31 Januari 1942
Sejarah Pertempuran Malaya: Akhiri Penjajahan Belanda di Indonesia
Oleh: Iswara N Raditya - 31 Januari 2019
Dibaca Normal 3 menit
Kekalahan Sekutu di Malaya pada awal 1942 menjadi pintu masuk bagi Jepang ke Indonesia.
Ilustrasi Pertempuran Malaya. tirto.id/Deadnauval |
tirto.id - Siapa bilang orang-orang Malaysia dan Singapura sama sekali tidak pernah berperang untuk mempertahankan tanah air mereka dari serbuan bangsa asing? Sejarah mencatat, mereka sempat melakukannya pada awal 1942 meski sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Saat Jepang tiba, sebagian rakyat Indonesia justru menyambut gembira. Dai Nippon memperkenalkan diri sebagai saudara tua sebagai sesama bangsa Asia. Rakyat Indonesia pun berharap Jepang menjadi juru selamat yang akan mengusir Belanda.
Sebaliknya, bagi orang-orang negeri tetangga, kehadiran Jepang berarti petaka. Mereka pun mengangkat senjata. Pertempuran Malaya pecah—perang yang akhirnya memungkasi kekuasaan Belanda di Indonesia dan menghadirkan penjajahan baru oleh Jepang.
Misi Jepang tentu saja untuk merebut wilayah-wilayah jajahan Sekutu, terutama Britania Raya atau Inggris yang menguasai Malaysia dan Singapura. Dai Nippon juga mengincar Indonesia yang sudah sekian lama diduduki Belanda, negara yang berpihak kepada Sekutu.
Jepang memang tak main-main dalam menghadapi Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Lebih dari 500 unit pesawat tempur, ditambah tidak kurang dari 200 unit tank dan peralatan perang mutakhir lainnya, serta puluhan ribu serdadu, dipersiapkan untuk mewujudkan ambisi menguasai Asia. Jepang menyasar pula negeri-negeri di timur jauh alias Asia Tenggara.
Di sisi lain, Inggris, ikon Sekutu di Asia Tenggara, rupanya menganggap enteng ancaman Jepang. Laporan dari Malaya terkait pergerakan Jepang yang mulai menancapkan pengaruh di kawasan Indocina tidak direspons dengan cepat oleh London.
Dikisahkan David McIntyre dalam The Rise and Fall of the Singapore Naval Base 1919-1942 (1979), pada 1937 dilaporkan bahwa Jepang sudah membangun pangkalan militer di Siam (Thailand). Namun, permintaan bantuan senjata, tentara, dan dana untuk perang untuk Malaka malah diabaikan (hlm. 135).
Pada 1940, pergerakan Jepang kian kentara. Letnan Jenderal Lionel Bond, komandan pasukan Inggris di Malaya, mendesak bantuan Sekutu. Paling tidak, menurut Bond, pihaknya membutuhkan 300-500 unit pesawat tempur untuk menghadapi Jepang yang berkekuatan tak kalah besar. Tapi, lagi-lagi permintaan ini tidak pernah terpenuhi.
Akibatnya fatal bagi Inggris. Pertengahan Desember 1941, tentara Jepang mulai memasuki area kekuasaan Inggris di Malaya. Mereka mendarat di pantai barat dekat Sarawak.
Mau tidak mau, pemerintahan Inggris di Malaya untuk sementara harus berusaha sendiri untuk mempertahankan diri. Bantuan dari Sekutu akan datang jika situasi memang sudah benar-benar gawat, dan itu tidak bisa diandalkan mengingat tekanan Jepang semakin kuat.
Di sisi lain, Jepang memang sudah bersiap bergerak setelah berhasil menaklukkan Thailand, Birma (Myanmar), hingga Filipina. Sebelum menyerang, Jepang menyusupkan intelijennya ke Malaya. Menurut Joyce C. Lebra dalm Japanese Trained Armies in South-East Asia (1971), intel Jepang yang disebarkan ini terutama untuk berhubungan dengan kelompok lokal yang menghendaki kemerdekaan dari Inggris (hlm. 23).
Serangan pertama Dai Nippon terhadap Malaya dimulai pada 8 Desember 1941. Di bawah komando Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita, Jepang menghancurkan pangkalan militer Inggris dan Australia di pantai utara dan timur Malaya (Kelantan) melalui laut.
Selain itu, sebagaimana dipaparkan Joseph Kennedy dalam British Civilians and the Japanese War in Malaya and Singapore 1941-1945 (1987), Jepang juga menggerakkan pasukan infanteri ke pantai barat Malaya yang masuk melalui perbatasan Thailand. Ribuan serdadu Jepang dengan mudah memenangkan pertempuran karena dilindungi puluhan pesawat tempur dari udara (hlm. 7).
Sekutu sebenarnya telah mengirimkan bala bantuan, namun terlambat dan berhasil dihancurkan Jepang. Di Malaya sendiri, pasukan Sekutu yang merupakan gabungan pasukan Inggris, Australia, Melayu, dan serdadu kiriman dari India, semakin kewalahan menghadapi gempuran-gempuran masif yang terus-menerus dilancarkan Dai Nippon.
Memang ada kalangan yang menginginkan merdeka dari Inggris, namun tidak sedikit pula warga lokal yang turut melawan Jepang. Pemerintah Inggris di Malaya punya kesatuan militer yang berisikan orang-orang pribumi, yakni Resimen Melayu, yang dibentuk sejak 1933.
Lionel Wigmore dalam The Japanese Thrust (1957) menyebutkan, Jepang memang kehilangan 600 orang serta 9 unit tank dalam perang ini. Namun, serangan balasan membuat pihak Sekutu dan Malaya menderita kerugian yang lebih besar: tidak kurang dari 3.000 orang menjadi korban, baik tewas maupun luka-luka.
Sepanjang awal 1942, menurut J. Tomaru dalam The Postwar Rapprochement of Malaya and Japan 1945-61: The Roles of Britain and Japan in South-East Asia (2000), agresi militer Jepang di Malaya kian gencar dan nyaris tak pernah berhenti. Kuala Lumpur pun jatuh ke tangan Dai Nippon pada 31 Januari 1942 (hlm. 35).
Setelah Kuala Lumpur yang menjadi pusat ekonomi Malaya beralih tangan, pasukan Sekutu masih berupaya melawan meskipun semakin terdesak. Frank Morgan dalam Reflections of Twelve Decades (2012: 142) menuliskan, pasukan Sekutu akhirnya mundur ke Singapura pada 31 Januari 1942, tepat hari ini 77 tahun lalu.
Berlindung di Singapura justru menjadi akhir perlawanan pasukan gabungan Sekutu. Hanya butuh waktu setengah sebulan bagi Jepang untuk mengambil alih negeri singa. Pada 15 Februari 1942, Dai Nippon menduduki Singapura. Pada periode yang sama, tentara Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia dari perbatasan Malaysia di Borneo.
Hingga akhirnya, 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dalam perundingan di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat. Inilah akhir penjajahan Belanda sekaligus mengawali era pendudukan Jepang di Indonesia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Januari 2018 dengan judul "Pertempuran Malaya Mengakhiri Penjajahan Belanda di Indonesia". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Saat Jepang tiba, sebagian rakyat Indonesia justru menyambut gembira. Dai Nippon memperkenalkan diri sebagai saudara tua sebagai sesama bangsa Asia. Rakyat Indonesia pun berharap Jepang menjadi juru selamat yang akan mengusir Belanda.
Sebaliknya, bagi orang-orang negeri tetangga, kehadiran Jepang berarti petaka. Mereka pun mengangkat senjata. Pertempuran Malaya pecah—perang yang akhirnya memungkasi kekuasaan Belanda di Indonesia dan menghadirkan penjajahan baru oleh Jepang.
Jepang Mengincar Asia Tenggara
Minggu pagi 7 Desember 1941, Jepang menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Hanya sehari berselang, pasukan Dai Nippon sudah mencapai Asia Tenggara. Pertama di Thailand, lalu menuju Semenanjung Malaya.Misi Jepang tentu saja untuk merebut wilayah-wilayah jajahan Sekutu, terutama Britania Raya atau Inggris yang menguasai Malaysia dan Singapura. Dai Nippon juga mengincar Indonesia yang sudah sekian lama diduduki Belanda, negara yang berpihak kepada Sekutu.
Jepang memang tak main-main dalam menghadapi Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Lebih dari 500 unit pesawat tempur, ditambah tidak kurang dari 200 unit tank dan peralatan perang mutakhir lainnya, serta puluhan ribu serdadu, dipersiapkan untuk mewujudkan ambisi menguasai Asia. Jepang menyasar pula negeri-negeri di timur jauh alias Asia Tenggara.
Di sisi lain, Inggris, ikon Sekutu di Asia Tenggara, rupanya menganggap enteng ancaman Jepang. Laporan dari Malaya terkait pergerakan Jepang yang mulai menancapkan pengaruh di kawasan Indocina tidak direspons dengan cepat oleh London.
Dikisahkan David McIntyre dalam The Rise and Fall of the Singapore Naval Base 1919-1942 (1979), pada 1937 dilaporkan bahwa Jepang sudah membangun pangkalan militer di Siam (Thailand). Namun, permintaan bantuan senjata, tentara, dan dana untuk perang untuk Malaka malah diabaikan (hlm. 135).
Pada 1940, pergerakan Jepang kian kentara. Letnan Jenderal Lionel Bond, komandan pasukan Inggris di Malaya, mendesak bantuan Sekutu. Paling tidak, menurut Bond, pihaknya membutuhkan 300-500 unit pesawat tempur untuk menghadapi Jepang yang berkekuatan tak kalah besar. Tapi, lagi-lagi permintaan ini tidak pernah terpenuhi.
Akibatnya fatal bagi Inggris. Pertengahan Desember 1941, tentara Jepang mulai memasuki area kekuasaan Inggris di Malaya. Mereka mendarat di pantai barat dekat Sarawak.
Kedigdayaan Jepang di Malaya
Britania Raya dan Amerika Serikat yang merupakan kekuatan utama Sekutu tidak pernah memprioritaskan Asia Tenggara. Mereka sudah cukup kewalahan menghadapi Jerman dan Italia di Eropa sehingga permintaan dari Malaya tidak segera ditindaklanjuti secara serius.Mau tidak mau, pemerintahan Inggris di Malaya untuk sementara harus berusaha sendiri untuk mempertahankan diri. Bantuan dari Sekutu akan datang jika situasi memang sudah benar-benar gawat, dan itu tidak bisa diandalkan mengingat tekanan Jepang semakin kuat.
Di sisi lain, Jepang memang sudah bersiap bergerak setelah berhasil menaklukkan Thailand, Birma (Myanmar), hingga Filipina. Sebelum menyerang, Jepang menyusupkan intelijennya ke Malaya. Menurut Joyce C. Lebra dalm Japanese Trained Armies in South-East Asia (1971), intel Jepang yang disebarkan ini terutama untuk berhubungan dengan kelompok lokal yang menghendaki kemerdekaan dari Inggris (hlm. 23).
Serangan pertama Dai Nippon terhadap Malaya dimulai pada 8 Desember 1941. Di bawah komando Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita, Jepang menghancurkan pangkalan militer Inggris dan Australia di pantai utara dan timur Malaya (Kelantan) melalui laut.
Selain itu, sebagaimana dipaparkan Joseph Kennedy dalam British Civilians and the Japanese War in Malaya and Singapore 1941-1945 (1987), Jepang juga menggerakkan pasukan infanteri ke pantai barat Malaya yang masuk melalui perbatasan Thailand. Ribuan serdadu Jepang dengan mudah memenangkan pertempuran karena dilindungi puluhan pesawat tempur dari udara (hlm. 7).
Sekutu sebenarnya telah mengirimkan bala bantuan, namun terlambat dan berhasil dihancurkan Jepang. Di Malaya sendiri, pasukan Sekutu yang merupakan gabungan pasukan Inggris, Australia, Melayu, dan serdadu kiriman dari India, semakin kewalahan menghadapi gempuran-gempuran masif yang terus-menerus dilancarkan Dai Nippon.
Memang ada kalangan yang menginginkan merdeka dari Inggris, namun tidak sedikit pula warga lokal yang turut melawan Jepang. Pemerintah Inggris di Malaya punya kesatuan militer yang berisikan orang-orang pribumi, yakni Resimen Melayu, yang dibentuk sejak 1933.
Jepang Menang, Belanda Hengkang
Pada 10 Desember 1941, dua kapal perang Inggris ditenggelamkan pesawat-pesawat tempur Jepang. Empat hari berselang, pasukan Jepang sudah mencapai Johor dan terlibat pertempuran sengit melawan tentara Sekutu.Lionel Wigmore dalam The Japanese Thrust (1957) menyebutkan, Jepang memang kehilangan 600 orang serta 9 unit tank dalam perang ini. Namun, serangan balasan membuat pihak Sekutu dan Malaya menderita kerugian yang lebih besar: tidak kurang dari 3.000 orang menjadi korban, baik tewas maupun luka-luka.
Sepanjang awal 1942, menurut J. Tomaru dalam The Postwar Rapprochement of Malaya and Japan 1945-61: The Roles of Britain and Japan in South-East Asia (2000), agresi militer Jepang di Malaya kian gencar dan nyaris tak pernah berhenti. Kuala Lumpur pun jatuh ke tangan Dai Nippon pada 31 Januari 1942 (hlm. 35).
Setelah Kuala Lumpur yang menjadi pusat ekonomi Malaya beralih tangan, pasukan Sekutu masih berupaya melawan meskipun semakin terdesak. Frank Morgan dalam Reflections of Twelve Decades (2012: 142) menuliskan, pasukan Sekutu akhirnya mundur ke Singapura pada 31 Januari 1942, tepat hari ini 77 tahun lalu.
Berlindung di Singapura justru menjadi akhir perlawanan pasukan gabungan Sekutu. Hanya butuh waktu setengah sebulan bagi Jepang untuk mengambil alih negeri singa. Pada 15 Februari 1942, Dai Nippon menduduki Singapura. Pada periode yang sama, tentara Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia dari perbatasan Malaysia di Borneo.
Hingga akhirnya, 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dalam perundingan di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat. Inilah akhir penjajahan Belanda sekaligus mengawali era pendudukan Jepang di Indonesia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Januari 2018 dengan judul "Pertempuran Malaya Mengakhiri Penjajahan Belanda di Indonesia". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
(tirto.id - Humaniora)
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
sumber: https://tirto.id/sejarah-pertempuran-malaya-akhiri-penjajahan-belanda-di-indonesia-cD4v
Wilayah Singapura pernah dikuasai Sriwijaya dan Majapahit.
Pengibaran bendera menggunakan helikopter dilakukan saat peringatan hari kemerdekaan Singapura. Getty Images/iStock Editorial |
tirto.id - Tempat di mana negara Singapura berdiri awalnya dikenal dengan nama Pu-Lo-Chung. Fa-Hsien, seorang pengembara dari Cina, pernah menyambangi kawasan ini pada awal abad ke-3 (Graham Saunders, A History of Brunei, 2013:14). Istilah Pu-Lo-Chung nantinya kerap disamakan dengan Pulau Ujung karena Singapura terletak di ujung selatan Semenanjung Malaya.
Pada abad ke-11, berdiri suatu pemerintahan di Pu-Lo-Chung. Sulalatus Salatin menyebut bahwa kerajaan itu didirikan oleh Sang Nila Utama pada 1299 di daerah yang bernama Tumasik (Jean E. Abshire, The History of Singapore, 2011:19). Sang Nila Utama diyakini adalah seorang pangeran dari Kerajaan Sriwijaya.
Tumasik jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit pada masa raja kedua, yakni Sri Prikama Wira yang berkuasa pada 1357 hingga 1362 (John N. Miksic, Archaeological Research on the Forbidden Hill of Singapore, 1985). Nama Tumasik juga disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai wilayah taklukan Majapahit pada era Raja Hayam Wuruk atas Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada.
Baca Juga:
Wilayah Tumasik sempat terlepas dari kendali Majapahit yang kala itu sedang mengalami polemik internal. Situasi ini dimanfaatkan betul oleh Kerajaan Ayutthaya dari Siam (Thailand) yang kemudian menjadi pemilik baru Tumasik. Namun, Majapahit berhasil merebutnya kembali pada sekitar tahun 1390 (Nicholas Tarling, ed., The Cambridge History of Southeast Asia, 1999:175).
Pecahnya perang saudara (Perang Paregreg) pada 1405 melemahkan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk. Di tahun yang sama, muncul kekuatan baru di Semenanjung Malaya dengan berdirinya Kesultanan Malaka yang lantas mengambil-alih wilayah Tumasik (Didier Millet, ed., Singapore at Random, 2011:120). Majapahit yang sedang menuju keruntuhan tidak mampu berbuat apa-apa.
Pada 1551, kekuasaan Kesultanan Malaka runtuh akibat serangan Portugis. Sebelum itu, sudah berdiri sebuah kesultanan baru di Johor oleh pangeran Malaka bernama Alauddin Syah. Sebagai pewaris Malaka, Kesultanan Johor mengklaim kepemilikan atas Tumasik (Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, 2008).
Namun, Kesultanan Johor harus berhadapan dengan Portugis dan terlibat polemik dalam waktu yang cukup lama. Puncaknya adalah ketika orang-orang Portugis membakar permukiman penduduk yang berada di tepi sungai utama di Tumasik. Peristiwa yang terjadi pada 1613 ini membuat Tumasik luluh-lantak dan mulai diabaikan.
Hingga akhirnya, datanglah orang-orang dari East Indian Company (EIC) dari Britania (Inggris) yang dipimpin Thomas Stamford Raffles pada 28 Januari 1819 (Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space in Colonial Singapore, 2003). EIC sedang mencari tempat strategis di Selat Malaka untuk menandingi dominasi Belanda yang telah menguasai negeri seberang.
Ketika Raffles tiba, wilayah bekas Tumasik hanya dihuni oleh satu keluarga temenggung dari Johor, bersama 150 nelayan yang terdiri dari 120 orang Melayu dan 30 orang Cina (W. Bartley, Population in Singapore in 1819, 1933:177). Raffles membayar temenggung ini dengan sejumlah uang agar diizinkan membangun pos dagang di Tumasik dan mendapatkan hak monopoli.
Tak hanya itu, sebagai upaya untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman Belanda, Raffles menjalin perjanjian dengan pewaris Kesultanan Johor dan membantunya merebut tahta. Pada 9 November 1824, kesepakatan antara EIC dan Johor diperbaharui dan sejak saat itu, Tumasik resmi menjadi milik Inggris (Pursell, 1997:76).
Sebagai imbalan, diberikan uang tunjangan tiap tahun dalam jumlah yang cukup besar kepada penguasa baru Johor itu. EIC atas nama Kerajaan Britania juga mengangkatnya sebagai pemimpin boneka di wilayah yang kemudian beralih-rupa menjadi Singapura tersebut.
Baca Juga:
Di tahun 1824 itu pula, Inggris menggelar perundingan dengan Belanda (Perjanjian London). Disepakati bahwa Kepulauan Melayu dibagi dua antara keduanya: kawasan utara termasuk Pulau Pinang, Melaka, dan Singapura di bawah pengaruh Inggris, sementara Belanda menguasai kawasan selatan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:315).
Bekas wilayah Tumasik atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Singapura berkembang pesat dan menjadi kota modern di bawah pengelolaan EIC yang bertanggungjawab kepada Kerajaan Britania Raya. Peran Singapura sebagai kawasan strategis Inggris untuk zona Asia Tenggara pun semakin besar.
Pada 1926, Singapura termasuk dalam wilayah administratif bernama Straits Settlements atau Negeri-Negeri Selat bersama Penang dan Melaka (John Funston, Government & Politics in Southeast Asia, 2001:291). Ketiga negeri ini termasuk wilayah jajahan Britania.
Penguasaan Inggris atas Singapura baru berakhir pada 1942, seiring kemenangan Jepang pada 15 Februari 1942. Wilayah Singapura pun diserahkan kepada Dai Nippon yang segera mengubah namanya menjadi Shonanto. Namun, Jepang hanya sebentar menguasai Singapura. Tanggal 12 September 1945, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris lantaran Jepang yang gantian kalah dalam rangkaian Perang Dunia Kedua itu.
Tahun 1955, diadakan pemilihan umum pertama di Singapura atas izin pemerintah Britania Raya yang dimenangkan oleh tokoh pro-kemerdekaan, David Saul Marshall. Marshall kemudian meminta kemerdekaan secara penuh dari Britania dengan menghadap langsung ke London, namun permintaan itu ditolak (Kevin Tan, Marshall of Singapore: A Biography, 2008).
Kegagalan tersebut membuat David Saul Marshall terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Lim Yew Hock. Kerajaan Britania akhirnya memberikan otonomi atau hak pemerintahan internal kepada Singapura dengan dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Pemerintahan otonomi di Singapura tidak berjalan optimal karena Britania terkesan mengabaikan negara taklukannya itu. Hingga akhirnya, Singapura memutuskan lepas dari Inggris dan bergabung dengan Federasi Malaysia sejak 31 Agustus 1963.
Belum setahun bergabung dengan Federasi Malaysia, kerusuhan antar etnis sering melanda Singapura. Parlemen Malaysia pun bersidang untuk memutuskan masa depan negeri yang terletak di sisi barat laut Borneo itu: dipertahankan atau disingkirkan.
Baca Juga:
Hasil sidang menetapkan seluruh anggota dewan sepakat untuk mendepak Singapura. Tidak ada pilihan bagi negeri singa selain memulai hidup mandiri. Tanggal 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan merupakan satu-satunya negara yang merdeka bukan atas keinginan sendiri.
Kini, si anak terbuang bernama Singapura itu justru tampil sebagai salah satu negara paling makmur di dunia. Ia melebihi saudara-saudara tuanya di kawasan Asia Tenggara yang beberapa di antaranya memiliki wilayah jauh yang lebih besar tapi seolah tanpa daya dalam bidang ekonomi maupun politik.
Pada abad ke-11, berdiri suatu pemerintahan di Pu-Lo-Chung. Sulalatus Salatin menyebut bahwa kerajaan itu didirikan oleh Sang Nila Utama pada 1299 di daerah yang bernama Tumasik (Jean E. Abshire, The History of Singapore, 2011:19). Sang Nila Utama diyakini adalah seorang pangeran dari Kerajaan Sriwijaya.
Bergantian Menjamah Tumasik
Kala itu, Tumasik termasuk wilayah taklukan Sriwijaya yang pernah berpusat di Palembang. Tapi, serangan dari Kerajaan Chola (India), membuat Sriwijaya tercerai-berai. Nah, Pangeran Sang Nila Utama melarikan diri ke Tumasik dan menjadi raja kecil di sana dengan gelar Sri Tri Buana.Tumasik jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit pada masa raja kedua, yakni Sri Prikama Wira yang berkuasa pada 1357 hingga 1362 (John N. Miksic, Archaeological Research on the Forbidden Hill of Singapore, 1985). Nama Tumasik juga disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai wilayah taklukan Majapahit pada era Raja Hayam Wuruk atas Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada.
Baca Juga:
Wilayah Tumasik sempat terlepas dari kendali Majapahit yang kala itu sedang mengalami polemik internal. Situasi ini dimanfaatkan betul oleh Kerajaan Ayutthaya dari Siam (Thailand) yang kemudian menjadi pemilik baru Tumasik. Namun, Majapahit berhasil merebutnya kembali pada sekitar tahun 1390 (Nicholas Tarling, ed., The Cambridge History of Southeast Asia, 1999:175).
Pecahnya perang saudara (Perang Paregreg) pada 1405 melemahkan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk. Di tahun yang sama, muncul kekuatan baru di Semenanjung Malaya dengan berdirinya Kesultanan Malaka yang lantas mengambil-alih wilayah Tumasik (Didier Millet, ed., Singapore at Random, 2011:120). Majapahit yang sedang menuju keruntuhan tidak mampu berbuat apa-apa.
Pada 1551, kekuasaan Kesultanan Malaka runtuh akibat serangan Portugis. Sebelum itu, sudah berdiri sebuah kesultanan baru di Johor oleh pangeran Malaka bernama Alauddin Syah. Sebagai pewaris Malaka, Kesultanan Johor mengklaim kepemilikan atas Tumasik (Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, 2008).
Namun, Kesultanan Johor harus berhadapan dengan Portugis dan terlibat polemik dalam waktu yang cukup lama. Puncaknya adalah ketika orang-orang Portugis membakar permukiman penduduk yang berada di tepi sungai utama di Tumasik. Peristiwa yang terjadi pada 1613 ini membuat Tumasik luluh-lantak dan mulai diabaikan.
Lama di Bawah Pengaruh Inggris
Tumasik yang dulunya kerap menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar sudah tidak menarik lagi setelah insiden pembakaran oleh Portugis pada 1613. Tempat ini berubah menjadi sarang penyamun dan sering terjadi perkelahian antar perompak yang berebut harta rampasan (Victor Pursell, Orang-orang Cina di Tanah Melayu, 1997:76). Nama Tumasik pun berangsur-angsur dilupakan.Hingga akhirnya, datanglah orang-orang dari East Indian Company (EIC) dari Britania (Inggris) yang dipimpin Thomas Stamford Raffles pada 28 Januari 1819 (Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space in Colonial Singapore, 2003). EIC sedang mencari tempat strategis di Selat Malaka untuk menandingi dominasi Belanda yang telah menguasai negeri seberang.
Ketika Raffles tiba, wilayah bekas Tumasik hanya dihuni oleh satu keluarga temenggung dari Johor, bersama 150 nelayan yang terdiri dari 120 orang Melayu dan 30 orang Cina (W. Bartley, Population in Singapore in 1819, 1933:177). Raffles membayar temenggung ini dengan sejumlah uang agar diizinkan membangun pos dagang di Tumasik dan mendapatkan hak monopoli.
Tak hanya itu, sebagai upaya untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman Belanda, Raffles menjalin perjanjian dengan pewaris Kesultanan Johor dan membantunya merebut tahta. Pada 9 November 1824, kesepakatan antara EIC dan Johor diperbaharui dan sejak saat itu, Tumasik resmi menjadi milik Inggris (Pursell, 1997:76).
Sebagai imbalan, diberikan uang tunjangan tiap tahun dalam jumlah yang cukup besar kepada penguasa baru Johor itu. EIC atas nama Kerajaan Britania juga mengangkatnya sebagai pemimpin boneka di wilayah yang kemudian beralih-rupa menjadi Singapura tersebut.
Baca Juga:
Di tahun 1824 itu pula, Inggris menggelar perundingan dengan Belanda (Perjanjian London). Disepakati bahwa Kepulauan Melayu dibagi dua antara keduanya: kawasan utara termasuk Pulau Pinang, Melaka, dan Singapura di bawah pengaruh Inggris, sementara Belanda menguasai kawasan selatan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:315).
Bekas wilayah Tumasik atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Singapura berkembang pesat dan menjadi kota modern di bawah pengelolaan EIC yang bertanggungjawab kepada Kerajaan Britania Raya. Peran Singapura sebagai kawasan strategis Inggris untuk zona Asia Tenggara pun semakin besar.
Pada 1926, Singapura termasuk dalam wilayah administratif bernama Straits Settlements atau Negeri-Negeri Selat bersama Penang dan Melaka (John Funston, Government & Politics in Southeast Asia, 2001:291). Ketiga negeri ini termasuk wilayah jajahan Britania.
Penguasaan Inggris atas Singapura baru berakhir pada 1942, seiring kemenangan Jepang pada 15 Februari 1942. Wilayah Singapura pun diserahkan kepada Dai Nippon yang segera mengubah namanya menjadi Shonanto. Namun, Jepang hanya sebentar menguasai Singapura. Tanggal 12 September 1945, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris lantaran Jepang yang gantian kalah dalam rangkaian Perang Dunia Kedua itu.
Tahun 1955, diadakan pemilihan umum pertama di Singapura atas izin pemerintah Britania Raya yang dimenangkan oleh tokoh pro-kemerdekaan, David Saul Marshall. Marshall kemudian meminta kemerdekaan secara penuh dari Britania dengan menghadap langsung ke London, namun permintaan itu ditolak (Kevin Tan, Marshall of Singapore: A Biography, 2008).
Kegagalan tersebut membuat David Saul Marshall terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Lim Yew Hock. Kerajaan Britania akhirnya memberikan otonomi atau hak pemerintahan internal kepada Singapura dengan dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Pemerintahan otonomi di Singapura tidak berjalan optimal karena Britania terkesan mengabaikan negara taklukannya itu. Hingga akhirnya, Singapura memutuskan lepas dari Inggris dan bergabung dengan Federasi Malaysia sejak 31 Agustus 1963.
Belum setahun bergabung dengan Federasi Malaysia, kerusuhan antar etnis sering melanda Singapura. Parlemen Malaysia pun bersidang untuk memutuskan masa depan negeri yang terletak di sisi barat laut Borneo itu: dipertahankan atau disingkirkan.
Baca Juga:
- Puerto Rico Enggan Merdeka Demi Pengakuan Amerika.
- Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku.
Hasil sidang menetapkan seluruh anggota dewan sepakat untuk mendepak Singapura. Tidak ada pilihan bagi negeri singa selain memulai hidup mandiri. Tanggal 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan merupakan satu-satunya negara yang merdeka bukan atas keinginan sendiri.
Kini, si anak terbuang bernama Singapura itu justru tampil sebagai salah satu negara paling makmur di dunia. Ia melebihi saudara-saudara tuanya di kawasan Asia Tenggara yang beberapa di antaranya memiliki wilayah jauh yang lebih besar tapi seolah tanpa daya dalam bidang ekonomi maupun politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar