Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berencana mengeluarkan surat edaran atau mengubah peraturan
setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
uji materi atas sejumlah pasal dalam UU Pemilu.
ANTARA FOTO/RENO ESNIR |
"Ataukah perlu mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), karena 'kan tahapan-tahapan diatur dalam PKPU, kemudian beberapa hal teknis juga diatur dalam PKPU," kata Ketua KPU, Arief Budiman, usai sidang gugatan UU Pemilu di gedung MK, Jakarta (28/03).
Arief menambahkan, putusan MK ini secara khusus terkait dengan penambahan waktu penghitungan suara yang dianggap akan berpengaruh terhadap pihak lain.
Sebelumnya, dalam amar putusannya, MK menambah waktu penghitungan suara yang semula satu hari menjadi satu hari plus 12 jam.
"Tapi juga ada saksi partai, kemudian petugas keamanan. Itu kan energinya terbatas. Jadi, tetap sama-sama, kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin," kata Arief.
Apa tanggapan Bawaslu atas putusan MK?
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan juga mengakui bahwa putusan MK ikut berdampak terhadap pengawas pemilu di lapangan.
"Petugas di bawah itu harus punya energi ekstra. Dia harus siap kalau ada perpanjangan sampai 12 jam. Jadi harus sampai selesai, hari berikutnya sampai jam 12 siang," katanya, Kamis (28/03).
Abhan juga meminta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk segera melakukan perekaman KTP elektronik.
"Harus segera dikeluarkan surat keterangan, supaya hak pilihnya tidak hilang," katanya kepada wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia, Kamis (28/03).
Saat ini, Ditjen Dukcapil mencatat sedikitnya 4,2 juta penduduk Indonesia belum melakukan perekaman KTP Elektronik.
Setelah putusan MK, Ditjen Dukcapil harus segera mengeluarkan surat keterangan. Surat keterangan ini menjadi pengganti KTP elektronik sebagai syarat pencoblosan 17 April mendatang.
'Harus segera mendata dan melakukan rekaman ulang'
Hal senada diungkapkan salah satu pemohon, Titi Anggraeni. Menurutnya, KPU dan Ditjen Dukcapil segera mendata dan melakukan perekaman pemilih yang belum punya KTP elektronik.
"Untuk memastikan pemilih yang belum masuk DPT ini, untuk mendapatkan surat keterangan sebagai prasyarat minimum untuk bisa menggunakan hak pilih," kata Titi kepada wartawan usai pembacaan putusan MK, Kamis (28/03).
Sementara, juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar mengatakan keterangan ini akan berbentuk dalam surat keterangan (Suket) KTP.
Menurutnya, hal ini sebenarnya sudah berlaku saat penyelenggaran pilkada serentak.
"Jadi ini mereka yang sudah terekam, sudah punya NIK, tetapi KTP fisiknya belum ada," kata Bahtiar saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (28/03).
Bahtiar menambahkan, saat ini pihaknya menunggu keputusan dari KPU untuk melakukan perekaman dan memasukkan pemilih ke dalam DPT.
Seperti apa putusan MK atas uji materi UU Pemilu?
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan dalam UU Pemilu. MK memutuskan KTP elektronik tidak menjadi satu-satunya syarat untuk melakukan pemungutan suara. Alternatifnya diganti dengan surat keterangan Dukcapil.
"Tidak ada identitas lainnya yang setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat dan proporsional," kata Palguna saat membacakan pertimbangan MK.
Selain itu, MK memutuskan pemilih dalam kondisi sakit, terkena bencana, masuk penjara atau dinas luar kota untuk masuk dalam DPT tambahan paling lambat 7 hari sebelum pemungutan suara berlangsung.
Sebelumnya, dalam UU Pemilu, DPT tambahan dibatasi sampai 30 hari sebelum pemungutan suara.
MK juga menambah waktu penghitungan suara 1 hari plus 12 jam setelah pemungutan suara berlangsung. MK juga menegaskan agar KPU bisa membuat TPS khusus di lokasi-lokasi yang terkonsentrasi dengan pemilih, seperti di dalam penjara.
Keputusan itu diambil dalam pembacaan putusan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (28/03) sekitar pukul 13.30 WIB di Gedung MK, Jakarta.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK I Gede Palguna mengatakan hak pilih tidak bisa dibatasi oleh syarat tertentu, seperti dilaporkan wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia.
Akan tetapi, menurut majelis hakim, KTP elektronik merupakan identitas resmi penduduk yang wajib dibawa ke mana-mana dan dapat dipertanggungjawabkan pemiliknya.
"Tidak ada identitas lainnya yang setara dengan KTP elektronik. Sangat kecil peluang menyalahgunakan. Sudah tepat dan proporsional," kata Palguna saat membacakan pertimbangan MK.
Namun, untuk menekan jumlah angka golput karena tidak memilik KTP Elektronik, MK mengatakan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil perlu mengeluarkan pengganti KTP elektronik sebagai syarat pemilih untuk memungut suara.
"Untuk mempercepat prosesnya agar dapat direalisasikan," tambah Aswant, hakim agung lainnya.
Apa saja kewajiban KPU yang harus dilaksanakan?
Tidak semua pasal yang digugat dikabulkan oleh MK, namun demikian sejumlah pasal lainnya yang digugat diluluskan oleh MK.
Dalam amarnya, MK memutuskan memutuskan batas waktu penentuan Daftar Pemilih Tetap tambahan (DPTb) dari semula 30 hari menjadi 7 hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2019.
DPTb ini untuk pemilih dengan keadaan tertentu seperti sakit, terkena musibah bencana alam, masuk penjara dan menjalankan tugas pada saat pemungutan suara.
"Untuk menjamin ketersediaan politik. waktu paling lambat 7 hari itu waktu yang rasional," kata Hakim MK yang lain, Aswanto.
Dalam uji materi lainnya, MK juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyediakan TPS khusus bagi pemilih yang terkonsentrasi di suatu lokasi.
Selain itu, MK juga menambah waktu penghitungan suara. Semula pemungutan suara itu harus selesai dalam 1 hari, menjadi ditambah 12 jam dari hari pemungutan suara.
"Dalam hal penghitungan suara dapat diperpanjang 12 jam sejak pemungutan suara," kata Ketua MK, Saldi Isra dalam sidang yang sama.
Mengapa UU Pemilu 'digugat'?
Sebelumnya, para advokat menguji sejumlah pasal dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Para pemohon di antaranya Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini lalu Pemerhati Pemilu, Hadar Nafis Gumay bersama Indrayana Centre for Gobernment, Constitution, and Society (INTEGRITY).
Pasal-pasal yang diuji adalah tentang syarat KTP Elektronik yang menyebabkan hilangnya hak memilih (Pasal 348 ayat 9), tentang pemilih pindah TPS yang dapat kehilangan hak pilih pemilu legislatif (Pasal 348 ayat 4).
Pasal lainnya yang digugat adalah tentang pendaftaran DPT tambahan paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara (Pasal 210 ayat 1, dan tentang pembentukan TPS khusus berbasis pemilih DPT tambahan. Terakhir tentang penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara (Pasal 350 ayat 2).
Pasal-pasal yang digugat ke MK ini dinilai akan menghambat, dan menghalangi jutaan warga negara dalam melaksanakan hak pilihnya. Hal itu telah merugikan hak konstitusional warga negara.
Apa saja yang dimasalahkan?
1. Pemilih di lapas kehilangan suaranya, karena pembentukan TPS dilakukan berbasis dengan DPT. Ketidaktersediaan TPS di lapas mengharuskan para narapidana pergi mencoblos di TPS di sekitar luar lapas. Hal ini tidak mungkin dilakukan.
2. Warga negara yang sedang liburan di luar daerah tak boleh melakukan pemungutan suara dari daerah liburannya. Sebab, UU Pemilu membatasi jumlah DPT di tiap TPS dengan menetapkannya 30 hari sebelum pemungutan suara.
3. Para perantau hanya bisa mencoblos untuk pemilu presiden. Mereka tak bisa melakukan pemungutan suara untuk DPD, DPR, DPRD baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
4. Penghitungan suara harus selesai di hari pemungutan suara akan menjadi persoalan dalam keabsahan penghitungan suara.
Kementerian Dalam Negeri mencatat 4,2 juta pemilih belum merekam KTP Elektronik.
Para pemohon menginginkan KTP Elektronik tidak dijadikan satu-satunya alat untuk melakukan pemungutan suara dengan memberikan opsi lain yaitu surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau kartu yang diterbitkan KPU.
Namun, pemerintah melalui pernyataan sejumlah pejabat terkait memperingatkan akan adanya 2,8 juta pemilih yang memiliki identitas non KTP elektronik ganda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar