Gaet Yusril, pilihan realistis Jokowi di tengah arus deras politik identitas?
Yusril Izha Mahendra, politikus senior Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus advokat senior, menyebrang ke kubu Joko Widodo usai membela Prabowo Subianto pada sengketa pemilihan presiden 2014.
Keputusan Yusril dinilai melengkapi representasi kelompok Islam di kubu Jokowi, meski Yusril mengklaim hanya akan mengurus persoalan hukum, bukan menggalang kekuatan politik bagi capres nomor urut satu itu.
"Saya ketua partai tapi pernah dipercaya menangani perkara partai lain, PPP dan Golkar, bersikap objektif, melepaskan pandangan politik dan menyelesaikan perkara sesuai hukum."
"Hal yang sama juga akan terjadi dalam hubungan saya dan Jokowi saat ini," kata Yusril kepada BBC News Indonesia, melalui sambungan telepon, Selasa (06/11)
PBB, partai yang didirikan Yusril tahun 1998 berasaskan Islam. Adapun, Yusril pernah aktif di Muhammadiyah dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Belakangan Yusril mewakili Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di pengadilan, menggugat keputusan pemerintah membubarkan organisasi tersebut.
"Selama ini banyak kritik kepada pemerintah yang dianggap jauh dari Islam, mungkin perlahan itu akan berubah," kata Yusril memprediksi efek keputusannya menjadi pengacara Jokowi.
Bagaimanapun, merapatnya Yusril ke tim Jokowi dianggap konsekuensi politik identitas yang lebih dominan dibandingkan adu visi dalam ajang pilpres tahun depan.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, sikap Yusril satu bagian dengan bergabungnya Maruf Amin dan Ali Mochtar Ngabalin dengan Jokowi.
Maruf, duet Jokowi di pilpres 2019, merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia sekaligus menjabat Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, Ngabalin pernah berkecimpung di sejumlah organisasi berbasis Islam, salah satunya Badan Koordinasi Muballigh Indonesia.
"Tantangan dan kelemahan terbesar Jokowi sebagai petahana sebenarnya apakah dia benar-benar sudah menjalankan janji-janji kampanyenya."
"Tapi sayangnya lawannya berkutat pada isu identitas, jadi itu saja yang ia redam," kata Hurriyah.
Yusril, Maruf, dan Ngabalin, menurut Hurriyah, dapat menjadi bukti kedekatan Jokowi dengan kalangan Islam. Citra yang disebutnya juga dibangun Jokowi melalui safari ke berbagai pesantren dengan gaya pakaian khas santri.
Dalam tiga jajak pendapat tahun 2018, pemegang hak suara dari kalangan Islam cenderung memilih Jokowi ketimbang Prabowo.
Merujuk kajian Agustus lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut Jokowi mengungguli Prabowo di kalangan NU dan Muhammadiyah.
Sementara itu, pemilih Islam yang condong ke Prabowo mayoritas berasal dari massa Presidium Alumni 212, kelompok yang giat berunjuk rasa menentang Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Juli 2018, Jokowi dianggap sosok yang paling merepresentasikan Islam di Indonesia (47,9%), disusul Prabowo (30,1%).
Temuan itu muncul pada jajak pendapat yang digelar Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik Universitas Airlangga.
Adapaun pada survei Populi Center, Februari 2018, mayoritas suara responden dari NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam, juga memilih Jokowi.
Bahkan di kalangan pemilih Muslim yang tak terikat dengan ormas apapun, Jokowi meraup 57,1% suara, sedangkan Prabowo 27,3%.
Walaupun Jokowi sekilas berada di atas angin, peneliti LSI, Rully Akbar, menyebut Prabowo tetap berpeluang memenangkan suara mayoritas di kalangan pemilih Muslim.
Rully berpendapat, citra Jokowi dapat luluh jika isu seperti insiden pembakaran bendera bertuliskan tauhid membesar.
Sementara itu, Rully menilai Prabowo akan memaksimalkan pendekatan ke pemilih Muslim tak lama sebelum pencoblosan.
"Orang-orang di belakang Prabowo, seperti Aa Gym dan Ustaz Abdul Somad belum sepenuhnya turun," kata Rully.
"Gerakan melalui salat subuh dan ibadah Jumat tidak dapat diprediksi karena biasanya dilakukan last minute."
"Pemilih didekati melalui sisi yang paling sensitif, yaitu agama sehingga konstelasi bisa berubah cepat," ujar Rully..
- Pilpres 2019: 'Kampanye hitam SARA masih ampuh untuk mengeksploitasi perilaku pemilih'
- Gugat Perppu, Hizbut Tahrir Indonesia akan ajukan uji materi ke MK
- Ali Mochtar Ngabalin: Dulu pendukung Prabowo sekarang tenaga ahli Presiden Jokowi
sumber; https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46110585
jpnn.com, JAKARTA - Partai Bulan Bintang (PBB) membantah pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang mengklaim sebagai pendiri partai pimpinan Yusril Ihza Mahendra itu. Wakil Sekjen PBB Solihin Pure menyatakan, klaim Fadli tah lebih dari sekadar kabar bohong alias hoaks.
“Hoaks alias tidak benar Fadli Zon pendiri Partai Bulan Bintang,” ujar Solihin di Jakarta, Sabtu (10/11). Baca juga: Fadli Zon Ingatkan Yusril Tak Lupakan Jasa Prabowo bagi PBB
Solihin menjelaskan, dalam akta notariat pendirian PBB yang diterbitkan kantor noratis Anasrul Jambi SH tertera 38 nama. Dari nama-nama yang tertera tak terdapat Fadli Zon.
“Akta notaris itu dokumen otentik yang sulit dibantah oleh siapa pun. Saya sudah mengeceknya dengan saksama. Akta diterbitkan Kamis, 5 November 1998," ucapnya.
Lebih lanjut Solihin mengatakan, Yusril dikenal dan diakui sebagai salah seorang tokoh utama penggagas berdirinya PBB. Karena itu, sesepuh Masyumi almarhun Dr Anwar Harjono mendaulat Yusril menjadi ketua umum PBB kala itu.
"Fadli Zon mengada-ada kalau mengaku dia pendiri PBB dan bersama Farid Prawiranegara mengajak Yusril gabung ke PBB," katanya.
Meski demikian Solihin mengakui bahwa Fadli pernah bergabung dengan PBB sebagai salah satu ketua DPP periode 1999-2001. Hanya saja, kata Solihin menambahkan, Fadli kerap berseberangan dengan Yusril.
Solihin menjelaskan, Fadli justru pernah ikut almarhom Hartono Mardjono mendirikan PBB tandingan. Namun, kepengurusan PBB tandingan itu kalag di pengadilan.
Bagaimana soal peran Prabowo Subianto dalam pendirian PBB? Solihin mengatakan, Yusril tidak melupakan jasa ketua umum Partai Gerindra itu ketika ikut membantu mendirikan PBB pada 1998.
Namun, Prabowo bukan satu-satunya dari kalangan militer yang ikut mendirikan PBB. Sebab, ada nama lain seperti Syarwan Hamid, Kivlan Zen dan Adityawarman Taha yang juga berkontribusi mendirikan PBB.
“Kami berterima kasih atas simpati dan dukungan dari kalangan TNI dalam usaha mendirikan PBB 1998 lalu,” kata Pure
Yusril Ihza Tak Mau Tanggapi Sindiran Fadli Zon Soal Sejarah PBB
Minggu, 11 November 2018 05:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon, mengungkit jejak mula lahirnya Partai Bulan Bintang yang kini dipunggawai oleh Yusril Ihza Mahendra. Lewat akun Twitter personalnya, @fadlizon, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu mencuitkan sejarah munculnya partai tersebut.
Yusril Ihza Mahendra, ketua partai PBB. Dok. TEMPO |
“Jangan lupa sejarah,” tutur Fadli di akhir kalimat. Kicauan itu dilayangkan pada Jumat, 9 November 2018. Dalam kalimat awal tulisan singkat ini, Fadli mengklaim pernah ikut menggagas kelahiran PBB.
Fadli mengatakan ia menjadi inisiator PBB bersama Prabowo Subianto. Keduanya menjadi saksi penting perjuangan mentasnya PBB pada 1998.
Dia juga menyebut nama mendiang politikus senior, Farid Prawiranegara. Farid, ujar Fadli, tak lepas dari catatan penting kemunculan PBB hingga eksis sampai sekarang. “Yang ikut mengajak Anda ke partai baru waktu itu adalah saya dan almarhum Farid Prawiranegara, putra Pak Sjafroeddin,” ujar Fadli lagi.
Cuitan Fadli ini untuk menanggapi sikap Yusril yang baru-baru ini memutuskan menjadi pengacara pasangan calon presiden Joko Widodo dan Ma’aruf Amin secara probono alias tanpa bayaran. Padahal, sebelumnya, Yusril sempat menjadi pendukung loyal Praboow sejak 2014. Ia juga aktif menyerukan dukungan untuk Anies Bawedan dan Sandiaga Uno dalam pemilihan presiden 2014.
Atas kicauan kontroversial itu, Yusril mengaku emoh berkomentar. Ia meminta pihak lain saja yang seharusnya menjawab soal hal itu. “Lebih baik yang lain saja yang menanggapi ya. Enggak usah saya,” kata Yusril kepada Tempo pada Sabtu, 10 November 2018.
Yusril Ihza sebelumnya mengatakan keputusan menjadi pengacara Jokowi diambil setelah ia bertemu dengan Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Erick Thohir, di Hotel Mulia, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Erick Thohir menanyakan kesanggupan Yusril menjadi pengacara Jokowi - Ma'ruf. Yusril pun menyanggupi.
sumber; https://nasional.tempo.co/read/1145096/yusril-ihza-tak-mau-tanggapi-sindiran-fadli-zon-soal-sejarah-pbb/full&view=ok
Yusril Blak-blakan Soal Hubungannya dengan D.N Aidit
Ahad 11 Nov 2018 06:07 WIB
Rep: Ali Mansur/ Red: Esthi Maharani
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra mengaku ada pihak yang menanyakan hubungan dirinya dengan seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI), Dipa Nusantara (D.N) Aidit. Menurut Yusril itu muncul di sebuah grup whatsappsalah satu kubu yang mendukung calon presiden dan wakil presiden di pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Meski sama-sama berasal dari Pulau Belitung, Yusril mengaku tidak pernah bertemu dengan D.N Aidit sampai wafatnya pada tahun 1965 silam. Namun memang ayahnya Idris bin Haji Zainal kenal baik dengan DN Aidit karena mereka hampir seusia.
"Kalau DN Aidit pulang ke Belitung, kadang bertemu juga dengan ayah saya. Ayah DN Aidit, Abdullah Aidit adalah Ketua Nurul Islam Belitung, yang tahun 1947 berubah menjadi cabang Masyumi," jelas Yusril dalam pesan singkatnya, Sabtu (10/11).
Menurut Yusril, sebagian keluarga DN Aidit di Belitung menjadi anggota Masyumi. Tetapi mereka yang merantau, D.N Aidit dan Subron Aidit bergabung bersama PKI. Murad Aidit, adiknya yang paling bungsu wafat dua tahun lalu jadi aktivis Partai Buruh. Sambungnya, secara ideologi keluarganya dengan keluarga DN Aidit yang PKI sangat bermusuhan tapi keluarganya yang Masyumi tentu tidak.
"Namun sebagai sesama orang sekampung, hubungan kami baik-baik saja. Anak DN Aidit, Ilham Aidit, sesekali bertemu saya dan dia memanggil saya “abang”. Dia selalu bertanya bagaimana perkembangan PBB," tuturnya.
Lanjut Yusril, Ketua Umum Masyumi M Natsir pernah bercerita bahwa dia selalu berkelahi dengan D.N Aidit dalam politik. Tetapi ketika rehat sidang DPR, Aidit membawa secangkir kopi dan membukakan bungkus rokok untuk disodorkan kepada Natsir.
"M Natsir juga bercerita ketika sedang menunggu becak di depan Gedung DPR di Lapangan Banteng, tiba-tiba Aidit lewat naik sepeda. Lalu Aidit bilang, 'Bung Natsir, ayo saya bonceng'," kata Yusril.
Oleh karena itu Yusril, yang saat ini menjadi pengacara dari pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 Yusril berharap hubungannya dengan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno baik-baik saja. Meski bersebarangan dalam pandangan politik tapi hubungan tetap terjaga seperti halnya pemimpin Masyumi M Natsir dengan pemimpin PKI D.N Aidit.
"Ketika saya beda dengan anda dalam hal yang sebenarnya tidak ideologis, yakni kesediaan saya menjadi lawyer Jokowi Ma’ruf, bisakah kita tetap baik antar sesama dan saling menghormati seperti Mohammad Natsir dengan DN Aidit? Bisakah kita menghentikan segala macam hujatan, hanya karena kita beda dalam menetukan pilihan dan beda dalam strategi politik?" harap Yusril.
sumber; https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/11/11/pi02wq335-yusril-blakblakan-soal-hubungannya-dengan-dn-aidit
Rahasia Persatuan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia
jpnn.com - KAUM ADAT, kaum agama, komunis, nasionalis, saudagar hingga pendekar bersatu di Minangkabau. Sidang yang dipimpin Datuak Batuah dari PKI, memilih Buya Hamka memimpin front persatuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Bung Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia datang ke Ranah Minang setelah agresi militer Belanda pertama, Juli 1947, yang menewaskan Walikota Badindo Aziz Chan.
Berehat semalam di Bukittinggi, kampung halamannya, Bung Hatta langsung mengadakan pertemuan dengan para pimpinan rakyat. Hamka yang datang terlambat, duduk di belakang.
“Setelah selesai briefing Bung Hatta menganjurkan kesatuan tenaga di dalam menghadapi musuh, sehingga dendam kita karena kematian Aziz Khan dapat ditebus,” tulis Buya Hamka, dalam buku otobiografinya Kenang2an Hidup.
Yang hadir malam itu ninik mamak dan hampir seluruh tokoh rakyat serta pimpinan organisasi yang hidup di Minangkabau.
Yang disebut dalam catatan Hamka, antara lain, Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid, Komandan Divisi Kolonel Ismail Lengah, Letnan Kolonel Dahlan Jambek.
“Yang memimpin rapat malam itu H. Dt. Batuah dari PKI,” kenang Hamka dalam Kenang2an Hidup jilid 3.
Dalam buku Kenang2an Hidup jilid 4, Buya Hamka kembali mengisahkan proses lahirnya front persatuan rakyat di Ranah Minang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kali ini lebih detail.
“Pemimpin rapat ialah pemimpin tua yang terkenal, yaitu Haji Datuak Batuah dari Partai Komunis Indonesia. Beliau baru saja pulang sesudah diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda…”
Mulanya, para peserta rapat bersitegang. Adu mulut. Saling menyalahkan. Semua mengeluarkan apa yang terasa.
Haji Dt. Batuah yang rupanya mengerti ilmu jiwa, tulis Hamka, berhasil menjernihkan suasana.
Sehingga putus mufakat untuk mendirikan badan persatuan. Diberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN).
Menurut pengakuan langsung Buya Hamka, Datuak Batuah adalah satu di antara guru mengajinya pada masa kanak-kanak di Thawalib Padang Panjang.
Hari bulan puasa. Malam agak panjang. Malam itu, disepekati pula mengangkat lima orang menjadi formatur yang langsung jadi motor penggerak dengan nama Sekretariat Front Pertahanan Nasional: Hamka, Khatib Sulaiman, Rasunan Said, Udin dan Karim Halim.
Khatib Sulaiman—kini jadi nama jalan utama di Kota Padang—tokoh pemuda yang dikenal ahli menyusun organisasi langsung mengusulkan Hamka menjadi ketua. Semua mufakat setuju.
Deklarasi FPN
Panggung Cinema Theater Bukittinggi, 12 Agustus 1947.
Ketika FPN dideklarasikan, tulis Hamka, tampil kemuka seorang guru. Janggutnya panjang dan putih. Bertongkat lebih tinggi dari badannya.
Dia memasukkan usul, minta disampaikan kepada pemerintah, supaya di samping presiden didirikan satu majlis tinggi, bernama Majlis Istikharah. Terdiri daripada orang-orang muqarrabin (yang dekat dengan Tuhan) dan aulia (wali-wali keramat).
Kata dia, jikalau ada kesulitan negara, Majlis Istikharah bersembahyang minta keputusan Tuhan. Apa keputusan Tuhan dalam kasyaf itulah dijalankan.
Usul itu, sebagaimana dikisahkan Hamka, disambut dengan sebaik-baiknya.
“Dan disampaikan harapan kepada beliau, supaya dia sendiri tetap istikharah jika ada yang muskil, dan hasil kasyaf sampaikan kepada yang berwajib. Dia puas juga atas sambutan itu! Tidaklah sukar menghadapi mereka, jika orang masuk dari sudut hati mereka dan berbahasa dengan bahasa mereka, dan jika perdamaian lebih dipentingkan dari perpecahan,” papar Hamka, pimpinan FPN.
Menurut catatan Hamka, badan-badan yang bersatu dalam FPN, sebanyak 56 buah.
Yakni Majlis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau, Barisan Hulubalang, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Masyumi, Masyumi Muslimat, Partai Tarikat Naksyabandi, PKI Lokal Islamy, Barisan Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, Sobsi, Perti, Lasymi, Muhammadiyah, Aisyiah, GPII, Nasyiyatul Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Kowani, Perwari, Ibu Kesatria, Persatuan Saudagar, Barisan Teras, Barisan Merah.
“Dan lain-lain. Pendeknya 56! Zegge lima puluh enam! Ajaib! Dapatkah itu dipersatukan? Dapat, sebab rahasianya….”
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Bung Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia datang ke Ranah Minang setelah agresi militer Belanda pertama, Juli 1947, yang menewaskan Walikota Badindo Aziz Chan.
Berehat semalam di Bukittinggi, kampung halamannya, Bung Hatta langsung mengadakan pertemuan dengan para pimpinan rakyat. Hamka yang datang terlambat, duduk di belakang.
“Setelah selesai briefing Bung Hatta menganjurkan kesatuan tenaga di dalam menghadapi musuh, sehingga dendam kita karena kematian Aziz Khan dapat ditebus,” tulis Buya Hamka, dalam buku otobiografinya Kenang2an Hidup.
Yang hadir malam itu ninik mamak dan hampir seluruh tokoh rakyat serta pimpinan organisasi yang hidup di Minangkabau.
Yang disebut dalam catatan Hamka, antara lain, Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid, Komandan Divisi Kolonel Ismail Lengah, Letnan Kolonel Dahlan Jambek.
“Yang memimpin rapat malam itu H. Dt. Batuah dari PKI,” kenang Hamka dalam Kenang2an Hidup jilid 3.
Dalam buku Kenang2an Hidup jilid 4, Buya Hamka kembali mengisahkan proses lahirnya front persatuan rakyat di Ranah Minang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kali ini lebih detail.
“Pemimpin rapat ialah pemimpin tua yang terkenal, yaitu Haji Datuak Batuah dari Partai Komunis Indonesia. Beliau baru saja pulang sesudah diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda…”
Mulanya, para peserta rapat bersitegang. Adu mulut. Saling menyalahkan. Semua mengeluarkan apa yang terasa.
Haji Dt. Batuah yang rupanya mengerti ilmu jiwa, tulis Hamka, berhasil menjernihkan suasana.
Sehingga putus mufakat untuk mendirikan badan persatuan. Diberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN).
Menurut pengakuan langsung Buya Hamka, Datuak Batuah adalah satu di antara guru mengajinya pada masa kanak-kanak di Thawalib Padang Panjang.
Hari bulan puasa. Malam agak panjang. Malam itu, disepekati pula mengangkat lima orang menjadi formatur yang langsung jadi motor penggerak dengan nama Sekretariat Front Pertahanan Nasional: Hamka, Khatib Sulaiman, Rasunan Said, Udin dan Karim Halim.
Khatib Sulaiman—kini jadi nama jalan utama di Kota Padang—tokoh pemuda yang dikenal ahli menyusun organisasi langsung mengusulkan Hamka menjadi ketua. Semua mufakat setuju.
Deklarasi FPN
Panggung Cinema Theater Bukittinggi, 12 Agustus 1947.
Ketika FPN dideklarasikan, tulis Hamka, tampil kemuka seorang guru. Janggutnya panjang dan putih. Bertongkat lebih tinggi dari badannya.
Dia memasukkan usul, minta disampaikan kepada pemerintah, supaya di samping presiden didirikan satu majlis tinggi, bernama Majlis Istikharah. Terdiri daripada orang-orang muqarrabin (yang dekat dengan Tuhan) dan aulia (wali-wali keramat).
Kata dia, jikalau ada kesulitan negara, Majlis Istikharah bersembahyang minta keputusan Tuhan. Apa keputusan Tuhan dalam kasyaf itulah dijalankan.
Usul itu, sebagaimana dikisahkan Hamka, disambut dengan sebaik-baiknya.
“Dan disampaikan harapan kepada beliau, supaya dia sendiri tetap istikharah jika ada yang muskil, dan hasil kasyaf sampaikan kepada yang berwajib. Dia puas juga atas sambutan itu! Tidaklah sukar menghadapi mereka, jika orang masuk dari sudut hati mereka dan berbahasa dengan bahasa mereka, dan jika perdamaian lebih dipentingkan dari perpecahan,” papar Hamka, pimpinan FPN.
Menurut catatan Hamka, badan-badan yang bersatu dalam FPN, sebanyak 56 buah.
Yakni Majlis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau, Barisan Hulubalang, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Masyumi, Masyumi Muslimat, Partai Tarikat Naksyabandi, PKI Lokal Islamy, Barisan Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, Sobsi, Perti, Lasymi, Muhammadiyah, Aisyiah, GPII, Nasyiyatul Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Kowani, Perwari, Ibu Kesatria, Persatuan Saudagar, Barisan Teras, Barisan Merah.
“Dan lain-lain. Pendeknya 56! Zegge lima puluh enam! Ajaib! Dapatkah itu dipersatukan? Dapat, sebab rahasianya….”
jpnn.com - SILA KETIGA Pancasila; Persatuan Indonesia. “Barang langka” sejak kemerdekaaan republik ini diproklamasikan. Peristiwa bersejarah di Ranah Minang pada 1947, memberi sedikit banyak pelajaran akan arti penting persatuan.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Bung Hatta undur diri. Sang proklamator kemerdekaan Indonesia kelelahan setelah menempuh perjalanan darat dari Sumatera Timur.
Diiringi Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid dan Komandan Divisi Kolonel Ismail Lengah, Wakil Presiden Republik Indonesia itu meninggalkan ruang rapat di rumah tamu agung, seberang Jam Gadang, Bukittinggi.
Sebelum beranjak pergi, Hatta terlebih dahulu berpesan betapa pentingnya persatuan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Rapat kembali berlangsung. Alih-alih bersatu, orang-orang di ruang rapat itu malah berdebat.
Almanak bertarekh 1947. Kala itu, sebagaimana di Minangkabau, suasana psikologis massa di seluruh wilayah Republik Indonesia nyaris serupa.
Semua orang ingin berjuang. Semua orang berkobar semangatnya. Tetapi niat menyatukan tenaga, belumlah tumbuh. Sama sekali hanya hendak mengemukakan kekuatan sendiri dan hendak berjasa sendiri. Dan yang satu mencemburui yang lain.
Hamka yang duduk di barisan belakang pun beranjak keluar. Seorang reporter, berbekal tape recorder meminta Hamka berpidato untuk disiarkan di corong Radio Bukittinggi.
“Setelah pidato yang kira-kira 10 menit itu,” tulis Buya Hamka dalam buku Kenang2an Hidup jilid 4, dirinya hendak pulang ke penginapan, dan kembali ke Padang Panjang. “Tetapi di muka Jam Gedang, bertemu dengan seorang teman,” sambungnya.
Teman itu mengajak Hamka kembali memasuki ruang pertemuan di rumah tamu agung.
Berdasarkan pengakuan Hamka, sebetulnya dia agak malas karena jemu mendengar orang berdebat. Tetapi, karena keras ajakan kawan itu, dia pun ikut serta.
Dia bercerita, “sesampai di dalam, kelihatan di ruangan luar beberapa orang perwira, di antaranya Kolonel Ismail Lengah, Kolonel Syarif Usman dan Kolonel Dahlan Jambek.”
Melihat kedatangan Hamka, Syarif Usman berseri-seri. Seraya bersorak, “cobalah dengar! Di dalam telah terjadi debat sengit. Masuklah ke dalam. Campurilah dan ketengahilah.”
Hamka masuk. Dia mendapati Datuak Batuah memimpin rapat. Dengan ilmu jiwanya yang mempuni, menurut Hamka, perdebatan tersebut dikelola pimpinan tua dari Partai Komunis Indonesia itu menjadi musyawarah yang terarah.
Tajuk rapat seputar bagaimana melaksanakan seruan Bung Hatta; membangun persatuan.
Kembali duduk di bangku belakang, Hamka mendapati beberapa pihak belum puas, dan mengeluarkan perasaan masing-masing.
“Beberapa pemuda menuduh Divisi Komandan melalaikan kewajibannya (saat agresi militer Belanda Juli 1947 yang mengakibatkan gugurnya Walikota Bagindo Aziz Chan--red). Tidak bertahan, sehingga beberapa tempat penting jatuh ke tangan Belanda,” tulis Hamka.
Ada juga yang menuduh Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid tidak cakap menjalankan kewajibannya.
Sebagai tabiat anak Minangkabau, untuk melepas kasam, keluarkan apa yang terasa. Begitulah cara Datuak Batuah selaku pimpinan mengendalikan rapat.
Dia bertanya, ada lagi yang mau menyampaikan uneg-uneg?
Hamka pun menunjuk tangan. Datuak Batuah mempersilahkan lakon Muhamadiyah yang pernah jadi muridnya semasa di Sumatera Thawalib itu bersuara.
