=====
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menjenguk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto di Rumah Sakit Siloam Jakarta, Selasa, 12 September 2017. Setya Novanto tengah menjalani perawatan lantaran terindikasi sakit vertigo.
Luhut tiba di Rumah Sakit Siloam sekitar pukul 19.00. Ia mengenakan kemeja putih dan ditemani seorang ajudan. Dengan buru-buru, ia diantar oleh penjaga keamanan rumah sakit masuk lift menuju lantai 31, tempat Setya Novanto dirawat.
Baca: Dokter DPR Sebut Setya Novanto Vertigo Setelah Main Pingpong
Sekitar 15 menit kemudian, Luhut keluar dari kamar Setya. Ia diantar oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham hingga menuju mobilnya. Menurut Idrus, Luhut datang untuk memberikan semangat kepada Setya.
"Ya melihat, memberi semangat kepada Pak Setya," kata Idrus. Menurut Idrus kunjungan Luhut berlangsung singkat lantaran saat dia datang Setya sedang tidur. "Pak Setya sedang rehat. Jadi ya cuma sebentar," katanya.
Eksepsi KPK Ditolak PN Jaksel, Praperadilan Dilanjutkan
Photo :
|
VIVA.co.id – Pengadilan NegeriJakarta Selatan memutuskan menolak keberatan atau eksepsi yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto, tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Sebelum hakim tunggal Cepi Iskandar membacakan keputusan sela ini, ia sempat menskor sidang sekitar 180 menit untuk meneliti dan menganalisa terlebih dahulu. "Mengadili menolak eksepsi termohon, menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang untuk mengadili perkara ini (praperadilan). Memerintahkan kedua pihak untuk melanjutkan perkara ini," kata Cepi Iskandar di ruang sidang utama PN Jaksel, Jalan Ampera Raya Jakarta Selatan, Jumat 22 September 2017.
Keputusan sela ini menyangkut eksepsi pihak termohon KPK, tentang kompetensi absolut. Dimana sebelumnya, permohonan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto mendalilkan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh termohon (KPK) tidak sah dan cacat hukum, karena penyelidik dan penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pemohon adalah bukan penyelidik dan penyidik yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemohon juga mendalilkan terkait keabsahan dari penyelidik dan penyidik yang menangani kasus ini.
Dalam eksepsinya yang pertama, termohon menganggap dalil pemohon itu keliru, tidak benar, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Karena menurut termohon, sah atau tidaknya pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK bukan obyek praperadilan dan kewenangan hakim praperadilan. Tetapi obyek dan kewenangan peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Dalam pertimbangannya, hakim praperadilan menyimpulkan bahwa dalil permohonan praperadilan dari Setya Novanto itu adalah tentang keabsahan dari penyidik penyidik yang bukan berasal dari Polri atau telah diberhentikan dari anggota Polri. Karena itu, penyidik KPK ini tidak berwenang melakukan penyidikan atas diri pemohon.
Tapi jika hal itu dihubungkan dengan peradilan Tata Usaha Negara, tentunya harus ditinjau dari yang pemohon yang bersengketa atas keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap dan dinilai merugikan pemohon. Akan tetapi didalam hal ini, pemohon bukan orang yang ditunjukkan pejabat TUN atau tidak terkait dengan hal itu.
"Oleh karena itu, hakim praperadilan berkesimpulan bahwa pemohon praperadilan dari pemohon bukan merupakan sengketa TUN. Dan (ini) menjadi kewenangan prapedadilan," ujar Cepi.
Sedangkan menyangkut eksepsi KPK yang lainnya, yakni eksepsi tentang permohonan praperadilan merupakan materi pokok perkara, eksepsi tentang permohonan praperadilan bukan lingkup praperadilan (error in objecto), eksepsi tentang permohonan praperadilan kabur (obscuur libel) dan eksepsi tentang permohonan praperadilan prematur di samping oleh hakim. Karena hal itu sudah menyentuh pokok perkara praperadilan, maka untuk itu eksepsi ini akan dilanjutkan dalam pokok praperadilan.
"Menimbang setelah eksepsi ditolak praperadilan harus dilanjutkan," ucapnya.
Hakim praperadilan akan kembali melanjutkan sidang praperadilan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar pada Senin 25 September 2017, dengan agenda penyerahan bukti oleh termohon KPK serta tambahan bukti dari Setya Novanto selaku pemohon. Sebab, Sebagian besar barang bukti dari pemohon sudah diserahkan kepada hakim pada sidang hari ini.
Sedangkan Selasa, diagendakan pemeriksaan saksi dan ahli dari pemohon. Tapi pihak Pemohon berencana hanya menghadirkan ahli saja. Sedangkan Rabu, dijadwalkan, giliran KPK untuk menghadirkan saksi dan ahli didalam persidangan.
======Luhut Jenguk Setya Novanto,
Idrus Marham: Kasih Semangat
Selasa, 12 September 2017 | 22:54 WIB
Luhut tiba di Rumah Sakit Siloam sekitar pukul 19.00. Ia mengenakan kemeja putih dan ditemani seorang ajudan. Dengan buru-buru, ia diantar oleh penjaga keamanan rumah sakit masuk lift menuju lantai 31, tempat Setya Novanto dirawat.
Baca: Dokter DPR Sebut Setya Novanto Vertigo Setelah Main Pingpong
Sekitar 15 menit kemudian, Luhut keluar dari kamar Setya. Ia diantar oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham hingga menuju mobilnya. Menurut Idrus, Luhut datang untuk memberikan semangat kepada Setya.
"Ya melihat, memberi semangat kepada Pak Setya," kata Idrus. Menurut Idrus kunjungan Luhut berlangsung singkat lantaran saat dia datang Setya sedang tidur. "Pak Setya sedang rehat. Jadi ya cuma sebentar," katanya.
Simak: Soal Penyakit Gula Setya Novanto, Ini Kata Yorrys Raweyai
Setya Novanto dirawat di Siloam sejak Ahad malam. Menurut dokter, Setya terindikasi sakit vertigo. Indikasi ini terlihat karena Setya terjatuh saat bermain pingpong pada Ahad lalu.
Jatuhnya Setya Novanto terjadi sehari sebelum ia diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketua Umum Partai Golkar itu dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP pada Senin, 11 September 2017.
MAYA AYU PUSPITASARI
Setya Novanto dirawat di Siloam sejak Ahad malam. Menurut dokter, Setya terindikasi sakit vertigo. Indikasi ini terlihat karena Setya terjatuh saat bermain pingpong pada Ahad lalu.
Jatuhnya Setya Novanto terjadi sehari sebelum ia diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketua Umum Partai Golkar itu dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP pada Senin, 11 September 2017.
MAYA AYU PUSPITASARI
======
Sidang perdana praperadilan KPK tanpa Setya Novanto
Ketika KPK melakukan dengar pendapat di Kpomisi III DPR, sidang gugatan praperadilan Setya Novanto pada KPK digelar tanpa kehadiran Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sekaligus Ketua Golkar tersebut.
Setya mengajukan gugatan, karena ia tidak terima ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus pengadaan KTP Elektronik.
Sidang perdana pada Selasa (12/09) digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Cepi Iskandar dan dimulai pukul 10:25 WIB.
KPK melalui biro hukumnya yang menghadiri sidang tersebut meminta penundaan sidang hingga tiga minggu ke depan, namun tim kuasa hukum Setya Novanto mengajukan keberatan dan menghendaki sidang dimulai tiga hari lagi. Hakim akhirnya memutuskan persidangan akan kembali digelar semiggu kemudian, pada Rabu (20/09).
"Waktu tiga minggu terlalu panjang, namun demikian tiga hari juga terlalu singkat. Saya beri KPK untuk menunda sidang pada sidang berikutnya setelah 7 hari. KPK diberi waktu hari Rabu tanggal 21 September," ujar Hakim Cepi dalam persidangan.
- Nasib Setya Novanto di Golkar 'tergantung juga suara pengurus daerah'
- Netizen bicara Setya Novanto: Dari Game of Thrones hingga ‘saldo ATM membludak’
- Meski jadi tersangka, Setya Novanto tetap menjabat ketua DPR
Kuasa Hukum Setya, Agus Triyanto pula menghendaki jadwal sidang yang pasti untuk menyesuaikan dengan waktu saksi-saksi ahli yang akan dipanggil di persidangan untuk dimintai kesaksian.
"Kami mohon jadwal yang bisa kita tetapkan karena bekaitan dengan saksi-saksi ahli yang akan kami siapkan sesuai waktu persidangan. Makanya kami membutuhkan term dan waktu yang pas," jelas Agus.
Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik KPK mengaku memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menjerat Setya. Sementara, Setya membantah menerima aliran dana sebesar Rp 574 miliar, sehingga KPK tidak memiliki alasan untuk menetapkannya sebagai tersangka.
Sebelumnya, Setya Novanto tidak memenuhi panggilan KPK, dengan alasan sakit. Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, yang datang ke kantor KPK Senin (11/9) sekitar pukul 10.00 WIB, menyampaikan surat keterangan dokter bahwa Setya sakit gula dan tengah menjalani rawat inap di Rumah Sakit Siloam Jakarta.
"Surat Pak Setya Novanto berisi pemberitahuan yang dilampiri surat rekomendasi dokter bahwa dia tidak diperkenankan hadir pemeriksaan karena alasan kesehatan," katanya Idrus.
Rencana pemeriksaan Setya ini sedianya akan menjadi pemeriksaan pertamanya dalam kasus e-KTP. Juli lalu, KPK memanggil Setya untuk bersaksi terkait tersangka lain dalam perkara tersebut. Kala itu Setya juga mangkir dengan alasan sakit.
Setya Novanto sudah beberapa kali lolos dari kasus-kasus 'berat.' Seperti kasus 'Papa Minta Saham,' terkait skandal Freeport yang melibatkannya bersama pengusaha Riza Chalid, dua tahun lalu.
Kasusnya adalah pertemuan tak resmi denga Presiden Direktur Freeport Indonesia waktu itu, Setya Novanto membawa serta seorang pengusaha, Riza Chalid. Dan dalam pertemuan tertutup itu Riza disebut meminta saham di sbeuah perusahaan, dengan mencatut nama Presiden joko Widodo. Masalahnya, pertemuan itu direkam, dan rekamannya dilaporkan oleh mehteri Energi dan Sumbr daya waktu itu, Sudirman Said.
Setya Novanto waktu itu disidangkan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), namun kemudian ia lolos dari kemungkinan sanksi MKD setelah menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua DPR.
Tetapi kemudian Mahkamah Yudisial menyatakan bahwa perekaman tanpa perintah pengadilan dinyatakan tidak sah sebagai barang bukti. Sehingga kasus Setya Novanto dinyatakan gugur, dan Setya pun kembali menjadi Ketua DPR
sumber: BBC ...http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41236363
=====
KPK Garap Setnov, Langsung Dikurung?
Sabtu, 09 September 2017 – 10:20 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Ketua DPR Setya Novanto, Senin (11/9).
Apakah KPK akan langsung menjebloskan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu ke sel tahanan?
"Kami bicara pemeriksaan dulu, kami harap yang bersangkutan (Setnov) memenuhi pemeriksaan ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat (8/9) malam.
Yang jelas, kata Febri, surat panggilan menjalani pemeriksaan Senin pekan depan sudah disampaikan KPK kepada Novanto.
Menurut Febri, gugatan praperadilan yang diajukan Novanto tidak akan mengganggu proses penyidikan.
Dia menegaskan, praperadilan adalah proses yang terpisah dengan penyidikan yang dilakukan di KPK.
"Penyidikan tetap berjalan terus, karena tidak ada satu aturan hukum pun bahwa praperadilan harus membuat proses penyidikan ini berhenti sementara," jelasnya.
Karena itu, Febri menyatakan bahwa KPK tentu berharap Novanto hadir memenuhi panggilan. Menurut dia, pemeriksaan adalah ruang untuk Novanto jika ingin menjelaskan, mengklarifikasi dan membantah sangkaan
Febri mengakui, pemanggilan Setnov memang baru dilakukan kali ini setelah kurang lebih tiga bulan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Namun, kata Febri, pemanggilan saksi atau tersangka itu tentu harus disesuaikan dengan strategi penyidikan.
Menurutnya pula, sejauh ini penyidik juga sudah memanggil lebih dari 110 saksi dari berbagai unsur.
Berdasarkan progres penyidikan dan analisis yang dilakukan, penyidik merasa perlu menggarap Novanto untuk diperiksa dan mengklarifikasi sejumlah informasi yang didapatkan dari saksi maupun penggeledahan sebelumnya.
"Jadi ini terkait strategi penyidikan," tegas pria berkacamata ini.
Dia mengatakan, kehadiran Novanto juga memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
"Tentu publik juga akan melihat hal ini agar bisa menjadi contoh kita semua," ujarnya. (boy/jpnn)
==========
Tak Kunjung Menahan Setya Novanto, MAKI Gugat KPK
Sabtu, 09 September 2017 | 08:00 WIB
Ketua DPR RI Setya Novanto menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan terkait kasus E-KTP selama tujuh jam oleh penyidik di Gedung KPK, Jakarta, 13 Desember 2016. Kala itu, Ketua Umum Partai Golkar tersebut diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto. TEMPO/Eko Siswono Toyudho |
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya ini dilakukan berkaitan dengan lambatnya kelanjutan penyidikan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.
"Karena lambatnya ini, maka persepsinya masyarakat dianggap permisif dan memaafkan apa yang dilakukan Setya Novanto," kata Bonyamin usai mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 September 2017.
Penetapan tersangka terhadap Novanto telah dilakukan sejak 17 Juli 2017. Namun, Ketua DPR RI itu belum juga diperiksa atau ditahan berkaitan dengan status tersangkanya.
Padahal, menurut Boyamin, seharusnya KPK telah punya cukup alat bukti untuk melakukan langkah hukum selanjutnya terhadap Novanto. Dasar itu lah yang membuat MAKI mengajukan permohonan intervensi melalui gugatan praperadilan karena diduga ada penghentian penyidikan.
"Karena lambatnya ini, maka persepsinya masyarakat dianggap permisif dan memaafkan apa yang dilakukan Setya Novanto," kata Bonyamin usai mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 September 2017.
Penetapan tersangka terhadap Novanto telah dilakukan sejak 17 Juli 2017. Namun, Ketua DPR RI itu belum juga diperiksa atau ditahan berkaitan dengan status tersangkanya.
Padahal, menurut Boyamin, seharusnya KPK telah punya cukup alat bukti untuk melakukan langkah hukum selanjutnya terhadap Novanto. Dasar itu lah yang membuat MAKI mengajukan permohonan intervensi melalui gugatan praperadilan karena diduga ada penghentian penyidikan.
Bonyamin berharap dari gugatan praperadilan ini, institusi peradilan baik hakim maupun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terutama KPK, memiliki pertimbangan dalam memutus kasus ini. "Selain itu, supaya peran serta masyarakat dalam mengawasi kasus korupsi e-KTP juga terlihat," ujarnya.
Dia juga ingin agar gugatan ini dapat memberikan informasi terhadap pertimbangan putusan kepada hakim yang memimpin praperadilan Setya Novanto. "Lha kalau nanti tiba-tiba dikabulkan (pra peradilan) dan ada tuduhan macam-macam, dugaan mafia lah kan juga jelek lembaga pengadilan kita," ucap Bonyamin.
Setya Novanto sendiri telah mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya Selasa lalu. Menanggapi itu, Boyamin mengaku mengajukan gugatan ini untuk mengimbangi praperadilan yang diajukan Novanto. "Justru ini langkah kami untuk mengimbangi praperadilan Novanto," ujarnya.
DIAS PRASONGKO
DIAS PRASONGKO
Kamis , 22 June 2017, 20:18 WIB
Jaksa Sebut Novanto Terima Dana Melalui Andi Narogong
Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR RI Setya Novanto disebut menerima uang dari Anang S Suhardjo selaku Direktur Utama PT Quadra Solution terkait proyek pengadaan KTP-el. Uang tersebut diberikan kepada Novanto saat menjadi ketua fraksi Partai Golkar pada periode 2009-2014. Pemberian uang melalui Andi Narogong.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mufti Nur Irawan, dalam pembacaan surat tuntutan untuk Irman dan Sugiharto, mengatakan sebagian uang pembayaran dalam tahap I, II, dan III pada 2011 serta pembayaran tahap I pada 2012, diberikan kepada Novanto melalui Anang dan Andi.
"Sampai dengan Mei 2012, Anang S Sudihardjo sudah tidak bersedia lagi untuk memberikan sejumlah uang kepada Setya Novanto melalui Andi Narogong," tutur Mufti saat membacakan surat tuntutan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (22/6).
Terdakwa dugaan kasus korupsi KTP Elektronik Irman (kanan) dan Sugiharto (kiri) menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (22/6) |
Mufti juga mengungkapkan Novanto bersama dengan dua terdakwa, yaitu mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, Andi Narogong, Drajat Wisnu Setyawan, serta Isnu Edhi Wijaya, telah melakukan kerja sama yang erat dan sadar.
Kerja sama itu menunjukan adanya kesatuan kehendak, dan kesatuan perbuatan fisik yang saling melengkapi satu sama lain dalam mewujudkan delik. "Dengan demikian kami berpendapat unsur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ini telah dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum," kata dia.
====
Jaksa KPK yakin ada uang untuk Gamawan
| 617 Views
Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum KPK meyakini ada uang yang mengalir untuk Menteri Dalam Negeri 2009-2014 Gamawan Fauzi dari pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E) sebesar 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta.
"Adapun mengenai aliran uang kepada Gamawan Fauzi sejumlah 4,5 juta dolar AS selain dibuktikan berdasarkan keterangan saksi M Nazaruddin juga didukung dengan keterangan Diah Anggraini," kata JPU KPK Riniyati Karniasih di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Diah Anggraini adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri saat pengadaan KTP-E tahun anggaran 2011-2013 tersebut.
"Diah Anggraini yang menerangkan pada pokoknya Andi Agustinus alias Andi Narogong sempat keberatan dengan permintaan terdakwa I Irman yang meminta sejumlah uang untuk Gamawan Fauzi. Selain itu adanya pemberian uang dari Ifdal Noverman (adik Gamawan) kepada Gamawan sejumlah Rp1,5 miliar secara tunai dari Ifdal Noverman menambah keyakinan Penuntut Umum akan adanya aliran uang kepada Gamawan Fauzi," tambah jaksa Riniyati.
Keterangan saksi tersebut bersesuaian dengan beberapa peristiwa antara lain pertemuan adik Gamawan lainnya yaitu Azmin Aulia dengan Andi Agustinus dengan Irman.
"Dalam pertemuan tersebut Azmin Aulia mengatakan nantinya yang akan menjadi Dirjen Dukcapil adalah Terdakwa I, Irman, serta pertemuan Azmin Aulia dengan Andi Agustinus dan Paulus Tannos (direktur PT Sandipala) yang dikenal sebagai orang dekat Gamawan Fauzi di hotel Ritz Carlton yang membahas mengenai keikutsertaan Azmin dalam proyek penerapan e-KTP," tambah jaksa.
Peristiwa-peristiwa tersebut dinilai menjadi sempurna dengan dibelinya aset Paulus Tannos oleh Azmin Aulia dengan harga di bawah harga pasar.
"Penuntut Umum menilai rangkaian peristiwa tersebut merupakan satu kesatuan peristiwa yang menunjukkan adanya pengaruh Gamawan Fauzi melalui adiknya yakni Azmin Aulia sehingga keterangan saksi M Nazaruddin mengenai pemberian uang kepada Gamawan Fauzi adalah benar adanya," ungkap jaksa.
Dalam perkara ini terdakwa I yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dituntut 7 tahun dan pidana densa sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider 2 tahun penjara.
Sedangkan terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut 5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.
Keduanya dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp2,3 triliun.
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2017
=====
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane berharap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bisa bekerja cepat untuk menciduk anggota DPR yang terlibat kasus korupsi KTP elekronik (KTP-el). Neta mengatakan, agar kinerja penegak hukum tidak terpengaruh terhadap ancaman oknum Pansus Hak Angket yang mengancam pembekuan anggaran.
"IPW berharap jajaran Polri tidak terpengaruh dengan gertak sambal segelintir oknum di Pansus yang hendak menyandera anggaran kepolisian itu," ujar dia dalam keterangan tertulis, Rabu (21/6).
Menurut Neta, ada tiga alasan kenapa Polri harus cuek dan mengabaikan gertakan segelintir oknum di Pansus Hak Angket DPR. Pertama, kata dia, anggaran tersebut bukanlah milik DPR, terlebih oknum-oknum Pansus yang mengancam akan menyandera. Anggaran tersebut milik rakyat dari pajak rakyat untuk membiayai Polri dalam menjaga keamanan rakyat.
"Oknum Pansus tidak punya hak atas anggaran tersebut," ujarnya.
Kedua, dasar hukum pemanggilan paksa Miryam S tidak jelas karena tidak ada Juklak dari UU MD3. Sehingga, menurut Neta, jika polisi memanggil paksa Miryam dari Polri, sementara yang bersangkutan ada di tahanan KPK, hal tersebut bisa menimbulkan benturan antara Polri dan KPK.
Ketiga, sebagian oknum DPR disebut-sebut terlibat kasus korupsi KTP-el, sehingga warna kepentingan untuk mengamankan kelompok maupun pribadi lebih terasa menonjol. Mengabaikan ancaman oknum Pansus, kata dia, jajaran Polri bisa lebih fokus dan profesional dalam menjaga keamanan masyarakat, terutama di bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
"Percayalah, meski segelintir oknum Pansus teriak-teriak akan membekukan anggaran kepolisian tapi rakyat akan berada di belakang Polri dalam mendukung tugas-tugas profesional kepolisian," ujar dia.
=====
Kamis , 22 Juni 2017, 03:16 WIB
IPW: KPK Harus Cepat Ciduk Anggota DPR Terlibat Kasus KTP-El
Rep: Singgih Wiryono/ Red: Nur Aini
Ilustrasi KTP elektronik (e-KTP) |
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane berharap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bisa bekerja cepat untuk menciduk anggota DPR yang terlibat kasus korupsi KTP elekronik (KTP-el). Neta mengatakan, agar kinerja penegak hukum tidak terpengaruh terhadap ancaman oknum Pansus Hak Angket yang mengancam pembekuan anggaran.
"IPW berharap jajaran Polri tidak terpengaruh dengan gertak sambal segelintir oknum di Pansus yang hendak menyandera anggaran kepolisian itu," ujar dia dalam keterangan tertulis, Rabu (21/6).
Menurut Neta, ada tiga alasan kenapa Polri harus cuek dan mengabaikan gertakan segelintir oknum di Pansus Hak Angket DPR. Pertama, kata dia, anggaran tersebut bukanlah milik DPR, terlebih oknum-oknum Pansus yang mengancam akan menyandera. Anggaran tersebut milik rakyat dari pajak rakyat untuk membiayai Polri dalam menjaga keamanan rakyat.
"Oknum Pansus tidak punya hak atas anggaran tersebut," ujarnya.
Kedua, dasar hukum pemanggilan paksa Miryam S tidak jelas karena tidak ada Juklak dari UU MD3. Sehingga, menurut Neta, jika polisi memanggil paksa Miryam dari Polri, sementara yang bersangkutan ada di tahanan KPK, hal tersebut bisa menimbulkan benturan antara Polri dan KPK.
Ketiga, sebagian oknum DPR disebut-sebut terlibat kasus korupsi KTP-el, sehingga warna kepentingan untuk mengamankan kelompok maupun pribadi lebih terasa menonjol. Mengabaikan ancaman oknum Pansus, kata dia, jajaran Polri bisa lebih fokus dan profesional dalam menjaga keamanan masyarakat, terutama di bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
"Percayalah, meski segelintir oknum Pansus teriak-teriak akan membekukan anggaran kepolisian tapi rakyat akan berada di belakang Polri dalam mendukung tugas-tugas profesional kepolisian," ujar dia.