Selasa, 01 Januari 2019

Lemahnya Sistem Peringatan Dini Gempa


Foto aerial kerusakan akibat Tsunami di kawasan Carita, Banten, Jawa Barat, Senin, 24 Desember 2018. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Foto aerial kerusakan akibat Tsunami di kawasan Carita, Banten, Jawa Barat, Senin, 24 Desember 2018. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Lemahnya Sistem Peringatan Dini



Jatuhnya korban jiwa akibat tsunami di Selat Sunda bisa dihindari andai kata kita memiliki sistem peringatan dini yang andal. Paling tidak, jumlah korban jiwa tak sebanyak sekarang. Sampai kemarin, sedikitnya 429 orang tewas, 164 dinyatakan hilang, dan 1.485 luka-luka.
Pemerintah semestinya menyadari bahwa sistem peringatan dini tsunami di negara ini jauh dari memadai. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak mengeluarkan peringatan dini tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau itu. Penyebabnya adalah keterbatasan alat deteksi. BMKG hanya mampu memberikan peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik. Prediksi tsunami itu pun mengacu pada sistem pemodelan dengan menggunakan data magnitudo gempa dan lokasinya.
Sistem peringatan dini yang lebih andal seharusnya menggunakan alat deteksi gelombang (buoy). Peranti ini bisa mengukur kenaikan gelombang di tengah laut secara akurat, termasuk tsunami yang disebabkan oleh gempa vulkanis. Kita pernah memasang alat ini di Selat Sunda, tapi sudah lama hilang. Kelemahan lain, kita juga belum punya pendeteksi longsor tanah di bawah laut. Bahkan pengukur seismik yang dipasang di Gunung Anak Krakatau pun tak berfungsi karena diduga diterjang letusan.
Kelemahan sistem peringatan dini sudah terlihat saat terjadi tsunami di Palu dan Donggala, akhir September lalu. Saat itu BMKG memang mengeluarkan peringatan dini tsunami yang disiarkan lewat teknologi informasi, termasuk disebarkan di media sosial. Tapi pesan ini tidak diterima oleh penduduk setempat, karena jaringan komunikasi hancur begitu gempa terjadi.
Hasil analisis BMKG saat itu juga kurang akurat karena hanya berdasarkan pemodelan dengan mengandalkan data gempa. Lembaga ini memprediksi tsunami yang kecil di pantai, tapi ternyata terjadi tsunami dahsyat yang dipicu longsor di dasar Teluk Palu. Saat itu juga tidak terpasang buoy di perairan sekitar lokasi tsunami, apalagi di teluk.
Meski jumlahnya belum memadai, Indonesia sempat memiliki 22 buoy. Masalahnya, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sebagian besar peralatan tersebut rusak tak terawat, bahkan sebagian dicuri. Pemerintah semestinya segera memperbaiki buoy yang rusak, sekaligus menambah alat deteksi serupa di banyak lokasi, karena negara kita sangat rawan bencana gempa dan tsunami.
Tak hanya menyiapkan sistem peringatan dini yang lebih baik, pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat soal mitigasi bencana. Negara seperti Jepang saja, yang memiliki sistem peringatan dini lebih canggih, sangat mengandalkan kemampuan masyarakat dalam menyelamatkan diri. Kita, yang jauh tertinggal dalam soal teknologi pendeteksi bencana, seharusnya lebih serius membangun kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
sumber, Kolom Tempo
https://kolom.tempo.co/read/1158812/lemahnya-sistem-peringatan-dini/full&view=ok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar