Sabtu, 23 September 2017

BIAR LAH PULANG NAMA DARI PADA PULANG SENGSARA.

Serial menanti Godod
MERANTAU...
Ini bukan Cintaku tak berbalas kekasih.....
Ini bukan lambaian sapu tanganku yang kau abaikan
Ini bukan dekapanku yang kau elakan
Ini bukan kekasih nan pergi.......jauh
Ini bukan karatau dan madang nan di hulu
Ini bukan pergi ...berkirap, mengirap dan menghilang

Ini bukan kebencian lantaran amarah nan membakar
Ini bukan latihan anak jolong gedang

Ini bukan basa-basi, dengan rokok sebatang, sirih nan sekapur
Ini bukan pelarian CINTA.
Ini lebih significant bung
Jangan asyik dengan permen karetmu
Jangan lah bak monyet dapat cermin
Jangan seperti guruh dalam hujan
Jangan bagaikan semut dipinggir jelaga.
Jangan terlena dengan beruk berayun
Jangan terkapar disergah harimau
Inilah Petuah- Nya......
Tak peduli kau Cina Komunis
Tak peduli kau Cina Kapitalis
Tak peduli kau Cina Freedheenker ,
Tak peduli kau Cina Beragama
Negeri kita dah sempit, kau tak bisa pulang lagi
Lihat Israel dan belajarlah pada Yahudi.
Jangan terlibat kejahatan kecil-kecilan,copet-copetan, pasar rakyat
Gasak dan Kuasai dengan genggaman erat.
Pegang lah tampuk tangkainya
Tampuk itu bisa kau gasak dengan Candu
Tampuk itu bisa kau kemas dengan Emas
Tampuk itu bisa kau hias dengan mahkota
Tampuk itu bisa kau beri seri dengan wanita
Tampuk itu bisa kau beri padi asal menjadi
Tampuk itu bisa kau beri kunyit biar kuning
Tampuk itu bisa kau merahkan dengan saga
Mereka semua bisa kau mabuk kepayangkan
Mereka semua bisa kau pecah - belahkan
Tak peduli sekeliling tampuk
Kejar sampai ke Cerdik Pandai, Ulama, Pemangku adatnya
Beradaptasilah, Berimprofisasi-lah, dan Eksekusi Goal mu.
Habiskan modal mu demi tujuan dan goal mu
Habiskan jiwa ragamu di sana
Kau tak bisa pulang lagi.
"Seni"-nya yang halus ya dan bermakna
Pegang Hulunya Kendalikan Pucuk-nya.
Ingat kau tak bisa pulang
Tak ada kata PULANG
INI PANCA.....LIMA INI HANYA.... TENTANG LIMA BUTIR
ESA :HILANG DUA : TERBILANG TIGA: (IG) DIKURUNG
EMPAT: KAWAN HILANG LIMA : GALAK BASAMO ( Ketawa bersama-sama....)
MARASAI SURANG (menderita sendirian).
BIAR LAH PULANG NAMA DARI PADA PULANG SENGSARA.
======

TEKA - TEKI

BUKAN TEKA - TEKI Silang
TEKA -TEKI TAK Berhadiah
Anda Jawab apa Tidak Dijawab
Aku Ra Po Po..
Iko Dyan Indra :  http://nomor1.com/yanaa577 selengkapnya mendaftar di sini http://nomor1.net/yanaa5779 TONTON VIDEO KE...
EKADYANA.BLOGSPOT.COM


Tokoh PKI Muso



Begini Sosok Muso 

  • Sabtu, 23 September 2017 10:00 WIB
Intisari-Online.com – Dalam tengah-tengah bergejolaknya revolusi fisik, dan menghebatnya rongrongan kaum komunis yang tergabung dalam apa yang menamakan dirinya Sayap Kiri, serta tekanan-tekanan pihak Belanda yang bertambah lama bertambah memuncak, tersiarlah berita bahwa telah tiba di Indonesia dutabesar Indonsia untuk Polandia: Soeripno.
Soeripno itu dikabarkan sebagai seorang mahasiswa yang sedang menuntut pelajaran di negara sosialis tersebut dan kemudian atas prakarsa sendiri berhasil mengadakan hubungan diplomatik dengan Polandia.
Yang membikin kaget orang bukan Soeripno-nya, tetapi justru sekretaris pribadinya yang bernama: Soeparto, yang kemudian diketahui sebagai Muso, jago komunis kawakan yang sudah meninggalkan Tanah Air bertahun-tahun lamanya.
Soeripno dan Muso berhasil menerobos blokkade Belanda, dan mendarat dengan pesawat Catalina di rawa Campurdarat, Tulung Agung (yang terkenal dengan banjirnya).
Dalam waktu yang relatif singkat Muso sudah mendjadi bahan pembicaraan orang, karena namanya sering disebut dalam koran; kendati pada waktu itu wartawan-wartawan tidak dibenarkan oleh pihak PKI atau FDR untuk menghubungi dia.
Atau Muso-nya sendiri yang memang ogah mengadakan hubungan langsung dengan wartawan.
Sampai pada suatu saat, para wartawan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta mendapat pemberitahuan bahwa sebentar siang Muso akan mengadakan konferensi pers di Balai Wartawan.
Letak Balai Wartawan Yogya pada waktu itu di Jalan Malioboro, satu gedung dengan surat kabar “Kedaulatan Rakyat", yang kini menjadi gedung DPRD-GR (Gotong Royong).
Kalau tidak keliru, undangannya jam sepuluh tetapi pada waktu itu ternyata rombongan Muso datangnya sangat terlambat.
Para wartawan Yogya (yang jumlahnya tidak lebih dari dua puluh lima orang) tumplek blek ada di Balai Wartawan semuanya.
Mereka ingin melihat wajah dan belajar kenal dengan Muso, agitator komunis kawakan yang kemudian dengan “trace-baru"-nya ternyata membawa malapetaka kepada bangsa Indonesia dengan pemberontakannya yang dilakukan pada tanggal 19 September 1948 itu.
Baru kira-kira jam setengah dua belas datanglah sebuah truk penuh dengan isi laskar Pesindo lengkap dengan senjata masing-masing yang sekaligus merupakan pengiring dari sebuah mobil yang datang terlebih dulu.
Setelah Muso dengan terengah-engah masuk ke ruang mencari tempat duduk dan minta maaf atas kelambatan kehadirannya, maka konferensi pers pun dimulailah.
Muso mengemukakan pandangannya mengenai situasi revolusi yang sudah begitu merosot nilainya; dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh presiden Soekarno terutama, selalu dikecam dan diejeknja dengan penuh sinisme.
“Kalau saya nanti jadi mendiami gedung di sana itu, maka segera akan saya lakukan perubahan-perubahan yang radikal. Keadaan akan saya sesuaikan dengan keadaan revolusi…,” demikian antara lain ujarnya.
Yang dimaksudkan dengan “gedung di sana” yaitu Istana atau Gedung Agung yang menjadi kediaman Kepala Negara RI pada masa itu; sebuah gedung bekas tempat kediaman gubernur-gubernur Belanda dan pembesar tertinggi Jepang untuk daerah Yogyakarta.
Seorang rekan (kalau tidak keliru Samawi dari KR) menanyakan, “Apakah dengan begitu Saudara Muso ingin menggantikan kedudukan Bung Karno?”
“Yyyy… yaaa… kalau rakyat menyetujui. Tetapi… tetapi… yaaaa, begitulah…”
Muso Ialu, berceritera tentang kesalahan persetujuan Linggarjati dan Renville, yang berarti suatu kegagalan total dari politik yang selama ini dijalankan oleh Amir Sjarifuddin, sesama orang komunis seperti dia.
Dia juga mengemukakan bahwa keadaan negeri Soviet sudah begitu majunya, sampai anak-anak sekolah tidak usah membayar uang kuliah, upah buruh dijamin, kesejahteraan sosialnya ditanggung negara, dan lain-lain tetek-bengek untuk propaganda.
“Lalu? Apa kita punya sekarang? Ini uang Uri apa Nuri apa apa namanya itu, … nilainya tambah hari tambah merosot…” Berkata begitu itu dia sembari menyeringai. Meringis mengejek.
“Ini saudara Muso. Kami kepingin tahu! Saudara Muso datang untuk konferensi pers, untuk apa harus dikawal dengan laskar satu truk lengkap dengan senjata segala?" demikian seorang rekan bertanya.
“Ooo… itu disebabkan… itu disebabkan… karena… karena… ya, kita harus waspada terhadap agen-agen kaum imperialis yang di mana-mana mempunyai antek-anteknya…”
Pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan kemudian berkisar kepada perundingan dengan Belanda, dengan persatuan nasional dan pokok-pokok persoalan yang  dewasa ini memang menjadi topik.
Tidak lama konferensi pers yang diadakan oleh Muso dengan para wartawan Ibukota itu.