Semua mata menengok ke belakang. Ke arah Hamka.
“Supaya lekas sampai apa yang terasa,” kata Hamka, “panggilah Residen dan Divisi Komandan itu. Dakwa berhadapan. Cuma satu yang harus diingat, dakwa haruslah cukup bukti dan tuduhan haruslah beralasan. Karena sebagai manusia, mereka yang dituduh berhak pula mempertahankan diri.”
Pimpinan rapat bersetuju. Yang akan menuduh dicatat namanya. Rupanya, hanya dua orang yang menunjuk tangan. Seorang pemuda Hizbullah dan seorang ulama. Pimpinan mempersilahkan Residen Mr. Mohd. Rasyid dan Kolonel Ismail Lengah masuk ruangan.
Pemuda Hizbullah menuduh Komandan Divisi lalai menjaga kewajiban dan tidak bertanggungjawab. Dan ulama itu memberikan nasihat supaya pemimpin-pemimpin pemerintahan mendekati rakyat dan jangan melalaikan perintah Tuhan.
Tuduhan pertama dijawab Ismail Lengah. Kata dia, ilmu strategi tidak selalu menghendaki pertempuran berhadap-hadapan. Kalau persenjataan musuh lengkap, seratus kali lebih lengkap dari persenjataan kita, tidaklah boleh mengorbankan tentara kita berates-ratus dengan percuma.
“Mundur pada setengah waktu adalah taktik perjuangan belaka. Pertempuran menghadapi musuh mempunyai simpang siur yang bukan sedikit, dan sulit, di samping semangat yang berkobar, haruslah otak dingin dan ilmu yang luas dalam soal itu. Semangat saja tanpa perhitungan, artinya ialah bunuh diri,” papar Ismail Lengah, sebagaimana dikisahkan lagi oleh Hamka.
Si Pemuda Hizbullah tak lagi mendebat.
Kemudian giliran Residen Rasyid. Dia menerima nasehat ulama itu dengan penuh takzim. Bahkan bersedia meletakkan jabatan, kalau ada yang lebih ahli.
Tetapi kalau hanya akan menambah kesulitan, dia tidak akan melepaskan jabatannya, walau pun bagaimana. Sebab ini adalah tanggungjawab di hadapan Tuhan dan di hadapan tanah air.
Lapanglah perasaan hati masing-masing. Tidak ada debat lagi.
Kemudian, Hamka kembali unjuk tangan minta bicara. Setelah dipersilahkan Datuak Batuah, dia berdiri dengan wajah gembira. Panjang lebar dia memberikan pandangannya…
“Teranglah bahwa selama ini niat kita masih tetap satu, yaitu sama-sama menuju kemerdekaan! Cuma karena kurang bertemu, maka kita renggang! Sebab itu, mulai sekarang, pakailah filsafat saya…basuo-suo.
Bertemu-temulah kita sewaktu-waktu, buka yang terasa di hati. Menuduh-nuduh dari jauh dengan tidak dipertemukan sangatlah berbahaya. Dia akan memecah belah kita.”
Sumua orang tertawa. Suasana menjadi jernih. Filsafat basuo-suo itu lama hidup dalam ingatan urang awak. Basuo-suo dalam bahasa Indonesia artinya bersua-sua. Bertemu-temu. Berjumpa muka dan bertukar pikiran.
Menangkap suasana itu, pimpinan sidang pun memajukan topik rundingan. Menganjurkan menyusun tenaga dan menyatukannya, menghadapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta.
Anjuran itu mulai diterima dan dibicarakan dengan lancar. Tak ada bantah-bantahan lagi.
“Hampir semua wakil partai turut bicara. Semuanya menganjurkan persatuan. Tetapi wakil-wakil Masyumi yang dikepalai oleh Ilyas Ya’akub, kelihatan bersikap tenang saja, tidak ada yang bicara,” Hamka mengenang peristiwa bersejarah di malam panjang bulan puasa itu.
Akhirnya, sambung Hamka, Sutan Sulaiman wakil dari Partai Nasional Indonesia berkata, “kita sekarang minta penjelasan dari pihak Masyumi. Kalau mereka menyetujui pergabungan tenaga ini, membentuk front pertahanan rakyat, jadilah front ini. Tetapi kalau Masyumi berdiam diri tidak ada kerja yang akan menjadi.”
Semua muka menengok kepada wakil-wakil Masyumi, dan wakil Masyumi menengok ke wajah Ilyas Ya’akub. Akhirnya beliau minta bicara.
Tidak panjang. Dengan tenang, dia sampaikan, “segala usaha untuk mempertahankan tanah air dan mengerahkan rakyat kepada perjuangan, adalah kehendak Masyumi. Seruan wakil presiden wajib dilaksanakan dan Masyumi akan bekerjasama dalam segala usaha untuk itu.”
Orang-orang bertepuk tangan. Suasana kian jernih. Rapat pun bersepakat membentuk Front Pertahanan Nasional.
Untuk mengurus front tersebut, dari sayap kiri Khatib Sulaiman. Dari kaum ibu Rasuna Said. Dari Masyumi Oedin. Dari pihak pemuda Karim Halim.
Saat memilih ketua, Khatib Sulaiman langsung lantang bersuara, “Hamka!”.
“Hamka,” seru Sutan Sulaiman dari PNI. “Hamka,” sahut Datuak Batuah dari PKI. Dan seluruh unsur yang menghadiri rapat itu pun sahut menyahut menyebut nama, “Hamka!”.
Orang yang namanya disebut-sebut hanya terdiam. Tawa-nya pun terlihat hambar. Dalam hati dia berpikir, ini adalah politik. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya dia telah berjanji tidak akan masuk politik. Dia pernah kecewa berat dengan politik. Semenjak itu, dia menempuh jalur jurnalistik dan menulis buku.
Dalam kehampaan lamunan, tiba-tiba Residen Rasyid bersorak, “Hamka! Tampil kemuka!”
Apa yang terjadi selanjutnya? Dan, bagaimana nasib front persatuan rakyat itu? –bersambung
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Bung Hatta undur diri. Sang proklamator kemerdekaan Indonesia kelelahan setelah menempuh perjalanan darat dari Sumatera Timur.
Diiringi Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid dan Komandan Divisi Kolonel Ismail Lengah, Wakil Presiden Republik Indonesia itu meninggalkan ruang rapat di rumah tamu agung, seberang Jam Gadang, Bukittinggi.
Sebelum beranjak pergi, Hatta terlebih dahulu berpesan betapa pentingnya persatuan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Rapat kembali berlangsung. Alih-alih bersatu, orang-orang di ruang rapat itu malah berdebat.
Almanak bertarekh 1947. Kala itu, sebagaimana di Minangkabau, suasana psikologis massa di seluruh wilayah Republik Indonesia nyaris serupa.
Semua orang ingin berjuang. Semua orang berkobar semangatnya. Tetapi niat menyatukan tenaga, belumlah tumbuh. Sama sekali hanya hendak mengemukakan kekuatan sendiri dan hendak berjasa sendiri. Dan yang satu mencemburui yang lain.
Hamka yang duduk di barisan belakang pun beranjak keluar. Seorang reporter, berbekal tape recorder meminta Hamka berpidato untuk disiarkan di corong Radio Bukittinggi.
“Setelah pidato yang kira-kira 10 menit itu,” tulis Buya Hamka dalam buku Kenang2an Hidup jilid 4, dirinya hendak pulang ke penginapan, dan kembali ke Padang Panjang. “Tetapi di muka Jam Gedang, bertemu dengan seorang teman,” sambungnya.
Teman itu mengajak Hamka kembali memasuki ruang pertemuan di rumah tamu agung.
Berdasarkan pengakuan Hamka, sebetulnya dia agak malas karena jemu mendengar orang berdebat. Tetapi, karena keras ajakan kawan itu, dia pun ikut serta.
Dia bercerita, “sesampai di dalam, kelihatan di ruangan luar beberapa orang perwira, di antaranya Kolonel Ismail Lengah, Kolonel Syarif Usman dan Kolonel Dahlan Jambek.”
Melihat kedatangan Hamka, Syarif Usman berseri-seri. Seraya bersorak, “cobalah dengar! Di dalam telah terjadi debat sengit. Masuklah ke dalam. Campurilah dan ketengahilah.”
Hamka masuk. Dia mendapati Datuak Batuah memimpin rapat. Dengan ilmu jiwanya yang mempuni, menurut Hamka, perdebatan tersebut dikelola pimpinan tua dari Partai Komunis Indonesia itu menjadi musyawarah yang terarah.
Tajuk rapat seputar bagaimana melaksanakan seruan Bung Hatta; membangun persatuan.
Kembali duduk di bangku belakang, Hamka mendapati beberapa pihak belum puas, dan mengeluarkan perasaan masing-masing.
“Beberapa pemuda menuduh Divisi Komandan melalaikan kewajibannya (saat agresi militer Belanda Juli 1947 yang mengakibatkan gugurnya Walikota Bagindo Aziz Chan--red). Tidak bertahan, sehingga beberapa tempat penting jatuh ke tangan Belanda,” tulis Hamka.
Ada juga yang menuduh Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid tidak cakap menjalankan kewajibannya.
Sebagai tabiat anak Minangkabau, untuk melepas kasam, keluarkan apa yang terasa. Begitulah cara Datuak Batuah selaku pimpinan mengendalikan rapat.
Dia bertanya, ada lagi yang mau menyampaikan uneg-uneg?
Hamka pun menunjuk tangan. Datuak Batuah mempersilahkan lakon Muhamadiyah yang pernah jadi muridnya semasa di Sumatera Thawalib itu bersuara.
Semua mata menengok ke belakang. Ke arah Hamka.
“Supaya lekas sampai apa yang terasa,” kata Hamka, “panggilah Residen dan Divisi Komandan itu. Dakwa berhadapan. Cuma satu yang harus diingat, dakwa haruslah cukup bukti dan tuduhan haruslah beralasan. Karena sebagai manusia, mereka yang dituduh berhak pula mempertahankan diri.”
Pimpinan rapat bersetuju. Yang akan menuduh dicatat namanya. Rupanya, hanya dua orang yang menunjuk tangan. Seorang pemuda Hizbullah dan seorang ulama. Pimpinan mempersilahkan Residen Mr. Mohd. Rasyid dan Kolonel Ismail Lengah masuk ruangan.
Pemuda Hizbullah menuduh Komandan Divisi lalai menjaga kewajiban dan tidak bertanggungjawab. Dan ulama itu memberikan nasihat supaya pemimpin-pemimpin pemerintahan mendekati rakyat dan jangan melalaikan perintah Tuhan.
Tuduhan pertama dijawab Ismail Lengah. Kata dia, ilmu strategi tidak selalu menghendaki pertempuran berhadap-hadapan. Kalau persenjataan musuh lengkap, seratus kali lebih lengkap dari persenjataan kita, tidaklah boleh mengorbankan tentara kita berates-ratus dengan percuma.
“Mundur pada setengah waktu adalah taktik perjuangan belaka. Pertempuran menghadapi musuh mempunyai simpang siur yang bukan sedikit, dan sulit, di samping semangat yang berkobar, haruslah otak dingin dan ilmu yang luas dalam soal itu. Semangat saja tanpa perhitungan, artinya ialah bunuh diri,” papar Ismail Lengah, sebagaimana dikisahkan lagi oleh Hamka.
Si Pemuda Hizbullah tak lagi mendebat.
Kemudian giliran Residen Rasyid. Dia menerima nasehat ulama itu dengan penuh takzim. Bahkan bersedia meletakkan jabatan, kalau ada yang lebih ahli.
Tetapi kalau hanya akan menambah kesulitan, dia tidak akan melepaskan jabatannya, walau pun bagaimana. Sebab ini adalah tanggungjawab di hadapan Tuhan dan di hadapan tanah air.
Lapanglah perasaan hati masing-masing. Tidak ada debat lagi.
Kemudian, Hamka kembali unjuk tangan minta bicara. Setelah dipersilahkan Datuak Batuah, dia berdiri dengan wajah gembira. Panjang lebar dia memberikan pandangannya…
“Teranglah bahwa selama ini niat kita masih tetap satu, yaitu sama-sama menuju kemerdekaan! Cuma karena kurang bertemu, maka kita renggang! Sebab itu, mulai sekarang, pakailah filsafat saya…basuo-suo.
Bertemu-temulah kita sewaktu-waktu, buka yang terasa di hati. Menuduh-nuduh dari jauh dengan tidak dipertemukan sangatlah berbahaya. Dia akan memecah belah kita.”
Sumua orang tertawa. Suasana menjadi jernih. Filsafat basuo-suo itu lama hidup dalam ingatan urang awak. Basuo-suo dalam bahasa Indonesia artinya bersua-sua. Bertemu-temu. Berjumpa muka dan bertukar pikiran.
Menangkap suasana itu, pimpinan sidang pun memajukan topik rundingan. Menganjurkan menyusun tenaga dan menyatukannya, menghadapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta.
Anjuran itu mulai diterima dan dibicarakan dengan lancar. Tak ada bantah-bantahan lagi.
“Hampir semua wakil partai turut bicara. Semuanya menganjurkan persatuan. Tetapi wakil-wakil Masyumi yang dikepalai oleh Ilyas Ya’akub, kelihatan bersikap tenang saja, tidak ada yang bicara,” Hamka mengenang peristiwa bersejarah di malam panjang bulan puasa itu.
Akhirnya, sambung Hamka, Sutan Sulaiman wakil dari Partai Nasional Indonesia berkata, “kita sekarang minta penjelasan dari pihak Masyumi. Kalau mereka menyetujui pergabungan tenaga ini, membentuk front pertahanan rakyat, jadilah front ini. Tetapi kalau Masyumi berdiam diri tidak ada kerja yang akan menjadi.”
Semua muka menengok kepada wakil-wakil Masyumi, dan wakil Masyumi menengok ke wajah Ilyas Ya’akub. Akhirnya beliau minta bicara.
Tidak panjang. Dengan tenang, dia sampaikan, “segala usaha untuk mempertahankan tanah air dan mengerahkan rakyat kepada perjuangan, adalah kehendak Masyumi. Seruan wakil presiden wajib dilaksanakan dan Masyumi akan bekerjasama dalam segala usaha untuk itu.”
Orang-orang bertepuk tangan. Suasana kian jernih. Rapat pun bersepakat membentuk Front Pertahanan Nasional.
Untuk mengurus front tersebut, dari sayap kiri Khatib Sulaiman. Dari kaum ibu Rasuna Said. Dari Masyumi Oedin. Dari pihak pemuda Karim Halim.
Saat memilih ketua, Khatib Sulaiman langsung lantang bersuara, “Hamka!”.
“Hamka,” seru Sutan Sulaiman dari PNI. “Hamka,” sahut Datuak Batuah dari PKI. Dan seluruh unsur yang menghadiri rapat itu pun sahut menyahut menyebut nama, “Hamka!”.
Orang yang namanya disebut-sebut hanya terdiam. Tawa-nya pun terlihat hambar. Dalam hati dia berpikir, ini adalah politik. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya dia telah berjanji tidak akan masuk politik. Dia pernah kecewa berat dengan politik. Semenjak itu, dia menempuh jalur jurnalistik dan menulis buku.
Dalam kehampaan lamunan, tiba-tiba Residen Rasyid bersorak, “Hamka! Tampil kemuka!”
Apa yang terjadi selanjutnya? Dan, bagaimana nasib front persatuan rakyat itu? –bersambung
jpnn.com - SERIAL KETIGA sejarah bersatunya urang awak dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Sebagaimana dikisahkan dalam dua serial sebelumnya, akhir Juli 1947, Wakil Presiden Mohd. Hatta pulang kampung dan mengundang seluruh unsur kekuatan rakyat Minangkabau berunding, di rumah tamu agung, depan Jam Gadang, Bukittinggi.
Rapat dipimpin Datuak Batuah, tokoh gaekdari Partai Komunis Indonesia (PKI). Bermula dari debat keras tak terarah, menjadi semangat kesatuan perjuangan yang terarah.
Masyarakat adat, kaum nasionalis, agama, komunis, saudagar hingga pendekar di Ranah Minang bersatu. Bersepakat membentuk Front Pertahanan Nasional (FPN).
“Anggotanya ialah seluruh partai partai politik dan perkumpulan sosial dan ekonomi di Sumatera Barat, dan seluruh barisan rakyat kecuali TNI. Seluruh gerakan kaum ibu, seluruh gerakan pemuda,” tulis Buya Hamka dalam otobiografinya Kenang2an Hidup.
Seluruh yang hadir satu suara memilih Buya Hamka menjadi Ketua. Sekretarisnya Khatib Sulaiman dari unsur sayap kiri. Oedin dari Masyumi mengepalai urusan barisan. Karim Halim dari Partai Sosialis mengepalai urusan pemuda. Rasuna Said mengepalai seluruh urusan gerakan wanita.
Lambang FPN, sebagaimana dicatat Buya Hamka, tinju besar yang padat berwarna merah. Dasarnya putih dikelilingi rantai.
Persatuan urang awak itu kuat, “laksana tinju yang bulat, karena tujuan nasionallah yang diketemukan, yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” kenang Hamka.
Setelah perundingan semalam suntuk nan bersejarah di bulan puasa itu, selanjutnya pada malam 2 Agustus 1947 diadakan lagi perundingan membahas anggaran dasar, program dan pekerjaan front persatuan, di Hotel Merdeka.
Sidang dimulai setelah sama-sama mendengarkan pidato Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang disiarkan melalui radio.
FPN dideklarasikan pada 12 Agustus 1947 di gedung bioskop Cinema Theater Bukittinggi.
Organisasi persatuan ini bertalian langsung dengan Dewan Pertahanan Daerah (DPD) yang didirikan atas gagasan Khatib Sulaiman, sekretaris FPN.
Karena menghebatnya serangan Belanda, didirikan pula Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK).
Seruannya, setiap anak Minang dari umur 17 hingga 35 tahun, yang di kampung menjaga kampung, yang di kota menjaga kota.
“Maka dalam sebentar waktu saja, lebih kurang 500 ribu pemuda di seluruh alam Minangkabau telah belajar perang. Tentara resmi dan barisan rakyat melatih pemuda-pemuda itu dalam peperangan gerilya,” tulis Hamka.
“Dalam sebentar waktu pula, selain bambu runcing sebagai peneguh semangat, apar-apar besi seluruh Minang, telah bergerak memancarkan api, menitik lading, pisau dan senapan. Pandai-pandai besi di Sungaipuar pandai membuat bedil meniru buatan pabrik Eropa,” sambungnya.
Dengan mobil SB 9, dua sekondan itu, Buya Hamka dan Khatib Sulaiman telah mengelilingi Sumatera Barat, “dan kalau perlu mendaki bukit, melereng ke lurah, naik sampan dan biduk, menjalani negeri-negeri dan kampung menggembleng semangat.”
Terbentuknya FPN telah mulai menyatukan kehendak-kehendak yang berbagai warna selama ini. Dan mengurangi meluapnya sentimen.
FPN sebagai gabungan tenaga rakyat, telah turut berusaha membangunkan persatu paduan rakyat di dalam mendukung revolusi.
Hal yang cukup menonjol dan dikenang-kenang rakyat tentang FPN antara lain demonstrasi besar-besaran. Long march. Aksi massa saat utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa datang ke Bukittinggi. Bagaimana jalannya aksi di bawah Jam Gadang itu?
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Sebagaimana dikisahkan dalam dua serial sebelumnya, akhir Juli 1947, Wakil Presiden Mohd. Hatta pulang kampung dan mengundang seluruh unsur kekuatan rakyat Minangkabau berunding, di rumah tamu agung, depan Jam Gadang, Bukittinggi.
Rapat dipimpin Datuak Batuah, tokoh gaekdari Partai Komunis Indonesia (PKI). Bermula dari debat keras tak terarah, menjadi semangat kesatuan perjuangan yang terarah.
Masyarakat adat, kaum nasionalis, agama, komunis, saudagar hingga pendekar di Ranah Minang bersatu. Bersepakat membentuk Front Pertahanan Nasional (FPN).
“Anggotanya ialah seluruh partai partai politik dan perkumpulan sosial dan ekonomi di Sumatera Barat, dan seluruh barisan rakyat kecuali TNI. Seluruh gerakan kaum ibu, seluruh gerakan pemuda,” tulis Buya Hamka dalam otobiografinya Kenang2an Hidup.
Seluruh yang hadir satu suara memilih Buya Hamka menjadi Ketua. Sekretarisnya Khatib Sulaiman dari unsur sayap kiri. Oedin dari Masyumi mengepalai urusan barisan. Karim Halim dari Partai Sosialis mengepalai urusan pemuda. Rasuna Said mengepalai seluruh urusan gerakan wanita.
Lambang FPN, sebagaimana dicatat Buya Hamka, tinju besar yang padat berwarna merah. Dasarnya putih dikelilingi rantai.
Persatuan urang awak itu kuat, “laksana tinju yang bulat, karena tujuan nasionallah yang diketemukan, yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” kenang Hamka.
Setelah perundingan semalam suntuk nan bersejarah di bulan puasa itu, selanjutnya pada malam 2 Agustus 1947 diadakan lagi perundingan membahas anggaran dasar, program dan pekerjaan front persatuan, di Hotel Merdeka.
Sidang dimulai setelah sama-sama mendengarkan pidato Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang disiarkan melalui radio.
FPN dideklarasikan pada 12 Agustus 1947 di gedung bioskop Cinema Theater Bukittinggi.
Organisasi persatuan ini bertalian langsung dengan Dewan Pertahanan Daerah (DPD) yang didirikan atas gagasan Khatib Sulaiman, sekretaris FPN.
Karena menghebatnya serangan Belanda, didirikan pula Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK).
Seruannya, setiap anak Minang dari umur 17 hingga 35 tahun, yang di kampung menjaga kampung, yang di kota menjaga kota.
“Maka dalam sebentar waktu saja, lebih kurang 500 ribu pemuda di seluruh alam Minangkabau telah belajar perang. Tentara resmi dan barisan rakyat melatih pemuda-pemuda itu dalam peperangan gerilya,” tulis Hamka.
“Dalam sebentar waktu pula, selain bambu runcing sebagai peneguh semangat, apar-apar besi seluruh Minang, telah bergerak memancarkan api, menitik lading, pisau dan senapan. Pandai-pandai besi di Sungaipuar pandai membuat bedil meniru buatan pabrik Eropa,” sambungnya.
Dengan mobil SB 9, dua sekondan itu, Buya Hamka dan Khatib Sulaiman telah mengelilingi Sumatera Barat, “dan kalau perlu mendaki bukit, melereng ke lurah, naik sampan dan biduk, menjalani negeri-negeri dan kampung menggembleng semangat.”
Terbentuknya FPN telah mulai menyatukan kehendak-kehendak yang berbagai warna selama ini. Dan mengurangi meluapnya sentimen.
FPN sebagai gabungan tenaga rakyat, telah turut berusaha membangunkan persatu paduan rakyat di dalam mendukung revolusi.
Hal yang cukup menonjol dan dikenang-kenang rakyat tentang FPN antara lain demonstrasi besar-besaran. Long march. Aksi massa saat utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa datang ke Bukittinggi. Bagaimana jalannya aksi di bawah Jam Gadang itu?
Sumber: https://www.jpnn.com/news/rahasia-persatuan-pahlawan-kemerdekaan-indonesia-3
jpnn.com, JAKARTA - Munculnya keinginan untuk mendefinisikan pahlawan dengan definisi baru, seperti anti hoax dan lainnya, dinilai terlalu cepat oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah.
Alasannya, karena masyarakat belum terlalu mendalami atau mengendapkan dalam perasaan dan pikiran tentang nilai-nilai kepahlawanan sesungguhnya seperti keberanian, kesukarelawanan, kemudian dedikasi, pengabdian, kekuatan hati, kemantapan dan idealisme.
“Tentunya yang ada pada mereka (para pahlawan), yang berjuang tanpa pamrih untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Fahri melalui pesan singkatnya, Sabtu (10/11).
Jadi, lanjut Fahri, internalisasi nilai-nilai itu yang diendapkan di dalam diri suatu bangsa, itu lebih penting untuk diutamakan terlebih dahulu, sebelum kita terjebak pada penciptaan definisi-definisi kepahlawanan baru yang kadang-kadang terlalu dilumuri oleh propaganda yang sebetulnya kadang-kadang bias oleh kepentingan rezim yang sedang berkuasa.
“Jadi, jangan karena rezim ini punya musuh yang tidak sanggup diatasinya, lalu rakyat dipaksa untuk menyetujui bahwa melawan musuh penguasa itu sebagai kepahlawanan,” ucap politisi dari PKS itu lagi.
Padahal, kita akhirnya menjadi korban dari ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah itu. Seperti memperjuangkan pluralisme, keadilan, membela kebenaran dan anti kriminalisasi, menciptakan lapangan pekerjaan, mengatasi kemiskinan dan lainnya itu sebenarnya fungsi negara.
“Jangan gara-gara negara atau pemerintah gagal mengatasi itu, lalu kita dipaksa untuk membuat definisi baru tentang kepahlawanan itu yang akhirnya bias, penguasa mengandung propaganda,” ujarnya.
Jadi, masih menurut Fahri Hamzah, lebih baik bangsa ini kembali kenilai dasarnya lebih dahulu, karena itu yang membuat bangsa ini tidak meleset dan itu payungnya. Kalau itu ada pada negara atau pemerintah, dirinya yakin itu otomatis akan menjadi milik rakyat, dan beban-beban itu akan ditanggung bersama
“Kita ini bangsa pemikul beban, dan salah satu watak pahlawan yang sangat penting adalah kesukarelawanannya dan kemampua nya memikul beban orang. Saya kira itu yang esensial, daripada kita terlalu spesifik,” pungkasnya.(jpnn)
sumber;https://www.jpnn.com/news/fahri-hamzah-terlalu-cepat-mendefinisikan-pahlawan?page=2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar