Pansus: KPK langgar konstitusi tolak hadirkan Miryam
| 2.375 Views
Tersangka pemberi keterangan palsu dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiqulhadi menegaskan KPK patut diduga melanggar etika dan konstitusi ketika menolak permintaan Pansus untuk menghadirkan Miryam S Haryani dalam Rapat Pansus, Senin (19/6).
"KPK sama sekali tidak punya dasar untuk menolak permintaan Pansus Hak Angket. Jika menolak, itu melanggar etika dan konstitusi," kata Taufiqulhadi di Jakarta, Minggu.
Menurut dia secara etika telah menimbulkan tanda tanya besar, kenapa KPK menolak menghadirkan Miryam ke Pansus Angket.
Politisi Partai Nasdem itu menjelaskan Pansus tidak akan mempersoalkan urusan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) namun ingin mengonfirmasi saja apakah benar Miryam yang menulis surat yang terakhir.
"Dalam surat itu, Ibu Miryam mengatakan tidak pernah ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR," ujarnya.
Dia menilai sebenarnya secara etika mudah ditebak, jika KPK bersikukuh menolak permintaan Pansus, itu berarti KPK tidak memiliki rasa percaya diri.
Menurut dia kenapa KPK tidak memiliki rasa percaya diri, karena insitusi itu tidak yakin benar, padahal etika itu di atas norma hukum.
Lalu berkaitan dengan konstitusi Taufik menjelaskan, Hak Angket jelas merupakan amanah konsitusi, bukan sekedar UU.
"Jika KPK menolak, berarti KPK menentang amanah konsitusi RI. Sebuah lembaga yang menentang konstitusi, sebetulnya lembaga tersebut tidak berhak hidup di Indonesia," katanya
Anggota Pansus Angket KPK Arsul Sani mengatakan DPR memiliki kewenangan berdasarkan UU no 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) untuk memanggil siapapun dan dimanapun terhadap seseorang, apakah sedang dalam keadaan bebas atau dalam tahanan.
Dia menegaskan tidak ada satupun dalam UU MD3, UU KPK, KUHAP atau UU lainnya yang mengatur pengecualian bahwa kalau KPK sedang menahan orang maka yang bersangkutan tidak bisa dimintai keterangan oleh Pansus Angket DPR.
"Paling KPK hanya bisa meminta kepada DPR agar Pansus yang datang ketempat yang bersangkutan ditahan atas alasan-alasan teknis keamanan," katanya.
Namun Arsul mengatakan Pansus Angket akan meminta secara baik-baik kepada KPK agar memfasilitasi DPR melaksanakan kewenangan yuridisnya dengan baik, sebagaimana ketika KPK butuh DPR maka DPR tidak menghalanginya melaksanakan kewenangan dalam penegakan hukum.
Sebelumnya, KPK menegaskan tidak akan menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang KTP elektronik Miryam S Haryani meskipun sudah menerima surat dari Pansus Angket KPK DPR RI terkait pemanggilan Miryam.
Surat tersebut diterima pada tanggal 15 Juni 2017 yang ditujukan kepada Ketua KPK Agus Rahardjo.
Agus menegaskan KPK menolak menghadirkan Miryam di Pansus Angket namun dirinya tidak menjabarkan alasan institusinya menolak permintaan tersebut.
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2017
=======
Pansus angket KPK dinilai khianati rakyat
| 2.313 Views
Ilustrasi - Sejumlah aktivis anti korupsi Yogyakarta menggelar aksi menolak hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, DI Yogyakarta, Kamis (15/6/2017). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko) |
Jakarta (ANTARA News) - Kelompok kerja (Pokja) Jaga Indonesia yang terdiri atas kalangan aktivis, seniman dan budayawan menilai pembentukan Pansus Angket KPK oleh DPR merupakan tindakan yang mengkhianati kepercayaan rakyat.
"Pembentukan Pansus Angket KPK, mengkhianati rakyat," ujar salah satu inisiator Jaga Indonesia Boedi Djarot, melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat.
Boedi Djarot yang juga merupakan adik kandung sutradara kondang Eros Djarot dan Slamet Rahardjo ini menyampaikan DPR seharusnya mendukung rakyat memperkuat KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, bukan justru melemahkan dengan membentuk Pansus Angket.
"Seharusnya DPR bekerja memperjuangkan nasib rakyat," jelas dia.
Dia memandang pembentukan Pansus Angket KPK cacat hukum. Sejumlah politisi di DPR dinilai telah melakukan politik yang membohongi rakyat.
Djarot menegaskan pihaknya akan terus berupaya menggerakan masyarakat agar secara masif menolak keberadaan Pansus Angket KPK, demi menyelamatkan lembaga antirasuah.
Selain itu Pokja Jaga Indonesia juga akan melakukan investigasi terkait fakta-fakta dibalik keberadaan Pansus Angket KPK. Sebab kasus korupsi yang sedang ditangani KPK menyangkut orang-orang penting.
b/a011
(T.R028/B/A011/A011) 16-06-2017 09:35:27
"Pembentukan Pansus Angket KPK, mengkhianati rakyat," ujar salah satu inisiator Jaga Indonesia Boedi Djarot, melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat.
Boedi Djarot yang juga merupakan adik kandung sutradara kondang Eros Djarot dan Slamet Rahardjo ini menyampaikan DPR seharusnya mendukung rakyat memperkuat KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, bukan justru melemahkan dengan membentuk Pansus Angket.
"Seharusnya DPR bekerja memperjuangkan nasib rakyat," jelas dia.
Dia memandang pembentukan Pansus Angket KPK cacat hukum. Sejumlah politisi di DPR dinilai telah melakukan politik yang membohongi rakyat.
Djarot menegaskan pihaknya akan terus berupaya menggerakan masyarakat agar secara masif menolak keberadaan Pansus Angket KPK, demi menyelamatkan lembaga antirasuah.
Selain itu Pokja Jaga Indonesia juga akan melakukan investigasi terkait fakta-fakta dibalik keberadaan Pansus Angket KPK. Sebab kasus korupsi yang sedang ditangani KPK menyangkut orang-orang penting.
b/a011
(T.R028/B/A011/A011) 16-06-2017 09:35:27
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2017
=======
8 Upaya Pelemahan KPK Oleh DPR Menurut Catatan ICW
Dari kiri, Akademisi hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Peneliti Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrin, Kurnia Ramadhana dan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam disela berdiskusi bertemakan KPK Dalam Ancaman: 60 Hari Pasca Penyerangan Novel Baswedan Hingga Angket DPR di Jakarta, 11 Juni 2017. ICW menilai bahwa pembentukan panitia Angket terkesan dipaksakan, cacat hukum dan berpotensi menimbulkan kerugian negara atas segala biaya yang dikeluarkan oleh proses penyelidikan.
TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Hak angket KPK yang diusulkan DPR masih bergulir. Kalangan lembaga masyarakat maupun pakar hukum ada yang menilai angket KPK salah alamat, sebab KPK tidak semestinya menjadi obyek angket. Pembentukan angket ini pun dinilai sebagai upaya pelemahan KPK
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada delapan manuver yang dilakukan DPR untuk melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Berikut poin-poinnya: 1. Penolakan anggaran KPK. Pada 2008, DPR sempat menolak untuk memberikan anggaran kepada KPK yang ingin membangun gedung baru. Padahal gedung KPK sudah melewati kapasitas yang membuat kerja mereka tidak lagi efektif. Penolakan ini akhirnya mendorong gerakan "Saweran untuk KPK". Selain gedung KPK, DPR juga pernah menolak anggaran untuk pembentukan 5 perwakilan KPK di daerah dan pembentukan komunitas antikorupsi.
2. Mendorong wacana pembubaran KPK.
Rapat konsultasi antara DPR, Polri, Kejaksaan, dan KPK pada 2011 sempat menghasilkan wacana untuk membubarkan lembaga antirasuah ini. Dasarnya adalah pandangan Fahri Hamzah yang menganggap KPK tidak maksimal dalam menangani korupsi. 3. Mendorong wacana KPK sebagai lembaga adhoc. Ketua DPR Marzuki Alie pada 2011 menyatakan KPK sebagai lembaga adhoc atau bersifat sementara. Hal ini dimaknai jika kejaksaan dan kepolisian sudah dinilai efektif, maka KPK tidak perlu ada. 4. Pelemahan melalui proses legislasi. Dalam catatan ICW, sejumlah partai politik di DPR mengusulkan dan membahas revisi undang-undang KPK sudah dimulai sejak 2011. Sejumlah naskah revisi yang selama ini beredar hampir dipastikan akan mendelegitimasi KPK. Mulai dari aturan KPK berhak menerbitkan SP3, membatasi perekrutan penyidik independen, penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas, sampai membatasi usia KPK hanya 12 tahun. Selain itu DPR juga berupaya melemahkan KPK melalui revisi KUHP dengan memasukkan delik korupsi dalam rancangan tersebut. Jika usulan ini disahkan, maka korupsi tidak lagi dinilai sebagai kejahatan extraordinary crime.
5. Intervensi dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Pada 2011, Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin mengakui pimpinan lembaga antirasuah kerap mendapatkan intervensi dari anggota DPR saat menangani sejumlah kasus korupsi. Intervensi itu kadang dilancarkan melalui telepon atau rapat dengar pendapat. 6. Menyandera proses seleksi calon pimpinan KPK di DPR. DPR pernah menunda pemilihan satu dari dua nama calon pimpinan KPK hingga pertengahan Januari 2015. Kedua calon itu telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR untuk menggantikan Busyro Muqoddas sebagai wakil Ketua KPK yang berakhir pada 8 Desember 2014. Pada akhir 2015, Komisi III DPR juga pernah menolak usulan 8 komisioner KPK yang telah dipilih panitia seleksi dengan alasan tak ada satu pun calon dari kejaksaan yang lolos seleksi
7. Pengajuan keberatan terhadap proses pencegahan pimpinan DPR.
Nama Setya Novanto muncul dalam dakwaan dua tersangka korupsi e-KTP. Ia disebut-sebut turut menikmati aliran dana korupsi. KPK pun menetapkan status cegah pada Setya. Namun, penetapan status ini tidak bisa diterima oleh DPR. Beberapa anggota Dewan sempat berwacana untuk mengirim surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo. 8. Pengajuan hak angket. ICW menilai pembentukan panitia hak angket terhadap KPK adalah bola liar yang berujung pada pelemahan bahkan pembubaran KPK. Sebab, sejak awal pembentukan panitia ini didasari atas motif politik, cacat prosedur, bertentangan dengan undang-undang, dan kental nuansa balas dendam. Angket ini dilatarbelakangi penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, saksi korupsi e-KTP, yang mengatakan diancam oleh anggota DPR agar tidak mengatakan yang sebenarnya. MAYA AYU PUSPITASARI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar