Kamis, 17 Januari 2019

DEBAT PILPRES 2019 ; Ada Joget dan Pijat
















Sandiaga Uno memijat pundak Prabowo ketika ia ingin menanggapi pernyataan Jokowi.
Sandiaga Uno memijat pundak Prabowo ketika ia ingin menanggapi pernyataan Jokowi.(AntaraNews)




JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi joget calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan aksi pijit-pijitan oleh cawapresnya Sandiaga Uno di forum debat pilpres dinilai tidak etis. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, setiap orang memang memiliki kebiasaan masing-masing saat menghadapi tekanan emosional. 
Menurut Emrus, joget Prabowo bisa jadi salah satu cara untuk mengatasi meningkatnya suhu emosi. “Tapi menurut saya tidak pas perilaku semacam itu dilakukan di acara formal perdebatan semalam. Seharusnya Pak Prabowo bisa mengelola kebiasaan-kebiasaan itu,” kata Emrus saat dihubungi, Jumat (18/1/2019). 
Baca juga: Ditanya Jokowi soal Caleg Eks Koruptor, Prabowo Jawab Mungkin Korupsinya Ngga Seberapa Prabowo berjoget sesaat setelah capres nomor urut 01 Joko Widodo menanyakan tentang penunjukan caleg Gerindra yang berasal dari bekas narapidana kasus korupsi. Jokowi mempertanyakan komitmen antikorupsi Prabowo. 
Prabowo sempat meminta waktu untuk menanggapi, namun ditolak oleh moderator Ira Koesno karena masih waktunya Jokowi untuk berbicara. 
Prabowo lantas berjoget dan wakilnya Sandiaga Uno mengelus-elus punggung Prabowo. Sandi juga kemudian memijit-mijit bahu Prabowo. 
Baca juga: Gerindra: Jokowi Selalu Menyerang Personal, Cari-cari Kesalahan 
Emrus menjelaskan, joget Prabowo adalah perilaku lazim saat seseorang menghadapi tekanan dan perilaku Sandi juga lazim sebagai partner yang memberikan dukungan. Ia menilai, Sandi sudah tahu persis kebiasaan Prabowo. “Sandi bisa membaca lambang nonverbal dari Pak Prabowo saat suhu emosinya meningkat,” ujar Emrus. 
Baca juga: 7 Cek Fakta Pernyataan Jokowi dan Prabowo dalam Debat Pertama Pilpres 
Meski demikian, kata Emrus, seharusnya baik Prabowo maupun Sandi bisa mengelola perilaku-perilaku yang sifatnya kebiasaan itu di forum resmi. “Di dalam situasi apa pun ada yang disebut impression manajemen. Bagaimana mengelola impresi kita di dalam suatu situasi sosial pada konteks tertentu," kata Emrus. "Misalnya impression manajemen kita saat berada di rumah ibadah. Tentu harus kita kelola impression manajemen kita, tidak mungkin dong kita bersiul atau tertawa terbahak-bahak," sambung Direktur Emrus Corner ini.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Joget Prabowo dan Pijatan Sandi di Forum Debat Dinilai Tak Etis", https://nasional.kompas.com/read/2019/01/19/06190811/joget-prabowo-dan-pijatan-sandi-di-forum-debat-dinilai-tak-etis
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Sandro Gatra
















JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum menggelar debat pertama Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 pada Kamis (17/1/2019) malam. 
Debat pertama ini akan diikuti empat peserta, yaitu pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. 
Tema yang disiapkan KPU malam ini adalah penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan terorisme. 
Debat akan dipandu oleh Ira Koesno dan Imam Priyono.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman memberikan sambutan dalam pembukaan debat pertama pilpres.
Arief mengatakan, debat pilpres menjadi gelaran yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab, untuk pertama kalinya, debat diselenggarakan bersamaan dengan gegap gempitanya jadwal kampanye pemilu legislatif. 
Debat tidak hanya penting dan strategis bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden tapi juga bagi pemilih yang berdaulat.
"Pemilih akan memiliki kesempatan yang luas untuk memahami dan menjadikan pemaparan capres cawapres malam ini salah satu referensi penting saat menggunakan hak konstitusionalnya pada hari pemungutan suara tanggal 17 April 2019," kata Arief.


GAJI BESAR TIDAK JAMINAN "KORUPSI" HABIS...
4 Eks Pejabat Negara Ini 

Bergaji Fantastis Tapi Masih Korupsi






Liputan6.com, Jakarta - Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto berjanji menaikkan gaji pejabat negara, untuk mencegah korupsi bila terpilih menjadi pemimpin Indonesia pada periode 2019-2024. Dia bersama Sandiaga Uno juga berencana menaikkan gaji penegak hukum.
"Ini strategi kami. Kita harus menaikkan gaji hakim, demikian juga jaksa dan polisi. Supaya tidak ada korupsi," kata Prabowo dalam debat putaran pertama Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis 17 Januari 2019 malam.
Hal senada juga ditegaskan oleh Prabowo, saat melakukan pidato kebangsaan di JCC awal pekan ini. Menurut dia, perbaikan pendapatan mereka adalah sesuatu yang vital untuk kemajuan bangsa
"Kita berniat perbaiki gaji hakim, jaksa, dan polisi. Bila perlu berkali-kali lipat gaji mereka. Karena hakim, jaksa dan polisi yang baik itu sangat vital bagi pemerintah republik Indonesia," lantang Prabowo dalam pidato Indonesia Menang di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 14 Januari 2019.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar gaji pejabat negara dan penegak hukum kurang sehingga memicu perilaku korup? Apakah benar solusi ini mampu memberantas korupsi?
Berikut ini adalah...
Catatan Liputan6.com, tak semua terpidana korupsi bergaji rendah. 

1. Setya Novanto, Mantan Ketua DPR



Sulit dilupakan bagaimana kasus Setya Novanto bergulir bak drama. Menjabat sebagai Ketua DPR saat itu, pria yang akrab disapa Setnov itu terjegal dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakannya secara sah bersalah dan mengganjarnya dengan vonis 15 tahun penjara.
Menurut hakim, Setya Novanto terbukti menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya sebagai ketua Fraksi Golkar di DPR pada saat itu, dan melakukan pembicaraan juga pembahasan terkait penganggaran e-KTP.
Nilai korupsi Novanto kala itu mencapai total USD 7,3 juta.
Lalu berapa sebenarnya gaji seorang wakil rakyat?
Mengacu pada Surat Edaran Setjen DPRRI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR RI, total penghasilan (take home pay) seorang Anggota DPR RI yang merangkap sebagai Ketua Alat Kelengkapan adalah Rp 54,9 juta.
Sedangkan penghasilan untuk seorang Anggota DPR RI yang merangkap sebagai Anggota Alat Kelengkapan adalah Rp 51,5 juta.
Sebagai bahan perbandingan, seorang Anggota DPR RI periode 2004-2009 menerima gaji bulanan sebesar Rp 46,10 juta. Namun, masih ditambah dengan biaya tunjangan, biaya reses, dan gaji ke-13. Sehingga, setiap anggota DPR RI diperkirakan dapat membawa pulang penghasilan mencapai Rp 1 miliar per tahun.

2. Patrialis Akbar, Mantan Hakim MK



Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara. Dia tersandung kasus korupsi, lantaran terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny.
Putusan hakim tindak pidana korupsi menyatakan, Patrialis dan orang dekatnya, Kamaludin, menerima US$ 50.000 dan Rp 4 juta.
Suap ini diberikan, agar Patrialis dapat membantu Basuki memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diajukan ke MK.
Lalu berapa gaji seorang hakim MK?
Jika membaca Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, mungkin banyak yang akan iri.
Pasal 3, Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menuliskan hak keuangan serta fasilitas bagi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Jika melihat besaran gaji pokok seorang Hakim Konstitusi adalah Rp 4,2 juta, namun tunjangan jabatannya mencapai hampir Rp 73 juta atau 18 kali gaji pokok. Angka itu akan terus membesar sesuai dengan jabatan sang hakim.

3. Djoko Susilo, Eks Kakorlantas Polri




Sebagai penegak hukum, Djoko Susilo justru terbukti bersalah melakukan korupsi. Dia yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Eks jenderal polisi ini dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dalam pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat, dengan anggaran Rp 196,8 miliar pada 2010 dan 2011 yang merugikan keuangan negara Rp 121,380 miliar.
Selain itu, Djoko Susilo diketahui melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) periode 2003–2010 dan 2010–2012 secara bersama-sama dan gabungan beberapa kejahatan.
Pada periode 2003-2010, Djoko memiliki total aset senilai Rp 54,6 miliar dan US$ 60.000. Sedangkan, total penghasilan diperolehnya sebagai pejabat Polri ketika itu berkisar Rp 407 juta, ditambah penghasilan lain sekitar Rp 1,2 miliar.
Kemudian, pada periode 2010-2012, saat menjabat sebagai Direktur Lantas Babinkam Polri, Kepala Korlantas, dan Gubernur Akpol, penghasilan Djoko diketahui senilai Rp 235,7 juta ditambah penghasilan lainnya senilai Rp 1,2 miliar. Namun, dalam periode ini, Djoko membeli aset senilai Rp 63,7 miliar.
Lalu berapa sebenarnya penghasilan Polri setingkat jenderal polisi?
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2015. Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), untuk pangkat (jenderal/laksamana/marsekal/jenderal) adalah Rp 5.646.100.
Tentunya angka tersebut belum beserta tunjangan.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan tunjangan kinerja untuk anggota Polri angkanya mencapai 70 persen, hal ini ingin terus ditingkatkan hingga mencapai 100 persen. Pada level Komisaris Besar, mereka dapat membawa pulang Rp 30 juta per bulan.
"Kalau tunjungan kinerjanya 100 persen, seorang kombes bisa membawa pulang sekitar Rp25 juta hingga Rp30 juta per bulan," kata Tito di Akpol, Semarang, pada 9 Desember 2018.
Mengutip laman seskab, pada 30 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain tunjangan kinerja, Pegawai di Lingkungan Polri yang diangkat sebagai pejabat fungsional dan diberikan tunjangan profesi, menurut Perpres ini, tunjangan kinerja diberikan sebesar selisih antara tunjangan kinerja dengan tunjangan profesi kelas jabatan yang sama.

4. Zumi Zola, Eks Gubernur Jambi



Zumi Zola, eks Gubernur Jambi menerima vonis hakim pengadilan tindak pidana korupsi selama 6 tahun penjara. Dia dinyatakan bersalah, lantaran menerima gratifikasi dan melakukan suap pada anggota DPRD Provinsi Jambi.
Hakim menyatakan, Zumi gratifikasi diterima senilai Rp 37,4 miliar, US$ 173 ribu dan 100 ribu dolar Singapura, sejak Februari 2016 hingga November 2017. Selain itu, Zumi menerima 1 unit mobil Toyota Alphard.
Lalu berapa sebenarnya besaran gaji seorang gubernur?
Menurut Keputusan Presiden RI Nomor 86 tahun 2001 menyebutkan besarnya tunjangan jabatan Kepala Daerah Provinsi adalah sebesar Rp 5,4 juta, lalu ada gaji gubernur sebesar Rp 3 juta sesuai Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. Totalnya menjadi Rp 8,4 juta.
Akan tetapi, Prabowo tidak menyebutkan tunjangan operasional. Tunjangan operasional seorang gubernur mendapat tambahan dari PP Nomor 109 tahun 2000, yakni 0,12-0,15 dari Pendapatan Asli Daerah

blob:https://www.vidio.com/3bc73892-32a9-441e-88a0-7772f5b085b0

Tabloid Obor Rakyat. (Courtesy Photo: Setyardi Budiono)
Tabloid Obor Rakyat. (Courtesy Photo: Setyardi Budiono)


Tabloid Obor Rakyat yang sempat memicu kontroversi ketika kampanye Pemilihan Presiden 2014 akan terbit lagi. Hal ini ditegaskan mantan pemimpin redaksi Obor Rakyat Setyardi Budiono.
Mantan pemimpin redaksi Obor Rakyat Setyardi Budiono mengatakan Obor Rakyat akan segera terbit jelang pemilu presiden April nanti. Ia akan kembali menjabat sebagai pemimpin redaksi, sementara Darmawan Sepriyossa menjadi wakil pemimpin redaksi.
Kepada VOA, Jumat (11/1), Setyardi menjelaskan alasan menerbitkan kembali Obor Rakyat adalah karena panggilan jiwa sebagai wartawan. Ia menambahkan dirinya sudah menjadi jurnalis sejak 1996, dan bekerja bersama Darmawan sebagai wartawan Tempo sejak 1998. Darmawan sempat menjadi PNS di Bappenas, tetapi kemudian mengundurkan diri karena ingin kembali menjadi wartawan.
“Kalau ditanyakan ya, karena kami ingin memang wartawan. Kenapa sekarang terbitnya? Karena memang baru keluar penjara. Kalau di dalam penjara, nggak bisa bikin Obor Rakyat, nggak boleh. Saya baru keluar Kamis, 3 Januari. Setelah keluar, saya berhak menghidupkan kembali Obor Rakyat,” kata Setyardi.
Menurutnya sah-sah saja tetap menggunakan nama Obor Rakyat, karena ini merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Namun ia memastikan Obor Rakyat kini akan lebih baik ketimbang yang muncul lima tahun lalu. Dalam arti akan lebih mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik, kata Setyardi menegaskan.









Setyardi bahkan akan menyurati Presiden Joko Widodo untuk meminta waktu untuk melakukan wawancara khusus. Kalau diberi kesempatan lanjutnya ia akan meminta konfirmasi mengenai informasi yang berseliweran seputar Joko Widodo. Ia juga akan mengajukan permohonan wawancara kepada Prabowo Subianto.
Obor Rakyat edisi perdana yang akan diterbitkan sebelum April menurutnya akan menampilkan kejutan menarik. Tetapi ia menolak merinci lebih lanjut kejutan yang dimaksud.
Menanggapi rencana terbitnya kembali Obor Rakyat, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan hal itu tidak melanggar hukum karena nama Obor Rakyat tidak pernah dilarang oleh pemerintah. Meski begitu, masyarakat harus mengawasi apakah informasi dilansir Obor Rakyat nantinya hoaks atau tidak.
“Tergantung isinya. Kalau isinya bohong bisa ditangkap. Barangnya bisa disita, yang menerbitkan bisa ditangkap,” papar Mahfud.
PPP Sesalkan Rencana Penerbitan Obor Rakyat Kembali
Namun Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuzy menyesalkan rencana penerbitan kembali Obor Rakyat karena dampak konten-konten yang diterbitkan oleh Obor Rakyat lima tahun lalu, masih terasa sampai sekarang.
“Karenanya, saya minta kepada seluruh yang berinisiatif untuk berencana menerbitkan lagi Obor Rakyat agar menyadari apa yang dulu pernah dilakukan,” ujar Romahurmuzy.
“Saya heran saja, apa nggak kapok-kapok setelah memproduksi Obor Rakyat dan mendapat vonis pidana atas tersebarnya hoaks dan ujaran kebencian itu, koksekarang mau mengulang lagi,” katanya.









Pada Juni 2014, tim pemenangan capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla melaporkan Tabloid Obor Rakyat ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena menerbitkan tulisan berjudul '1001 Topeng Jokowi'.
Masalah pemberitaan itu belakangan masuk ranah hukum pidana. Pada 22 November 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Setiyardi dan Darmawan delapan bulan penjara.
Saat ini, dua mantan punggawa Tabloid Obor Rakyat itu sedang menjalani masa cuti bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), yang dimulai dari Januari 2019 sampai dengan 8 Mei 2019. [fw/em]
SUMBER: 
https://draft.blogger.com/blogger.g?blogID=4319767031418914363&pli=1#editor/target=post;postID=7261345959317203760


Melawan Hoaks 

Melalui Peningkatan Pemahaman dan Upaya Pelaporan


Peserta Diskusi Strategi Pengawasan Media Sosial di Kampus Ubaya (foto: Petrus Riski/VOA)
Peserta Diskusi Strategi Pengawasan Media Sosial di Kampus Ubaya (foto: Petrus Riski/VOA)



Persoalan hoaks masih menjadi masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia, berkaitan dengan pesta demokrasi lima tahunan yaitu Pilpres dan Pileg 2019. Hoaks berkembang karena cara berpikir masyarakat yang merasa selalu benar, dan mudah menerima informasi tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu.

Sejumlah pakar berpendapat, pemahaman bahaya hoaks (berita bohong), serta bagaimana melawan penyebaran harus dimiliki oleh masyarakat, bila tidak ingin menjadi korban hoaks tersebut.
Penyebaran hoaks di masyarakat dipengaruhi oleh minimnya literasi atau budaya membaca, sehingga mudah sekali percaya terhadap informasi yang beredar melalui media sosial dan grup percakapan. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, dalam diskusi mengenai Strategi Pengawasan Media Sosial mengatakan, cara berpikir masyarakat yang selalu merasa benar terhadap informasi yang diterima memperparah penyebaran hoaks.
“Literasi itu iya, tapi yang lebih parah adalah mindset, jadi mindset masyarakat yang merasa dia benar dengan kelompoknya, mindset dia malas untuk berpikir kritis, itu problem mindset, memang itu penyakit bangsa yang dampaknya sebenarnya tidak semua masalah hoaks saja, tapi juga masalah yang lain,” ujar Septiaji.
Penyebaran berita hoaks melalui media sosial menurut Septiaji, sebenarnya dapat dilawan dengan klarifikasi berita yang benar melalui media mainstream atau media massa umum, sehingga masyarakat segera mengetahui berita yang sebenarnya. Media dan jurnalis, kata Septiaji, didorong untuk memiliki kemampuan mengklarifikasi informasi di ranah digital yang saat ini banyak dipalsukan. Selain itu, masyarakat juga dapat ambil bagian dengan menjadi pelapor berita hoaks yang beredar, sehingga konten dan pembuat atau penyebar berita hoaks dapat segera ditindak secara hukum.
“Kita sedang mendorong untuk mengajak masyarakat menjadi agen yang aktif, bagian dari Siskamling Digital itu. Jadi mereka tahu mana yang dilaporkan, caranya melapor bagaimana supaya bisa tepat laporannya, sehingga hasilnya juga bisa berdampak,” imbuhnya.




Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo memaparkan Strategi Pengawasan Media Sosial di Kampus Ubaya (Foto: Petrus Riski/VOA).
Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo memaparkan Strategi Pengawasan Media Sosial di Kampus Ubaya (Foto: Petrus Riski/VOA).
Mahasiswa Universitas Surabaya, Gita Putri menuturkan hoaks sering muncul seiring munculnya peristiwa baru.
“Berita hoaks ini kan datang bersamaan dengan yang lagi hits-hitsnya, yang lagi tren-trennya, misalnya kayak bencana alam itu kan biasa munculnya langsung kaya berita-berita hoaks yang baru, jadi orang itu pada kayak lagi gencar-gencarnya tentang berita itu, jadi asal percaya saja sama berita hoaks yang ada,” ujar Gita.
Berita tidak hanya menyasar satu kalangan atau kelompok masyarakat, tapi seluruh lapisan dan golongan. Ketua Program Studi Magister Managemen Universitas Surabaya, Putu Anom Mahaduarta mengungkapkan, bahaya hoaks juga menyasar kelompok terpelajar termasuk dosen dan mahasiswa.
“Kita melihat ya di media sosial, di lingkungan WA grup gitu misalnya dosen-dosen gitu ya, mohon maaf saja, walaupun pendidikannya tinggi kan tentang echo chamber itu memang terjadi. Bahkan itu orang-orang yang berpendidikan tinggi sekalipun," ungkap Putu.
"Jadi mereka sudah seperti kaca mata kuda kan, ya ada beberapa yang begitu, dan itu kan memperparah situasi, kenapa karena kita itu pendidik, ya kalau pendidiknya saja begitu bagaimana mahasiswanya. Kalau hoaks itu tersebar itu bisa menyebabkan efek yang negatif kepada lingkungan sekitar, kepada masyarakat. Kami tidak mau mahasiswa itu menjadi penyebar hoaks, padahal dia pintar, kan sia-sia. Kalau kita menyebarkan hoaks itu selain melanggar hukum juga ada masalah etika,” tambahnya.
Mengatasi persoalan berita hoaks, Septiaji menawarkan solusi jangka pendek melalui pelibatan tokoh dan publik figur, yang suaranya dapat didengarkan oleh masyarakat.
“Jangka pendek yang bisa kita dorong itu pendekatan top-down, yaitu pendekatan melalui tokoh-tokoh publik, melalui para publik figur, tokoh etnisnya, tokoh agama, karena suara mereka itu berbeda kalau kita yang bicara. Mereka akan lebih didengar ke komunitasnya, ke kolompoknya. Nah, kita dalam proses untuk membangun jejaring itu, membuat gerakan-gerakan diskusi atau sarasehan, silaturahmi, audiensi, itu salah satu (cara) mengajak bahwa, eh anda ini tokoh publik itu punya kewajiban juga sebagai salah satu ambassador atau duta-duta untuk melawan penyebaran hoaks,” pungkas Septiaji. [pr/ab]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar