"TNI selalu waspada bagi yang masuk TNI karena ini sudah keputusan, tetapi kami tahu itu siapa saja. Tidak menutup kemungkinan kami, tidak semua datanya kami tahu. Tetapi diterima," ujar Gatot.
Sindiran ini disampaikan Luhut, di sela-sela paparan mengenai masalah komunisme di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, 20 Mei 2016.
"Nursyahbani dengan Todung, saya kadang-kadang perlu dites juga kebangsaannya itu gimana itu? Kok jauh-jauh pergi melakukan pengadilan di Belanda untuk mengadili bangsanya," ujar Luhut.
Sindiran ini disampaikan Luhut terkait peran Nursyahbani dan Todung pada 2015 lalu, dengan menginisiasi International People's Tribunal (ITP) mengenai peristiwa 1965.
Pengadilan rakyat ini digelar terkait dugaan pembunuhan massal yang dilakukan terhadap simpatisan atau orang yang dituding memiliki kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca peristiwa 30 September 1965.
Luhut pun meminta semua pihak yang ingin menyelesaikan persoalan sejarah itu untuk menghadap padanya. Dia mengaku siap menerima siapa saja.
"Nah saya simposium ini, saya ingin membuka semua. Karena Sintong Pandjaitan sebagai saksi hidup sama dengan beberapa prajurit lain, tidak setuju jumlah korban 400 ribu tadi," kata Luhut.
Luhut juga mengaku sudah menanyakan masalah ini ke sejumlah profesor yang meneliti peristiwa 1965. "Semua dengan asumsi-asumsi, jadi jumlah 400 ribu itu karena asumsi. Pernah ada fakta enggak?" ucapnya.
Luhut mengasumsikan, misalnya saja ada 200 kuburan ditemukan. Tentunya tidak semua kuburan merupakan korban dari pihak PKI. Kata Luhut, bisa saja berasal dari kelompok lain.
Adanya beragam informasi dan asumsi yang simpang siur ini, mendorong Luhut untuk memfasilitasi penyelesaian masalah peristiwa 1965.
"Supaya bangsa ini jangan dibilang
holocaust, pembunuhan seperti zamannya Yahudi dulu (pembunuhan massal oleh Nazi), perang dunia kedua di Eropa itu," katanya. (ase)
====
Bagaimana Reaksi Luar Negeri
terhadap Geger G30S?
- Sabtu, 23 September 2017 19:00 WIB
Intisari-Online.com – Tak hanya di dalam negeri, peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 juga menjadi perdebatan di luar negeri. Beberapa cendikiawan Barat seoal saling bersaing mengutarakan sudut pandangnya masing-masinng.
Ada yang menyebut bahwa peristiwa itu didalangi oleh PKI, sementara yang lain menyebut ini adalah intrik dalam internal Angkata Darat.
Di bawah ini adalah tulisan Nugroho Notosusanto di Intisari yang telah disunting ulang di beberapa bagian terutama karena tulisan ini masih menggunakan ejaan lama, tentang bagaimana luar negeri, lebih tepatnya dunia Barat, melihat peristiwa berdarah ini.
***
Dua tahun telah lewat sejak terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari, bagi masyarakat Indonesia segala hal-ihwal tentangnya sudah tampak “jelas”.
Sekian banyaknya Mahmilub, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah dianggap telah cukup memberikan bahan-bahan pembuktian mengenai dalang dan wayang serta lakon “Gerakan” tersebut.
Bagi masyjarakat Indonesia yang telah menjaksikan build-up (pembangunan) PKI selama 8 tahun terakhir dan ofensif selama 2 tahun yang paling belakang sebelum tanggal 1 Oktober 1965, maka tercetusnya peristiwa “G-30-S" itu tidak terlalu mengherankan.
Seolah-olah seluruh masyarakat sudah siap secara mental untuk mengalami percobaan perebutan kekuasaan oleh PKI dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Karena itu bagi rata-rata orang Indonesia yang berada di dalam negeri selama tahun sebelum 1965 itu, tidak sulit untuk menarik benang merah yang menjelujuri prolog peristiwa serta epilog “G-30-S”.
Ulasan-ulasan di luar negeri
Sebaliknya, masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mempunyai gambaran, bagaimana ulasan-ulasan di luar negeri mengenai peristiwa “G-30-S”.
Memang secara luas diketahui bahwa negara-negara blok Komunis membuat ulasan-ulasan yang isinya sama dengan suara “G-30-S'' sendiri pada tanggal 1 Oktober, yakni, bahwa “G-30-S" adalah soal intern Angkatan Darat dan PKI tidak mendalanginya.
Baik Uni Soviet dan terlebih-lebih lagi RRC lewat pers-nya melancarkan kecaman-kecaman kepada Orde Baru dan mendukung suara “G-30-S”.
Hal itu oleh masyarakat Indonesia dianggap “masuk akal” bagi sikap Komunis dunia, yang kawan-kawannya sepaham dipatahkan kekuasaannya di Indonesia.
Mengenai ulasan-ulasan di negeri-negeri yang sistem sosial-politiknya liberal, misalnya negeri-negeri Barat, pada umumnya orang Indonesia tidak begitu tahu.
Bahkan ada asumsi umum, bahwa tentunya orang Barat senang dengan perkembangan di Indonesia, karena setidak-tidaknya Republik Indonesia, yang berpolitik bebas-aktif tidak seberapa merugikan mereka seperti Republik Indonesia yang membebek politik luar negeri RRC.
Maksud karangan ini ialah, untuk memberikan suara pandangan yang sangat umum mengenai pelbagai variasi di dalam ulasan-ulasan orang Barat mengenai “G-30-S”.
Ulasan-ulasan yang positif
Perlu diterangkan terlebih dulu, bahwa bukan maksud karangan ini untuk juga menyinggung ulasan-ulasan di dalam pers maupun oleh kalangan politik di negeri-negeri tersebut.
Tujuan karangan ini hanyalah memberikan “survei" selintas pandang mengenai ulasan-ulasan yang dibuat oleh wartawan maupun sarjana yang sedikit-banyak ahli tentang Indonesia, artinya orang-orang yang seharusnya kenal Indonesia karena studi yang pernah dibuatnya.
Jika kita mulai dengan ulasan-ulasan yang positif, hal itu secara kronologis sesungguhnya agak terbalik, karena karangan-karangan yang negatiflah yang terlebih dulu ditulis, betapapun ini mengherankan kebanyakan kalangan kita.
Ukuran positif dan negatif sesungguhnya relatif pula, karena tidak ada karangan yang seratus persen sesuai dengan pendapat kita, dan memang hal itu tidak mungkin, karena subjektivitas kelompok orang Barat tentu lain dengan subjektivitas kelompok orang Indonesia.
Persamaan positif-negatif terutama didasarkan atas sikap para pengulas itu terhadap Orde Baru, yang menurut kenyataannya merupakan kontinuitas sejarah dari peristiwa “G-30-S”.
Karangan pertama yang dapat dikemukakan adalah buah tangan Dr Justus M. van der Kroef, seorang guru besar dari University of Bridgeport, Amerika Serikat.
Sarjana Amerika keturunan Belanda ini di Indonesia dikenal karena karena Indonesia in the Modern World (I + II, 1954, + 1956) dan The Communist Party of Indonesia (1965).
Karangan van der Kroef terdapat di dalam majalah Orbis, X, No. 2; Summer 1966 , halaman 458-487, dan berjudul Gestapu in Indonesia.
Karangan ini, meskipun mengandung beberapa kekeliruan fakta, namun analisanya masuk akal.
Menurut van der Kroef, tujuan daripada “Gestapu" ada tiga: (1) Mendorong kemudi pemerintahan 30 a 40 derajat ke arah suatu “Demokrasi Rakyat" komunis yang penuh, (2) Menghancurkan struktur komando daripada Angkatan Darat, dan (3.) Membentuk daerah basis ala Mao Tse-tung di Kompleks Merapi-Merbabu.
Motif daripada “Gestapu" menurut van der Kroef adalah (1) Militansi revolusioner yang terus ditingkatkan oleh PKI, karena momentumnya sendiri akan menuntut suatu klimaks; tiadanya klimaks akan membuat suatu retrogresi yang berbahaya bagi Partai; (2) Sesudah meninggalnya Sukarno, pastilah PKI akan terlibat ke dalam pertarungan berdarah dengan musuh-musuhnya, justru karena telah timbulnya rasa pahit-getir dan ketegangan sebagai akibat taktik tekanan oleh PKI. Karenanya, lebih baik PKI mempersiapkan diri untuk konflik itu dan bahkan memberikan pukulan terlebih dulu.
Karangan kedua yang patut dikemukakan adalah karangan Dr John O. Sutter, seorang Senior Research Associate dari pada Asia Foundation, yang di Indonesia dikenal karena bukunya Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940 -1955, ( 4 jilid, 1959).
Sutter menulis artikel yang berjudul “Two Faces of Konfrontasi: Crush Malaysia and The Gestapu” dalam majalah Asian Survey, Oktober 1965.
Seperti telah dapat dicerminkan oleh judulnya, artikel ini terdiri atas dua bagian, yang pertama mengenai Konfrontasi dan yang kedua mengenai Gestapu. Yang perlu disinggung hanyalah yang mengenai Gestapu.
Artikel ini sayang sekali mengandung kekeliruan-kekeliruan fakta mengenai kisah peristiwa “G-30-S” namun garis besar tafsirannya benar.
Juga Sutter melihat peristiwa “G-30-S” sebagai kulminasi daripada kampanye PKI untuk menggelincirkan situasi Tanah air ke pihaknya.
Ulasan-ulasan jurnalistik yang tidak negatif
Suatu karangan yang lebih panjang daripada hanya artikel saja, adalah karja John Hughes yang berjudul Uphea Val in Indonesia, suatu buku yang akan terbit pada akhir tahun 1967 ini.
Karya Hughes telah memenangkan Pulitzer Prize dan memang menunjukkan keahlian seorang wartawan yang tidak sama sekali asing daripada suasana Indonesia.
Meskipun demikian, ada terdapat kekeliruan fakta yang dapat dimaafkan, karena pengarang, bukanlah seorang sarjana yang expert tentang Indonesia.
Sayang sekali karya ini terlalu menitikberatkan diri pada korban-korban yang jatuh dalam masa epilog yang deskripsinya tidak selalu tepat.
Karangan-karangan jurnalistik lain yang tidak terlalu ngawur adalah karangan Clarence W. Hall, Indoensia’s Night of Terror, Dawn of Hope, dalam Reader’s Digest, November 1966, dan karangan Horace Sutton, Indonesia’s Night of Terror, dalam Saturday Review, 4 Pebruari 1967.
Karangan-karangan ini sesungguhnya merupakan karangan-karangan menurut selera umum di Amerika Serikat sebagaimana yang telah kita ketahui.
Suatu buku jurnalistik yang fakta-faktanya banyak yang ngawur karena pengarangnya rupa-rupanya tidak kenal Indonesia, meskipun pada bukunya diperkenalkan sebagai “an acknowledged expert on Indonesia", adalah karangan Tarzie Vittachi The Fall of Sukarno (1967).
Deskripsinya mengenai peristiwa “G-30-S” mengandung begitu banyak hal yang tidak masuk akal sehingga membaca buku ini kita sering akan ketawa kasihan.
Ulasan-ulasan ahli yang lain
Karangan-karangan ahli yang lain, yang sukar dikualifikasi positif atau negatif adalah misalnya saja karangan Dr. Donald Hindley di dalam Journal of Asian Science, Februari 1967, yang berjudul Political Power and the October 1965 Coup in Indonesia.
Pengarangnya adalah serang Associate Professor pada Brandeis University, berkebangsaan Inggris dan terkenal karena bukunya The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (1964, cet. II, 1966).
Justru karena pengetahuannya yang mendalam mengenai PKI-Aidit, pengarang ini bersikap sangat hati-hati di dalam artikelnya tersebut di atas.
Titik berat diletakkan kepada persoalan, mengapa PKI begitu mudah dapat dihancurkan, tanpa menjawab pertanyaan, apakah PKI terlibat langsung di dalam “G-30-PKI" itu.
Pada dewasa ini Hindley berada di Indonesia untuk mempelajari Orde Baru. Kita nantikan analisanya lebih lanjut.
Sebuah karangan lain, yang bersifat sumir dan menitikberatkan aspek internasional daripada peristiwa “G-30-S” adalah karangan Uri Ra’anan, The Coup that Failed: A Background Analysis dalam Problems of Coomunism, Maret/April 1966.
Ra’anan melihat “G-30-S” dalam hubungannya dengan gerakan komunis internasional, khususnya Uni Soviet dan RRC.
Ulasan-ulasan yang negatif
Di antara beberapa ulasan ahli yang negatif tentang “G-30-S", yang paling penting dan pasti harus disebutkan adalah apa yang di Indonesia kini dikenal dengan nama Cornell Paper, meskipun harus disebutkan, bahwa Direktur Modern Indonesia Project Cornell University, Profesor Kahin telah menyatakan, bahwa paper itu bukan paper resmi lembaga tersebut; melainkan paper pribadi orang anggotanya, yakni Dr. Benedict R.O’G. Anderson, seorang sarjana Irlandia/Inggris dan Dr Ruth T. McVey, sarjana Amerika Serikat yang terkenal karena bukunya The Rise of Indonesian Communism (1965).
=====