Di konferensi itulah saya untuk kali pertama melihat dan berhadapan dengan Muso, gembong komunis Indonesia yang sekaligus juga merupakan tokoh komunis internasional.
Kesan saya: serba kampungan. Inteligensinya kurang. Isi kepalanya tidak banyak. Patutnya memang tukang gontok; atau tukang gelut. Atau tukang pukul.
Kalimat-kalimat yang diucapkannya tidak diplomatis, dan ya, seperti yang sudah saya katakan di atas: kampungan.
Tidak menimbulkan rasa simpati; Iebih-lebih setelah dia mengutarakan dengan sinisme tentang keuangan RI kita; tentang niatnya hendak menggantikan Kepala Negara (pada waktu revolusi sedang berkecamuknya itu).
Ada yang juga harus saya catat di sini. Pada waktu itu di antara para pengawalnya ada seorang anak muda. Sikapnya masih agak kaku dan malu-malu. Dalam konferensi pers itu dia mencari  tempat pinggir.
Rambutnya berombak, kulitnya kuning, tampannya memang ngganteng. Saya ingat-ingat kemudian. Saya ingat-ingat….
Namanya: Aidit. Dipa Nusantara Aidit, yang kemudian dalam perkembangan sejarah Indonesia juga mengalami nasib seperti Muso sendiri, mati sia-sia karena (dianggap) berkhianat kepada negara dan bangsa.
Itulah "perkenalan" saya untuk kali pertama dengan Muso. Perkenalan kedua kalinya terjadi  sewaktu para mahasiswa Gadjah Mada mengadakan malam ceramah; sedangkan yang memberikan ceramah adalah para tokoh-tokoh politik pada waktu itu.
Salah seorang di antara para tokoh yang diminta memberi ceramah ini ialah Muso ini. Tempat ceramah di pagelaran Alun-alun Lor.
Mula-mula yang hadir cukup banyak. Ruang ceramah penuh dengan mahasiswa-mahasiswi. Tetapi, entah memang disengaja entah tidak, bertambah lama jumlah pengunjungnya menjadi susut, menjadi berkurang sehingga ruangan hampir-hampir menjadi kosong.
Kala itu yang menjadi moderatornya ialah Jusuf Simanjuntak yang kemudian kita kenal sebagai Yusuf Adjitorop, tokoh PKI pelarian yang kemudian bermukim di Peking dan hidup atas belas kasihan pemerintah China.
Seorang mahasiswa menanyakan, “Pak Muso mengapa sekarang anti-Linggarjati, padahal dulu Amir Syarifuddin yang notabene juga orang komunis justru mendukungnya?"
Suasana menjadi geger. Tetapi, sebelum pertanyaan itu diajukan suasana memang juga sudah agak panas. Memang begitulah, cara pada waktu itu apabila ada sesuatu golongan hendak mengacau rapat atau pertemuan. Beraneka ragam caranya; rupa-rupa metodenya.
Simanjuntak nampak agak panas juga telinganya. Kok ada yang berani mengajukan pertanyaan begitu? Tetapi Muso-nya sendiri lalu menenangkan anak buahnya.
"Tenang, tenang…, jangan panik, jangan panik. Saya juga sudah tahu, dari mana angin menghembus…”
Simanjuntak oleh sementara pengunjung dianggap kurang mampu dan tidak tegas  menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada Muso; karena itu dia lalu disoraki, dijengek-jengeki.  Mukanya menjadi merah, matanya mendelik.
Saya terus terang saja lupa, entah bagaimana tempo hari itu jawabnya Muso atas pertanyaan itu. Yang saya masih ingat ialah, bahwa sewaktu rapat itu ditutup ruang ceramah sudah hampir kosong.
Agaknya para mahasiswa-mahasiswi sudah ogah lagi mendengarkan pidato gembong komunis itu.
Lain sekali, dengan keadaan sewaktu pada suatu ketika Mohammad Yamin yang oleh para mahasiswa juga diminta adakan ceramah. Yamin memang pandai mengambil hati mahasiswa.
Kendati pada waktu itu dia tidak masuk partai ini itu, kepada saya dia pernah katakan: sekarang ini bukan zamannya masuk partai ini itu, tetapi masih blok ini itu, namun sampai akhir ceramahnya sambutan para pemuda mahasiswa sangat gairah sekali.
Sering kali terdengar suara tepuk tangan, mawurahan tanda setuju dengan apa yang diuraikan oleh pembicara.
Pada waktu itu dalam "primbon" saya sudah saya buat perbandingan antara Muso dan Yamin ini. Sayang sekali, buku primbon saya itu hilang tak karuan, sewaktu serdadu Belanda main ugal-ugalan menyebut Yogya, dan kantor “Antara” tempat saya bekerja juga ikut diduduki oleh pihak yang pada waktu itu menjadi penguasa.
Dua kali itu saja saya melihat dan berkenalan dari dekat (dalam arti fisik) dengan Muso.
Orangnya gede, dempal. Suaranya bantas, braok. Pipinya gendut, item dito perawakannya. Lagi sekali, dia memang lebih pantas menjadi jagoan tukang kepruk daripada menjadi pemimpin.
Akhirnya, dalam petualangannya memberontak terhadap pemerintahan RI yang sah yang notabene sedang menghadapi kepungan pasukan Belanda itu, Muso akhirnya tertembak mati oleh seorang anggota Hizbullah; setelah terlebih dahulu berkejar-kejaran naik dokar (delman) dan sembunyi di balik pohon asam segala, persis seperti yang pernah kita lihat dalam film koboi itu.

(Ditulis oleh Haji Soebagiyo, I.N., wartawan Antara. Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1970)
=====

Jumat, 22 September 2017

Try Sutrisno : Anak PKI Masuk Akmil

Try Sutrisno : Anak PKI Masuk Akmil

Tim VIVA »  
Sabtu, 23 September 2017 | 00:35 

Try Sutrisno Curigai Anak PKI Masuk Akmil
VIVA.co.id – Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6, Jenderal (Pur) Try Sutrisno agar mewaspadai anak cucu dari keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mau masuk pendidikan Akademi Militer.
"Sekarang tidak mustahil anak cucu PKI akan masuk ke Akmil. Itu sasaran strategis jangka panjang," kata Try Sutrisno di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat, 22 September 2017.
Untuk itu, Try meminta kepada jajarannya agar lebih memperhatikan orang-orang yang akan menempuh pendidikan Akmil, Akademi Ilmu Kepolisian, mapun di Angkatan Udara dan Angkatan Laut.  "Untuk betul-beul tahu manusia merah putih atau tidak," katanya.
Maka, Try mengimbau kepada prajurit TNI agar mewaspadai terhadap organisasi PKI di Tanah Air.  "Intinya kewaspadaan kepada PKI harus tetap karena ideiologi predator Pancasila itu banyak," ujarnya.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah menginstruksikan jajarannya agar waspada bagi mereka yang akan memasuki pendidikan di Akmil.
"TNI selalu waspada bagi yang masuk TNI karena ini sudah keputusan, tetapi kami tahu itu siapa saja. Tidak menutup kemungkinan kami, tidak semua datanya kami tahu. Tetapi diterima," ujar Gatot.
=====

Menko Luhut Ragukan Nasionalisme Todung dan Nursyahbani


Menko Luhut Ragukan Nasionalisme Todung dan Nursyahbani

VIVA.co.id – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, menyindir dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis.
Sindiran ini disampaikan Luhut, di sela-sela paparan mengenai masalah komunisme di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, 20 Mei 2016.
"Nursyahbani dengan Todung, saya kadang-kadang perlu dites juga kebangsaannya itu gimana itu? Kok jauh-jauh pergi melakukan pengadilan di Belanda untuk mengadili bangsanya," ujar Luhut.
Sindiran ini disampaikan Luhut terkait peran Nursyahbani dan Todung pada 2015 lalu, dengan menginisiasi International People's Tribunal (ITP) mengenai peristiwa 1965.
Pengadilan rakyat ini digelar terkait dugaan pembunuhan massal yang dilakukan terhadap simpatisan atau orang yang dituding memiliki kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca peristiwa 30 September 1965.
Luhut pun meminta semua pihak yang ingin menyelesaikan persoalan sejarah itu untuk menghadap padanya. Dia mengaku siap menerima siapa saja.
"Nah saya simposium ini, saya ingin membuka semua. Karena Sintong Pandjaitan sebagai saksi hidup sama dengan beberapa prajurit lain, tidak setuju jumlah korban 400 ribu tadi," kata Luhut. 
Luhut juga mengaku sudah menanyakan masalah ini ke sejumlah profesor yang meneliti peristiwa 1965. "Semua dengan asumsi-asumsi, jadi jumlah 400 ribu itu karena asumsi. Pernah ada fakta enggak?" ucapnya.
Luhut mengasumsikan, misalnya saja ada 200 kuburan ditemukan. Tentunya tidak semua kuburan merupakan korban dari pihak PKI. Kata Luhut, bisa saja berasal dari kelompok lain.
Adanya beragam informasi dan asumsi yang simpang siur ini, mendorong Luhut untuk memfasilitasi penyelesaian masalah peristiwa 1965.
"Supaya bangsa ini jangan dibilang holocaust, pembunuhan seperti zamannya Yahudi dulu (pembunuhan massal oleh Nazi), perang dunia kedua di Eropa itu," katanya. (ase)
====

Bagaimana Reaksi Luar Negeri 

terhadap Geger G30S?

  • Sabtu, 23 September 2017 19:00 WIB

Intisari-Online.com – Tak hanya di dalam negeri, peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 juga menjadi perdebatan di luar negeri. Beberapa cendikiawan Barat seoal saling bersaing mengutarakan sudut pandangnya masing-masinng.
Ada yang menyebut bahwa peristiwa itu didalangi oleh PKI, sementara yang lain menyebut ini adalah intrik dalam internal Angkata Darat.
Di bawah ini adalah tulisan Nugroho Notosusanto di Intisari yang telah disunting ulang di beberapa bagian terutama karena tulisan ini masih menggunakan ejaan lama, tentang bagaimana luar negeri, lebih tepatnya dunia Barat, melihat peristiwa berdarah ini.
***
Dua tahun telah lewat sejak terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari, bagi masyarakat Indonesia segala hal-ihwal tentangnya sudah tampak “jelas”.
Sekian banyaknya Mahmilub, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah dianggap telah cukup memberikan bahan-bahan pembuktian mengenai dalang dan wayang serta lakon “Gerakan” tersebut.
Bagi masyjarakat Indonesia yang telah menjaksikan build-up (pembangunan) PKI selama 8 tahun terakhir dan ofensif selama 2 tahun yang paling belakang sebelum tanggal 1 Oktober 1965, maka tercetusnya peristiwa “G-30-S" itu tidak terlalu mengherankan.
Seolah-olah seluruh masyarakat sudah siap secara mental untuk mengalami percobaan  perebutan kekuasaan oleh PKI dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Karena itu bagi rata-rata orang Indonesia yang berada di dalam negeri selama tahun sebelum 1965 itu, tidak sulit untuk menarik benang merah yang menjelujuri prolog peristiwa serta epilog “G-30-S”.
Ulasan-ulasan di luar negeri
Sebaliknya, masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mempunyai gambaran, bagaimana ulasan-ulasan di luar negeri mengenai peristiwa “G-30-S”.
Memang secara luas diketahui bahwa negara-negara blok Komunis membuat ulasan-ulasan yang isinya sama dengan suara “G-30-S'' sendiri pada tanggal 1 Oktober, yakni, bahwa “G-30-S" adalah soal intern Angkatan Darat dan PKI tidak mendalanginya.
Baik Uni Soviet dan terlebih-lebih lagi RRC lewat pers-nya melancarkan kecaman-kecaman kepada Orde Baru dan mendukung suara “G-30-S”.
Hal itu oleh masyarakat Indonesia dianggap “masuk akal” bagi sikap Komunis dunia, yang kawan-kawannya sepaham dipatahkan kekuasaannya di Indonesia.
Mengenai ulasan-ulasan di negeri-negeri yang sistem sosial-politiknya liberal, misalnya negeri-negeri Barat, pada umumnya orang Indonesia tidak begitu tahu.
Bahkan ada asumsi umum, bahwa tentunya orang Barat senang dengan perkembangan di Indonesia, karena setidak-tidaknya Republik Indonesia, yang berpolitik bebas-aktif tidak seberapa merugikan mereka seperti Republik Indonesia yang membebek politik luar negeri RRC.
Maksud karangan ini ialah, untuk memberikan suara pandangan yang sangat umum mengenai pelbagai variasi di dalam ulasan-ulasan orang Barat mengenai “G-30-S”.
Ulasan-ulasan yang positif
Perlu diterangkan terlebih dulu, bahwa bukan maksud karangan ini untuk juga menyinggung ulasan-ulasan di dalam pers maupun oleh kalangan politik di negeri-negeri tersebut.
Tujuan karangan ini hanyalah memberikan  “survei" selintas pandang mengenai ulasan-ulasan yang dibuat oleh wartawan maupun sarjana yang sedikit-banyak ahli tentang Indonesia, artinya orang-orang yang seharusnya kenal Indonesia karena studi yang pernah dibuatnya.
Jika kita mulai dengan ulasan-ulasan yang positif, hal itu secara kronologis sesungguhnya agak terbalik, karena karangan-karangan yang negatiflah yang terlebih dulu ditulis, betapapun ini mengherankan kebanyakan kalangan kita.
Ukuran positif dan negatif sesungguhnya relatif pula, karena tidak ada karangan yang seratus persen sesuai dengan pendapat kita, dan memang hal itu tidak mungkin, karena subjektivitas kelompok orang Barat tentu lain dengan subjektivitas kelompok orang Indonesia.
Persamaan positif-negatif terutama didasarkan atas sikap para pengulas itu terhadap Orde Baru, yang menurut kenyataannya merupakan kontinuitas sejarah dari peristiwa “G-30-S”.
Karangan pertama yang dapat dikemukakan adalah buah tangan Dr Justus M. van der Kroef, seorang guru besar dari University of Bridgeport, Amerika Serikat.
Sarjana Amerika keturunan Belanda ini di Indonesia dikenal karena karena Indonesia in the Modern World (I + II, 1954, + 1956) dan The Communist Party of Indonesia (1965).
Karangan van der Kroef terdapat di dalam majalah Orbis, X, No. 2; Summer 1966 , halaman 458-487, dan berjudul Gestapu in Indonesia.
Karangan ini, meskipun mengandung beberapa kekeliruan fakta, namun analisanya masuk akal.
Menurut van der Kroef, tujuan daripada “Gestapu" ada tiga: (1) Mendorong kemudi pemerintahan 30 a 40 derajat ke arah suatu “Demokrasi Rakyat" komunis yang penuh, (2) Menghancurkan struktur komando daripada Angkatan Darat, dan (3.) Membentuk daerah basis ala Mao Tse-tung di Kompleks Merapi-Merbabu.
Motif daripada “Gestapu" menurut van der Kroef adalah (1) Militansi revolusioner yang terus ditingkatkan oleh PKI, karena momentumnya sendiri akan menuntut suatu klimaks; tiadanya klimaks akan membuat suatu retrogresi yang berbahaya bagi Partai; (2) Sesudah meninggalnya Sukarno, pastilah PKI akan terlibat ke dalam pertarungan berdarah dengan musuh-musuhnya, justru karena telah timbulnya rasa pahit-getir dan ketegangan sebagai akibat taktik tekanan oleh PKI. Karenanya, lebih baik PKI mempersiapkan diri untuk konflik itu dan bahkan memberikan pukulan terlebih dulu.
Karangan kedua yang patut dikemukakan adalah karangan Dr John O. Sutter, seorang Senior Research Associate dari pada Asia Foundation, yang di Indonesia dikenal karena bukunya  Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940 -1955, ( 4 jilid, 1959).
Sutter menulis artikel yang berjudul “Two Faces of Konfrontasi: Crush Malaysia and The Gestapu” dalam majalah Asian Survey, Oktober 1965.
Seperti telah dapat dicerminkan oleh judulnya, artikel ini terdiri atas dua bagian, yang pertama mengenai Konfrontasi dan yang kedua mengenai Gestapu. Yang perlu disinggung hanyalah yang mengenai Gestapu.
Artikel ini sayang sekali mengandung kekeliruan-kekeliruan fakta mengenai kisah peristiwa “G-30-S” namun garis besar tafsirannya benar.
Juga Sutter melihat peristiwa “G-30-S” sebagai kulminasi daripada kampanye PKI untuk menggelincirkan situasi Tanah air ke pihaknya.
Ulasan-ulasan jurnalistik yang tidak negatif
Suatu karangan yang lebih panjang daripada hanya artikel saja, adalah karja John Hughes yang berjudul Uphea Val in Indonesia, suatu buku yang akan terbit pada akhir tahun 1967 ini.
Karya Hughes telah memenangkan Pulitzer Prize dan memang menunjukkan keahlian seorang wartawan yang tidak sama sekali asing daripada suasana Indonesia.
Meskipun demikian, ada terdapat kekeliruan fakta yang dapat dimaafkan, karena pengarang, bukanlah seorang sarjana yang expert tentang Indonesia.
Sayang sekali karya ini terlalu menitikberatkan diri pada korban-korban yang jatuh dalam masa epilog yang deskripsinya tidak selalu tepat.
Karangan-karangan jurnalistik lain yang tidak terlalu ngawur adalah karangan Clarence W. Hall, Indoensia’s Night of Terror, Dawn of Hope, dalam Reader’s Digest, November 1966, dan karangan Horace Sutton, Indonesia’s Night of Terror, dalam Saturday Review, 4 Pebruari 1967.
Karangan-karangan ini sesungguhnya merupakan karangan-karangan menurut selera umum di Amerika Serikat sebagaimana yang telah kita ketahui.
Suatu buku jurnalistik yang fakta-faktanya banyak yang ngawur karena pengarangnya rupa-rupanya tidak kenal Indonesia, meskipun pada bukunya diperkenalkan sebagai “an  acknowledged expert on Indonesia", adalah karangan Tarzie Vittachi The Fall of Sukarno (1967).
Deskripsinya mengenai peristiwa “G-30-S” mengandung begitu banyak hal yang tidak masuk akal sehingga membaca buku ini kita sering akan ketawa kasihan.
Ulasan-ulasan ahli yang lain
Karangan-karangan ahli yang lain, yang sukar dikualifikasi positif atau negatif adalah misalnya saja karangan Dr. Donald Hindley di dalam Journal of Asian Science, Februari 1967, yang berjudul Political Power and the October 1965 Coup in Indonesia.
Pengarangnya adalah serang Associate Professor pada Brandeis University, berkebangsaan Inggris dan terkenal karena bukunya The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (1964, cet. II, 1966).
Justru karena pengetahuannya yang mendalam mengenai PKI-Aidit, pengarang ini bersikap  sangat hati-hati di dalam artikelnya tersebut di atas.
Titik berat diletakkan kepada persoalan, mengapa PKI begitu mudah dapat dihancurkan, tanpa menjawab pertanyaan, apakah PKI terlibat langsung di dalam “G-30-PKI" itu.
Pada dewasa ini Hindley berada di Indonesia untuk mempelajari Orde Baru. Kita nantikan analisanya lebih lanjut.
Sebuah karangan lain, yang bersifat sumir dan menitikberatkan aspek internasional daripada peristiwa “G-30-S” adalah karangan Uri Ra’anan, The Coup that Failed: A Background Analysis  dalam Problems of Coomunism, Maret/April 1966.
Ra’anan melihat “G-30-S” dalam hubungannya dengan gerakan komunis internasional, khususnya Uni Soviet dan RRC.
Ulasan-ulasan yang negatif
Di antara beberapa ulasan ahli yang negatif tentang “G-30-S", yang paling penting dan pasti harus disebutkan adalah apa yang di Indonesia kini dikenal dengan nama Cornell Paper, meskipun harus disebutkan, bahwa Direktur Modern Indonesia Project Cornell University, Profesor Kahin telah menyatakan, bahwa paper itu bukan paper resmi lembaga tersebut; melainkan paper pribadi orang anggotanya, yakni Dr. Benedict R.O’G. Anderson, seorang sarjana Irlandia/Inggris dan Dr Ruth T. McVey, sarjana Amerika Serikat yang terkenal karena bukunya The Rise of Indonesian Communism (1965).
=====