Senin, 08 Oktober 2018

Kasus Ratna Sarumpaet Belum Berakhir. "Post-Truth" Politik dan Pilpres

Aktivis Ratna Sarumpaet mengenakan rompi tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2018. Ratna Sarumpaet, tersangka penyebaran berita bohong atau <i>hoax</i> tentang penganiayaan dirinya, resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga 20 hari. ANTARA FOTO/Reno Esnir
Aktivis Ratna Sarumpaet mengenakan rompi tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2018. Ratna Sarumpaet, tersangka penyebaran berita bohong atau hoax tentang penganiayaan dirinya, resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga 20 hari. ANTARA FOTO/Reno Esnir

Kontroversi Kasus Ratna Sarumpaet Belum Berakhir

Reporter:  Editor: 

Juli Hantoro 

Senin, 8 Oktober 2018 08:39 WIB
TEMPO.COJakarta - 
Kasus hoax Ratna Sarumpaet terus bergulir. Ratna yang kini telah berstatus tersangka penyebaran kabar bohong atau hoax telah ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Polisi pun akan memeriksa beberapa saksi termasuk salah satu di antaranya adalah Amien Rais yang pekan lalu tak hadir.
Juru bicara Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan kasus Ratna Sarumpaet ini ibarat puzzle. Untuk mencari gambaran utuh kasusnya, polisi, kata dia harus menyusun kepingan-kepingan puzzle itu. "Begitu gambar besarnya tersusun, kami tahu, oh si A perannya ini, si B perannya ini," ujar Setyo.
Meski secara pidana kasus ini telah ditangani polisi, namun kasus hoax Ratna Sarumpaet masih terus digoreng untuk kepentingan politik elektoral di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019.
Hal ini terlihat di media sosial, bagaimana pendukung Jokowi menggunakan kasus hoax Ratna Sarumpaet untuk menyerang lawan politiknya di kubu Prabowo. Sedangkan kubu Prabowo sibuk untuk menepis berbagai serangan itu dan menyebut diri mereka sebagai korban hoax Ratna Sarumpaet.
Bahkan laporan ke Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD dibuat kubu politikus pendukung Prabowo.
Adalah Jaringan Advokat Penjaga NKRI (Japri) dan Advokat Pengawal Konstitusi yang melaporkan empat anggota DPR ke MKD.
Keempat anggota DPR tersebut adalah Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah, serta Rachel Maryam dan Mardani Ali Sera.
Keempat orang tersebut dilaporkan karena diduga melanggar kode etik dengan menyebarkan informasi bohong atau hoax tentang penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet.
Keempatnya diduga melanggar Pasal 3 ayat (1) dan ayat (4) serta Pasal 9 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik DPR RI.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang mengkaji sejumlah legislator yang dilaporkan turut menyebarkan hoax.
"Nanti MKD akan kaji, apakah ada etik yang dilanggar, apakah tidak. Kalau ada, akan ada sanksi ringan, sedang, atau berat, tetapi kalau tidak ada, ya sudah selesai," kata Bambang di Purbalinggga pada Ahad, 7 Oktober 2018.
Adapun Fadli Zon santai menanggapi laporan tersebut. "Laporan ke MKD itu salah alamat. Mereka tidak mempelajari dengan dalam karena anggota DPR itu kalau ada laporan masyarakat, ya, harus kita respons," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2018.
Kasus Ratna Sarumpaet dan Elektabilitas Prabowo
Lalu bagaimana dengan elektabilitas calon presiden dan wakil presiden Prabowo - Sandiaga Uno pasca pengungkapan kasus Ratna Sarumpaet ini?
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan tak menampik bahwa kasus Ratna Sarumpaet 
akan menimbulkan citra negatif terhadap calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. 
Kendati begitu, Djayadi mengatakan isu itu tak akan membuat pemilih tetap Prabowo mengalihkan dukungan.
"Isu itu menimbulkan citra negatif, tetapi secara elektoral tidak akan menimbulkan larinya para pemilih Prabowo," kata Djayadi di kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 7 Oktober 2018.
Prabowo Subianto dan timnya sebelumnya termakan kabar bohong ihwal pemukulan dan penganiayaan Ratna Sarumpaet. Belakangan, kepolisian mengungkap bahwa Ratna tak pernah mengalami pemukulan atau penganiayaan. Ratna pun sudah mengakui bahwa dirinya berbohong.
Padahal, Prabowo kadung merespons cerita awal Ratna dengan serius. Ketua Umum Partai Gerindra itu bahkan menggelar konferensi pers di rumahnya, Jalan Kertanegara 4, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 2 Oktober lalu untuk menyampaikan simpatinya terhadap Ratna. Rabu malam, 3 Oktober, Prabowo kembali menggelar konferensi pers dan meminta maaf kepada publik karena sudah ikut menyiarkan pengakuan Ratna yang ternyata bohong belaka.
Menurut Djayadi, pemilih tetap Prabowo relatif tak terpengaruh dengan peristiwa tersebut. Mereka akan memaafkan, bersimpati, bahkan membela Prabowo yang telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Adapun jumlah pemilih tetap Prabowo saat ini, kata Djayadi, berada di kisaran angka 25-30 persen. Mereka adalah orang-orang yang tak puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo yang juga merupakan calon presiden petahana.
"Mereka tidak akan menyeberang (ke Jokowi) karena sudah solid (mendukung Prabowo)," kata Djayadi.
Meski begitu, Djayadi melanjutkan, citra negatif akibat kasus Ratna Sarumpaet ini akan mempersulit usaha Prabowo menggaet dukungan dari kelompok yang belum menentukan pilihannya atau undecided voters.
"Pemilih yang tadinya masih bisa dibujuk, sekarang jadi mikir-mikir lagi. Dan itu menjadi problem karena menurut berbagai survei Prabowo masih ketinggalan," ujarnya.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Viva Yoga Mauladi menyebut Prabowo memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga sempat membela Ratna Sarumpaet. Viva Yoga mengatakan, sensitivitas Prabowo itu tak terlepas dari rekam jejak Ratna selama ini sebagai aktivis.
"Itulah Pak Prabowo, Pak Prabowo punya sensitivitas kemanusiaan. Siapa di republik ini yang tak percaya dengan Ratna Sarumpaet, beliau adalah aktivis perempuan, pejuang HAM," kata Viva Yoga di kantor Saiful Mujani Research and Consulting, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 7 Oktober 2018.
Prabowo Subianto memang sempat membela Ratna Sarumpaet yang mengaku mengalami pemukulan dan penganiayaan saat berada di Bandung, Jawa Barat, pada 21 September lalu. Prabowo bahkan menyatakan simpatinya dengan menggelar konferensi pers di rumahnya pada Selasa, 2 Oktober lalu.
Namun, belakangan terungkap bahwa Ratna tak mengalami pemukulan dan penganiayaan. Ratna pun mengakui ceritanya bohong belaka. Berselang beberapa jam dari pengakuan Ratna, Prabowo kembali menggelar konferensi pers untuk meminta maaf kepada publik lantaran sudah ikut menyiarkan cerita bohong itu.
Kendati sudah minta maaf, Prabowo dan timnya kadung dianggap tak cermat dan termakan hoaks. Di Twitter bahkan sempat populer tanda pagar #KoalisiPrabohong dan . Menurut Viva Yoga, Prabowo bukanlah pembohong, melainkan dibohongi. Dia pun lagi-lagi menegaskan bahwa mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu memiliki sensitivitas kemanusiaan.
"Saya rasa masyarakat sadar, memahami situasi sensitivitas kemanusiaan Pak Prabowo yang reaktif terhadap ketidakadilan dan track record dari Bu Ratna yang seperti itu (aktivis)," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.
Ratna Sarumpaet memang disebut-sebut sebagai aktivis di bidang hak asasi manusia. Ratna, misalnya, pernah terlibat membela aktivis buruh yang dibunuh, Marsinah, melalui naskah monolog "Marsinah Menggugat".
Namun, Ratna juga bukannya tak pernah melakukan tindakan kontroversial. Ratna tercatat pernah menelepon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat mobilnya diderek oleh petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Saat menelepon, Ratna terhubung dengan salah seorang staf Anies. Tak lama kemudian, mobil Ratna dikembalikan tanpa melalui proses tilang.
Tak hanya itu, Ratna juga menghebohkan media massa dengan ceritanya soal dana warisan raja-raja nusantara. Ratna mengaku mendapat laporan dari seseorang bernama Ruben P.S. Marey. Menurut Ratna, Ruben adalah salah satu keturunan raja nusantara yang mewarisi uang senilai Rp 23,9 triliun.
Dana itu disebut akan digunakan untuk pembangunan di Papua. Namun, kata Ratna, duit yang disimpan dan ditransfer dari Bank Dunia ke rekening Ruben itu raib. Dia pun menuding pemerintah memblokir secara sepihak transaksi keuangan itu. Lebih lanjut, Ratna menyebut Ruben hanya satu dari tujuh keturunan raja nusantara yang mewarisi harta ribuan triliun.
Bank Dunia membantah adanya transfer Rp 23,9 triliun ke seorang bernama Ruben P.S. Marey. Dalam keterangan resminya, Bank Dunia menyatakan tak pernah melakukan transaksi keuangan dengan pihak perorangan di Indonesia.
Meski para pendukung Jokowi terus menggunakan isu Ratna Sarumpaet untuk menyerang Prabowo, namun calon wakil presiden Ma'ruf Amin mengatakan tak akan mengambil keuntungan dari kasus hoax Ratna Sarumpaet ini.
"Kita tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Itu tidak boleh. Kita fair saja lah," ujar Ma'ruf Amin saat ditemui di kediamannya, Jalan Situbondo, Jakarta pada Ahad, 7 Oktober 2018.
Sumber: https://fokus.tempo.co/read/1132204/bantuan-asing-untuk-tsunami-palu-jokowi-indonesia-tak-sendirian


Ratna Sarumpaet, "Post-Truth" Politik dan Pilpres 2019

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle
Senin 08 Okt 2018 10:06 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Kebohongan RS adalah dimulainya perang informasi dalam konteks

YouTube trending (7/10/18) menempatkan isu Ratna Sarumpaet (RS) hampir 5 juta "viewer" dalam waktu beberapa hari saja. 1,4 juta pengunjung soal debat paska kebohongan RS di TV One, sebagai trending pertama, dan pengakuan bohong RS, trending kedua dengan viewer 3,4 juta.
Google Trend juga memperlihakan pencarian terhadap nama RS mencapai maksimum pada akhir September sampai saat ini. Pencarian di google (7/10/18) menempatkan Jogya, Banten, Riau, Sulut dan Jambi sebagai 5 asal pencari terbanyak. Pencarian dengan kata Ratna Sarumpaet dan Luhut, misalnya, termasuk topik pencarian yang meningkat.
Saya mengambil tema ini setelah melihat kebohongan Ratna Sarumpaet, eks pendukung Prabowo, menghancurkan image Prabowo dan timnya secara dahsyat (dahsyat nya sempat mampu menghilangkan berita Tsunami Palu di Indonesia, yang meski menempati teratas Google News untuk klasifikasi "world", sampai sore tadi, 7/10/18,  paling atas dengan judul "No siren, no warning: Indonesians caught unawares by devastating tsunami", Reuter, 7 Oct, 2018)
Seorang bertopeng badut dalam sebuah parade
Seorang bertopeng badut dalam sebuah parade
Foto: smithsonianmegazine
Tema "Post-Truth" yang sudah dua tahun ini trend di Amerika dan Inggris, kelihatannya sudah masuk ke Indonesia. Sehingga, sudah perlu kaum intelektual masuk dalam pada tema ini. Selain itu, tema ini perlu memperluas wawasan penyelenggara pemilu sehingga tidak segan-segan menginvestigasi isu RS sebagai bagian isu pilpres, bukan sebagai isu kriminal biasa.
Post-Truth Politics
Oxford Dictionary telah menganugrahi kata "Post-Truth" sebagai "Dictionary Word of the Year 2016". Hal ini terjadi karena peningkatan 2000% penggunaan kata tersebut pada tahun 2016.
Apa arti post-truth itu? post-truth menurut kamus Oxford adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau keadaan di mana fakta2 objektif kurang berpengaruh  dalam membentuk opini publik daripada pertimbangan emosional dan keyakinan personal (an adjective defined as 'relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief).
Secara ilmiah, post-truth politik merujuk pada perdebatan atau kontestasi politik yang dipenuhi dengan unsur "false news" atau "fake news", kebohongan (lie), propaganda palsu, bahkan fitnah untuk mempengaruhi opini publik para pemilih.
Istilah ini marak di tahun 2016, karena dua event besar terjadi di dunia saat itu, yakni voting untuk Brexit di Inggris dan Pilpres di Amerika. Penggunaan "fake news" di Inggris dari kelompok "Leave EU" mempropagandakan informasi bahwa Inggris membayar terlalu mahal (350 juta pound per minggu) ke Uni Eropa. Sebuah info palsu yang terus dipompakan kepada masyarakat Inggris.
Di Amerika, Trump menggunakan "fake news" seperti sertifikat lahir Obama palsu dan Obama/Hillary adalah pendiri ISIS, yang mana informasi ini tidak jelas kebenarannya. Dalam hal yang lebih ringan, Trump menuduh moderator debat presiden, Laster Holt, adalah orang demokrat, sehingga tidak fair. Padahal ternyata Holt bukan demokrat. Namun, Kellyanne, asisten Trump, meyakinkan bahwa Trump tidak berbohong. Menurutnya, jika Trump tidak mengetahui pilihan politik Holt, pandangan Trump itu bukan kebohongan, melainkan "alternative fact".
Hunt Alcott dan Gentzkow, dalam riset "Social Media and Fake News in 2016 Election", 2017, menemukan di Amerika ada sebanyak 31 juta share "fake news" di media sosial yang pro Trump dan 8 juta share bersifat pro Hillary.
Post-Truth politik yang bersandar pada "fake news" dan media sosial pada dasarnya dipercaya kandidat dalam menjaga loyalitas masyarakat yang memang terbelah secara politik. Dalam berbagai riset yang ada, seperti Alcott & Gentzkow di atas, untuk pilpres Amerika, dan riset Oscar Barrera dkk, "Facts, Alternative Facts, and Fact Checking in Times of Post-Truth Politics", 2018, untuk kasus pilpres di Prancis, ditemukan fakta bahwa masyarakat pemilih sudah terjebak dalam pemihakan, di mana informasi yang dibutuhan mereka adalah yang sesuai dengan pandangan politik kandidat yang mereka inginkan.
Sebuah upaya untuk koreksi atas informasi yang salah, misalnya melalui "fact checking", tidak merubah opini dan pilihan para pendukungnya.
Post-Truth politik di Indonesia juga sudah berlangsung dalam. Riset atas hal ini, misalnya, dilakukan Rieke Elvira dan Eriyanto, "Post-Truth and Religious Sentiment that Change the Political Landscape and Its Outcome in 2017 Jakarta Gubernatorial Election", Fisip-UI, 2017 menyimpulkan bahwa strategi post-truth telah dilakukan oposisi terhadap Ahok dengan berbagai "fake news", fitnah, sentimen agama, Hoax dlsb untuk menjatuhkan Ahok.
Sayangnya, riset ini berbeda dengan investigasi media terbesar Eropa "The Guardian" dalam "'I felt disgusted': Inside Indonesia's fake Twitter account factories", Juli 2018, yang mengungkapkan pengakuan tim media sosial Ahok yang berbulan2 memproduksi fitnah, hoax dan berbagai "fake news" dengan bayaran yang mahal.
Ratnaeffect dan Pilpres Smart 2019
SMRC ketika merilis hasil surveinya, 7/10/18, memperkirakan adanya efek kebohongan Ratna sebagai penyebab menurunnya dukungan terhadap Prabowo. Tentu saja itu baru dugaan sumir, sebab survei SMRC saat ini justru dilakukan sebelum kasus RS mencuat. Wakil ketua PBNU yang juga mantan wakil kepala intelijen BIN, dalam sebuah media online, meyakini bahwa urusan RS ini belum jelas effect nya atau belum bisa diukur.
Bagi Prabowo dan jajarannya, kebohongan Ratna ini suatu pukulan besar. Prabowo sudah meminta maaf (sesuatu yang tidak dilakukan Trump di USA). Namun, keuntungan bagi Prabowo, waktu pilpres 2019 masih cukup untuk berbenah. Seperti, menyisir unsur2 timses yang diperkirakan sebagai penyusup; memperbaiki kinerja timses; mendorong peranan Bawaslu untuk lebih mengendalikan otoritas pada kejahatan pilpres, dsb.
Pelajaran berharga dari kebohongan RS adalah dimulainya perang informasi dalam konteks "post-truth" politik, sehingga persiapan kontestasi harus lebih komprehensif dan smart. 
Sumber: https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/10/08/pg9fah385-ratna-sarumpaet-posttruth-politik-dan-pilpres-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar