Mereka diduga menerima uang sebesar Rp240 juta dari Inspektur Jendral Kemendes Sugito dan Jarot Budi Prabowo selaku Kabag Tata Usaha dan Keuangan Kemendes.
Sugito dan Jarot kini sudah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
====
Saya Serahkan kepada Allah ;"kata" nya
Terdakwa kasus dugaan suap "judicial review" di Mahkamah Konstitutsi (MK) Patrialis Akbar usai membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 21 Agustus 2017. TEMPO/Eko Siswono.
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis enggan mengomentari putusan hakim tersebut.
"Ini adalah otoritas hakim untuk memutuskan. Saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa, Allah SWT, untuk menilai mana yang benar dan mana yang tidak," kata Patrialis seusai sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin, 4 September 2017.
Patrialis mengklaim tidak pernah memakan uang negara pascaputusan majelis hakim tersebut. Bahkan, ia membandingkan vonisnya dengan sejumlah perkara korupsi. "Bayangkan orang yang memakan uang negara yang telah mengembalikan uang negara puluhan miliar, berapa hukumannya? Coba komparasi sendiri sesuai akal sehat," ujarnya.
Selain vonis 8 tahun penjara, hakim menjatuhkan pidana tambahan dengan uang pengganti Rp 4,043 juta dan US$ 10 ribu. "Dengan ketentuan jika saudara Patrialis Akbar tidak membayarkan dalam waktu satu bulan setelah keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda disita jaksa akan dilelang untuk menutupi kerugian negara," kata hakim Nawawi Pamulango.
Vonis terhadap Patrialis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Patrialis dengan hukuman 12 tahun 6 bulan penjara beserta denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.
Patrialis Akbar meminta waktu satu pekan untuk mempertimbangkan upaya hukum banding atas vonis hakim. "Setelah saya konsultasi, saya akan pikir-pikir selama satu minggu," kata dia. Hal serupa juga dilakukan jaksa penuntut umum KPK.
ARKHELAUS W.
"Sejumlah aset yang diduga hasil tindak pidana korupsi telah disita," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu (6/9/2017).
Keempat mobil yang disita itu yakni Honda Audessey, dua unit mobil sedan Mercedez Benz warna putih, dan hitam serta Honda CRV.
Berdasarkan hasil penelusuran penyidik, Honda Audessey itu dibeli menggunakan identitas pihak lain dan disita saat dikembali ke sebuah dealer di Jakarta.
Sementara dua unit mobil Mercedez Benz disita dari seorang istri tersangka.
"Honda CRV disita dari pihak lain yang namanya digunakan salah satu tersangka," kata Febri.
Selain menyita empat mobil, penyidik juga menyita uang senilai Rp 1,6 miliar dan memeriksa sembilan saksi.
Hingga kini, penyidik masih terus dalami keberadaan aset-aset lain yang diduga hasil tindak pidana korupsi.
Febri menambahkan penerapan pasal TPPU ini dilakukan penyidik untuk mengejar kepemilikan aset-aset yang terindikasi hasil kejahatan dengan pendekatan follow the money.
"KPK memastikan pasal pencucian uang ini akan diberlakukan terhadap seluruh kasus korupsi yang ditangani sepanjang ditemukan adanya aset tidak wajar yang terindikasi untuk menyamarkan aset hasil dari korupsi," kata Febri.
===
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan auditor Ali Sadli sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam indikasi TPPU.
"Kedua tersangka diduga telah melakukan kegiatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana korupsi," tutur Febri, Rabu (6/9/2017) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Hal tersebut dilakukan keduanya diduga untuk menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan, yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana korupsi.
Atas perbuatannya, Rochmadi disangkakan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Ali disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam proses penyidikan dan penanganan perkara ini, sejumlah aset milik keduanya yang diduga hasil tindak pidana korupsi telah dilakukan penyitaan oleh penyidik KPK.
Sebelumnya, Rochmadi dan Ali juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Mereka diduga menerima uang sebesar Rp240 juta dari Inspektur Jendral Kemendes Sugito dan Jarot Budi Prabowo selaku Kabag Tata Usaha dan Keuangan Kemendes.
Sugito dan Jarot kini sudah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
====
====
Saya Serahkan kepada Allah ;"kata" nya
Terdakwa kasus dugaan suap "judicial review" di Mahkamah Konstitutsi (MK) Patrialis Akbar usai membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 21 Agustus 2017. TEMPO/Eko Siswono. |
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis enggan mengomentari putusan hakim tersebut.
"Ini adalah otoritas hakim untuk memutuskan. Saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa, Allah SWT, untuk menilai mana yang benar dan mana yang tidak," kata Patrialis seusai sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin, 4 September 2017.
Patrialis mengklaim tidak pernah memakan uang negara pascaputusan majelis hakim tersebut. Bahkan, ia membandingkan vonisnya dengan sejumlah perkara korupsi. "Bayangkan orang yang memakan uang negara yang telah mengembalikan uang negara puluhan miliar, berapa hukumannya? Coba komparasi sendiri sesuai akal sehat," ujarnya.
Selain vonis 8 tahun penjara, hakim menjatuhkan pidana tambahan dengan uang pengganti Rp 4,043 juta dan US$ 10 ribu. "Dengan ketentuan jika saudara Patrialis Akbar tidak membayarkan dalam waktu satu bulan setelah keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda disita jaksa akan dilelang untuk menutupi kerugian negara," kata hakim Nawawi Pamulango.
Vonis terhadap Patrialis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Patrialis dengan hukuman 12 tahun 6 bulan penjara beserta denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.
Patrialis Akbar meminta waktu satu pekan untuk mempertimbangkan upaya hukum banding atas vonis hakim. "Setelah saya konsultasi, saya akan pikir-pikir selama satu minggu," kata dia. Hal serupa juga dilakukan jaksa penuntut umum KPK.
ARKHELAUS W.
JIN Pegang Bukti Peran Agus Rahardjo di Kasus e-KTP
Rabu, 06 September 2017 – 18:37 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara atau JIN pegang bukti yang mereka yakini bisa mengungkap peran mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo, dalam proyek e-KTP.
Setidaknya ada sebelas eksemplar dokumen yang diserahkan oleh Ketua Presidium JIN, Razikin, ketika mengadukan Agus yang juga ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu ke Kejagung.
"Yang kami bawa berkasnya adalah kronologi terhadap proses e-KTP, bukti surat menyurat," kata Razikin kepada JPNN.com di Jakarta, Rabu (6/9).
Selain itu, ada sejumlah pernyataan-pernyataan penentu kebijakan waktu itu, yakni Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang pernah disampaikan di depan publik.
"Dan (materi) rapat-rapat terbatas, termasuk kami juga menyampaikan laporan ada rapat khusus di Istana Wapres yang diikuti Sofyan Djalil," jelas Razikin.
Dari seluruh rangkaian peristiwanya, ucap dia, Presidium Nasional JIN menemukan adanya peran Agus Rahardjo ketika itu di proses pengadaan e-KTP.
"Ketika kami menyusun rapi konstruksi ini, kami menemukan bahwa Agus ada keinginan bahwa dia proaktif secara pribadi, dengan menggunakan jabatan dia sebagai ketua LKPP waktu itu untuk menggiring konsorsium memenangkan tender e-KTP," tutur dia.
Karena itu pihaknya berharap Kejagung menindaklanjuti secara serius pengaduan yang telah dia sampaikan. Serta, mengusut secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam skandal e-KTP.
"Termasuk pengakuan yang beredar bahwa Agus minta ketemu empat mata dengan Gamawan Fauzi, dan Gamawan menolak pertemuan empat mata dengan Agus. Itu semua kami berharap dibuka seterang-terangnya," pungkas dia. (fat/jpnn)
Kejagung Benarkan Agus Rahardjo Dilaporkan JIN
Rabu, 06 September 2017 – 18:37 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara atau JIN pegang bukti yang mereka yakini bisa mengungkap peran mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo, dalam proyek e-KTP.
Setidaknya ada sebelas eksemplar dokumen yang diserahkan oleh Ketua Presidium JIN, Razikin, ketika mengadukan Agus yang juga ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu ke Kejagung.
"Yang kami bawa berkasnya adalah kronologi terhadap proses e-KTP, bukti surat menyurat," kata Razikin kepada JPNN.com di Jakarta, Rabu (6/9).
Selain itu, ada sejumlah pernyataan-pernyataan penentu kebijakan waktu itu, yakni Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang pernah disampaikan di depan publik.
"Dan (materi) rapat-rapat terbatas, termasuk kami juga menyampaikan laporan ada rapat khusus di Istana Wapres yang diikuti Sofyan Djalil," jelas Razikin.
Dari seluruh rangkaian peristiwanya, ucap dia, Presidium Nasional JIN menemukan adanya peran Agus Rahardjo ketika itu di proses pengadaan e-KTP.
"Ketika kami menyusun rapi konstruksi ini, kami menemukan bahwa Agus ada keinginan bahwa dia proaktif secara pribadi, dengan menggunakan jabatan dia sebagai ketua LKPP waktu itu untuk menggiring konsorsium memenangkan tender e-KTP," tutur dia.
Karena itu pihaknya berharap Kejagung menindaklanjuti secara serius pengaduan yang telah dia sampaikan. Serta, mengusut secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam skandal e-KTP.
"Termasuk pengakuan yang beredar bahwa Agus minta ketemu empat mata dengan Gamawan Fauzi, dan Gamawan menolak pertemuan empat mata dengan Agus. Itu semua kami berharap dibuka seterang-terangnya," pungkas dia. (fat/jpnn)
Kejagung Benarkan Agus Rahardjo Dilaporkan JIN
Rabu, 06 September 2017 – 23:10 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Muhammad Rum membenarkan bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo dilaporkan ke Kejagung atas dugaan keterlibatannya di proyek e-KTP.
Diketahui, pihak yang melaporkan mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu adalah Razikin, Ketua Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN).
"Ya kami sudah terima laporan pengaduan AR (Agus Rahardjo) dan akan ditelaah," tulis Rum menjawab pesan singkat JPNN.com, Rabu (6/9).
Sebelumnya, Razikin menyampaikan bahwa pengaduannya didasarkan pada kajian atas proses pengadaan proyek e-KTP yang juga telah menjerat Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka.
"Dia menggiring beberapa perusahaan konsorsium untuk dimenangkan di dalam tender pengadaan barang dan jasa dalam hal ini eKTP," ujar Razikin. (fat/jpnn)
====
Rabu, 06 September 2017 – 23:10 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Muhammad Rum membenarkan bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo dilaporkan ke Kejagung atas dugaan keterlibatannya di proyek e-KTP.
Diketahui, pihak yang melaporkan mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu adalah Razikin, Ketua Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN).
"Ya kami sudah terima laporan pengaduan AR (Agus Rahardjo) dan akan ditelaah," tulis Rum menjawab pesan singkat JPNN.com, Rabu (6/9).
Sebelumnya, Razikin menyampaikan bahwa pengaduannya didasarkan pada kajian atas proses pengadaan proyek e-KTP yang juga telah menjerat Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka.
"Dia menggiring beberapa perusahaan konsorsium untuk dimenangkan di dalam tender pengadaan barang dan jasa dalam hal ini eKTP," ujar Razikin. (fat/jpnn)
====
====
Terkuak, Peran Setya Novanto di Kasus e-KTP
Terkuak, Peran Setya Novanto di Kasus e-KTP
kumparan
Sisa 49 persen atau setara Rp 2,5 triliun dibagi-bagikan.
Pukul 6 pagi di Hotel Gran Melia, Jakarta, sekitar Februari 2010. Setya Novanto yang masih menjabat Ketua Fraksi Golkar DPR membahas rencana bancakan anggaran proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP.
"Pembahasan dilakukan bersama empat orang lain," kata sumber kumparan yang mengutip dokumen pengadilan, Rabu (8/3).
Dua di antara empat orang itu kini berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Irman, yang ketika itu menjabat Dirjen Dukcapil Kemendagri, dan Sugiharto, anak buah Irman.
Dua orang sisanya adalah Andi Narogong, pengusaha yang dekat dengan Setya; dan Diah Anggraini yang ketika itu masih menjabat Sekretaris Jenderal Kemendagri.
"Setya menyatakan dukungan dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP," kata sumber tadi.
Guna mendapat kepastian dukungan dari Setya, beberapa hari kemudian, Irman dan Andi Narogong menemui Setya di ruangan kerjanya di lantai 12 gedung DPR.
Dalam pertemuan itu, Irman dan Andi Narogong meminta kepastian kesiapan anggaran proyek e-KTP. "Setya mengatakan bahwa ia akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lain," ujar sumber tersebut.
Gayung bersambut, selama Juli-Agustus 2010, DPR membahas Rancangan APBN Tahun Anggaran 2011, di antaranya anggaran proyek penerapan e-KTP.
Dalam rentang waktu itu pula, Andi Narogong beberapa kali bertemu Setya Novanto dan dua pimpinan Fraksi Demokrat, yaitu Anas Urbaningrum dan Nazaruddin--kini Anas dan Nazar berstatus narapidana kasus Hambalang.
"Karena mereka (Setya, Anas, dan Nazar) dianggap sebagai representasi Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui program e-KTP sesuai grand design, yakni dengan anggaran sekitar Rp 5,9 triliun," kata sumber itu.
Jika grand design disetujui, kompensasinya, Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Andi Narogong lalu membuat kesepakatan dengan Setya, Anas, dan Nazar, tentang rencana penggunaan anggaran e-KTP senilai Rp 5,9 triliun setelah dipotong pajak 11,5 persen, yaitu setara Rp 5,2 triliun.
Dari angka Rp 5,2 triliun, anggaran itu akan dipergunakan, 51 persen di antaranya atau setara Rp 2,6 triliun, untuk belanja modal.
"Sisa 49 persen atau setara Rp 2,5 triliun dibagi-bagikan," kata sumber tadi.
Kepada pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto, sebesar 7 persen atau sejumlah Rp 365 miliar; kepada anggota Komisi II DPR sebesar Rp 261 miliar.
Kemudian, kepada Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574 miliar; kepada Anas Urbaningrum dan Nazaruddin sebesar 11 persen sejumlah Rp 574 miliar; lalu anggaran keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar Rp 783 miliar.
Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut dakwaan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP akan sangat mengejutkan.
"Anda tunggu, kalau anda mendengarkan dakwaan yang dibacakan, anda akan sangat terkejut, banyak nama yang akan disebutkan di sana," kata Agus di Kantor Staf Presiden, Jumat (3/3).
Setya pernah membantah terlibat di kasus e-KTP. "Tidak benar itu," katanya usai diperiksa selama tujuh jam oleh penyidik KPK, pada 13 Desember 2016.
Read more at https://kumparan.com/muhamad-rizki/terkuak-peran-setya-novanto-di-kasus-e-ktp#yL1oyBBaGmAgcoxe.99
======
Pukul 6 pagi di Hotel Gran Melia, Jakarta, sekitar Februari 2010. Setya Novanto yang masih menjabat Ketua Fraksi Golkar DPR membahas rencana bancakan anggaran proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP.
"Pembahasan dilakukan bersama empat orang lain," kata sumber kumparan yang mengutip dokumen pengadilan, Rabu (8/3).
Dua di antara empat orang itu kini berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Irman, yang ketika itu menjabat Dirjen Dukcapil Kemendagri, dan Sugiharto, anak buah Irman.
Dua orang sisanya adalah Andi Narogong, pengusaha yang dekat dengan Setya; dan Diah Anggraini yang ketika itu masih menjabat Sekretaris Jenderal Kemendagri.
"Setya menyatakan dukungan dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP," kata sumber tadi.
Guna mendapat kepastian dukungan dari Setya, beberapa hari kemudian, Irman dan Andi Narogong menemui Setya di ruangan kerjanya di lantai 12 gedung DPR.
Dalam pertemuan itu, Irman dan Andi Narogong meminta kepastian kesiapan anggaran proyek e-KTP. "Setya mengatakan bahwa ia akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lain," ujar sumber tersebut.
Gayung bersambut, selama Juli-Agustus 2010, DPR membahas Rancangan APBN Tahun Anggaran 2011, di antaranya anggaran proyek penerapan e-KTP.
Dalam rentang waktu itu pula, Andi Narogong beberapa kali bertemu Setya Novanto dan dua pimpinan Fraksi Demokrat, yaitu Anas Urbaningrum dan Nazaruddin--kini Anas dan Nazar berstatus narapidana kasus Hambalang.
"Karena mereka (Setya, Anas, dan Nazar) dianggap sebagai representasi Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui program e-KTP sesuai grand design, yakni dengan anggaran sekitar Rp 5,9 triliun," kata sumber itu.
Jika grand design disetujui, kompensasinya, Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Andi Narogong lalu membuat kesepakatan dengan Setya, Anas, dan Nazar, tentang rencana penggunaan anggaran e-KTP senilai Rp 5,9 triliun setelah dipotong pajak 11,5 persen, yaitu setara Rp 5,2 triliun.
Dari angka Rp 5,2 triliun, anggaran itu akan dipergunakan, 51 persen di antaranya atau setara Rp 2,6 triliun, untuk belanja modal.
"Sisa 49 persen atau setara Rp 2,5 triliun dibagi-bagikan," kata sumber tadi.
Kepada pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto, sebesar 7 persen atau sejumlah Rp 365 miliar; kepada anggota Komisi II DPR sebesar Rp 261 miliar.
Kemudian, kepada Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574 miliar; kepada Anas Urbaningrum dan Nazaruddin sebesar 11 persen sejumlah Rp 574 miliar; lalu anggaran keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar Rp 783 miliar.
Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut dakwaan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP akan sangat mengejutkan.
"Anda tunggu, kalau anda mendengarkan dakwaan yang dibacakan, anda akan sangat terkejut, banyak nama yang akan disebutkan di sana," kata Agus di Kantor Staf Presiden, Jumat (3/3).
Setya pernah membantah terlibat di kasus e-KTP. "Tidak benar itu," katanya usai diperiksa selama tujuh jam oleh penyidik KPK, pada 13 Desember 2016.
Read more at https://kumparan.com/muhamad-rizki/terkuak-peran-setya-novanto-di-kasus-e-ktp#yL1oyBBaGmAgcoxe.99
======
Tidak ada komentar:
Posting Komentar