Khashoggi dan Pembicaraan tentang Tuhan di Istanbul
Ahad 09 Des 2018 07:47 WIB
Red: Elba Damhuri
REPUBLIKA.CO.ID
Oleh: Agus Khudlori,
Alumni Universitas al-Azhar Mesir/Direktur Andalusia Publisher Jakarta
Kasus tewasnya wartawan kritis Arab Saudi, Jamal Khashoggi, yang dieksekusi “dead squad” di dalam gedung Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, mengingatkan saya saat berkunjung ke negara itu pada 24 Juli lalu. Saya teringat perbincangan hangat dengan salah seorang warga Turki di salah satu sudut kota Istanbul.
Namanya Vedat Polat. Seorang warga Turki dari etnis Kurdi. Dia pelayan Million Restaurant & Cafe di kompleks Masjid Sultan Ahmed (Blue Mosque) dan Aya Sofia.
Dibanding beberapa pelayan lain di restoran itu, Vedat adalah yang paling komunikatif, humoris, dan menyenangkan. Ditambah, dia pula yang tampaknya paling jago berbahasa Inggris.
Usai melaksanakan shalat Ashar di Masjid Sultan Ahmed, saya mampir ke restoran itu bersama Ustaz Dodi. Setelah memesan secangkir cay (teh), airan (sejenis yoghurt), baklava dan nasi daging, kami mengajak Vedat berbincang santai.
Dia pun sangat antusias meladeni obrolan kami di sela-sela menjalankan tugasnya melayani pelanggan. Rupanya, pria 28 tahun ini pernah berkunjung ke Indonesia. Alasan itulah akhirnya kami akrab berbincang dengannya.
“Sorry to say. Tapi Jakarta adalah kota yang kotor. Padahal itu Ibu Kota kalian,” katanya dalam bahasa Inggris.
Kami hanya mengangguk-angguk mendengar itu. Memang, jika dibandingkan dengan Istanbul, Jakarta kalah jauh soal ketertiban dan kebersihan. Di kota ini, jarang sekali ada sampah tergeletak di jalanan atau kendaraan yang parkir sembarangan sehingga menyebabkan kemacetan.
Sore itu, suasana seputar area Aya Sofia sedang ramai. Para wisatawan lalu lalang di depan restoran terbuka tersebut. Vedat dengan sigap berusaha “menggoda” para pelancong yang lewat untuk mampir ke restorannya. Banyak di antaranya wisatawan Arab.
Saat beberapa kaum wanita melintas, Vedat berusaha bersikap akrab dengan ungkapan bahasa Arab seadanya, “Habibi, silakan mampir.” Demikian kata itu selalu dia lontarkan dengan manis setiap kali wisatawan kaum Hawa melintas di depan restorannya. Orang yang disapa pun tersenyum-senyum mendengar rayuan gombalnya itu.
Kata “habibi” berarti “sayangku” atau “cintaku” atau “kasihku” atau yang sejenis dengan itu. Di Arab sana, kata itu merupakan panggilan akrab yang biasa diucapkan oleh semua orang kepada semua orang. Tak mesti oleh seorang kekasih kepada kekasihnya.
Ia biasa diucapkan seseorang kepada temannya, seorang bapak kepada anaknya, kakak kepada adiknya, dan sebagainya. Namun, kata “habibi” adalah panggilan bagi kaum laki-laki.
Adapun jika yang diseru adalah kaum Hawa, maka orang Arab akan memanggilnya dengan kata “habibti.” Sebuah dialek nonformal-verbal Arab yang berasal dari bahasa formal “habibati.”
Mengetahui bahwa Vedat menggunakan bahasa yang kurang tepat untuk menyapa calon pelanggan, maka saya pun berusaha memberitahunya. Dia segera mengubah bahasanya setelah mendengar sedikit penjelasan dari saya, tanpa sedikit pun mengurangi cara dia yang menyenangkan dalam menggaet pelanggan.
Tiba-tiba, Ustaz Dodi yang duduk di depan saya bertanya kepada Vedat jika banyak di antara wisatawan Istanbul adalah wisatawan asal Arab Saudi, termasuk yang melintas di depan restoran tadi. Vedat membenarkannya. Ustaz yang sering bolak-balik Jakarta-Istanbul ini kemudian bercerita jika dia sering berada satu pesawat dengan rombongan wisatawan Saudi.
Mereka, kata dia, kaum wanitanya rata-rata berpakaian gelap, lebar dan berpurdah. Namun, itu hanya terjadi selama di udara. Pemandangan itu seketika lenyap tatkala pesawat telah mendarat di Istanbul.
“Mereka melepas semua penutup kepala dan wajahnya. Bahkan, mereka berganti pakaian seksi-seksi. Mengapa seperti itu?” tanya si Ustaz kepada Vedat.
Ustaz Dodi menegaskan bahwa dia tidak salah lihat, sebab dia juga mengamati pasangan mereka masing-masing. Nyatanya, usai keluar dari toilet bandara, penampilan mereka berubah 180 derajat!
Demi mendengar pertanyaan itu, jawaban Vedat sungguh di luar dugaan. Sambil meringis, dia menjawab datar, “Karena mereka pikir Tuhan tak hadir di Istanbul.”
Sebuah jawaban yang “terlalu istimewa” untuk dilontarkan oleh seorang pelayan kafe. Singkat, padat, menohok, sekaligus menyenangkan. Sontak, kami semua terkekeh, termasuk Vedat sendiri.
“Barangkali mereka pikir Tuhan hanya ada di Ka’bah,” saya menimpali. Kami pun kembali terkekeh.
Saat kami pamit untuk melaksanakan shalat Magrib, kami berbasa-basi mengajaknya untuk ikut ke masjid seraya menanyakan apakah dia seorang muslim. “Sometimes,” jawabnya sambil nyengir.
Katanya, dia kadang-kadang saja Muslim. Sebab kadang-kadang dia shalat, kadang-kadang tidak. Sambil mengangkat tangannya ala orang berdoa, dia lalu berujar kepada kami, “Jangan lupa doakan saya ya di masjid!”
Kembali ke kasus Khashoggi. Ibarat puzzle, satu per satu serpihan misteri kasus ini mulai ditemukan. Meskipun pada awalnya pemerintah Arab Saudi berusaha menutupinya melalui pernyataan yang mencla-mencle, namun sedikit demi sedikit tabir gelap mulai tersingkap.
Mulanya, Riyadh membantah telah menghabisi sang jurnalis dan menyatakan ia telah meninggalkan kantor konsulat tanpa lecet sedikit pun. Setelah muncul berbagai desakan dari dunia internasional dan investigasi internal pemerintah Turki, Riyadh akhirnya mengakui bahwa Khashoggi tewas akibat perkelahian di dalam gedung konsuler.
Pengakuan “aneh” ini tak memuaskan Istanbul dan dunia internasional. Maka, muncullah laporan Istanbul yang didapat dari hasil rekaman audio maupun visual bahwa Khashoggi benar-benar tewas dieksekusi.
Telunjuk Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan langsung menunjuk level tertinggi Saudi sebagai pemberi perintah pelenyapan Khashoggi. Maka, Riyadh pun gaduh. Apalagi, muncul pula laporan CIA yang mengklaim memiliki bukti bahwa tangan Sang Putra Mahkota, Muhammad bin Salman (MBS), berlumuran darah Khashoggi.
Riyadh pun akhirnya terpaksa menerima tudingan Istanbul bahwa pembunuhan itu telah direncanakan. Yang terbaru, terkuak fakta bahwa jasad Khashoggi dimutilasi. Kendati demikian, sampai detik ini Saudi belum mau jujur di mana jasad tunangan Hatice Cengiz dilenyapkan dan bersikukuh bahwa MBS “bersih dari segala tuduhan.”
Terlepas dari itu, mengapa “regu pembunuh” yang didrop dari Riyadh itu lantas berani melancarkan eksekusi terhadap sang jurnalis di Istanbul dan begitu pede aksi mereka tak akan ketahuan? Betul, mereka pede. Jika tidak, tentu mereka akan berpikir seribu kali sebelum melakukan aksi keji itu. Sebab, konsekuensi yang harus ditanggung sangatlah berat jika aksi mereka sampai terbongkar.
Minimal, mereka harus menghadapi regu pancung, baik karena dianggap mempermalukan negara maupun karena qishash: mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, nyawa dibalas nyawa. Tapi toh mereka tetap menjalankan misi jahat itu. Apa sebab?
Jawabannya bisa jadi seperti diungkapkan Vedat Polat: karena mereka pikir Tuhan tak hadir di Istanbul. Dia hanya hadir di Saudi, tempat bernaungnya dua Tanah Suci, Mekah dan Madinah. Di luar itu, kejahatan-kejahatan boleh saja dilakukan tanpa khawatir akan murka Tuhan.
Maka tak heran, segera setelah misi melenyapkan Khashoggi berhasilkan dijalankan, para algojo itu bersenang-senang. Sayangnya mereka lupa, meski tak hadir, Tuhan mengutus para “malaikat”-Nya di sekitar lokasi mereka menumpahkan darah Khashoggi. Malaikat itu senantiasa mengintai setiap gerak-gerik mereka.
Malaikat itu bahkan mengetahui penyamaran salah seorang algojo yang memakai pakaian Khashoggi usai menghilangkan nyawanya, namun lupa mengganti sepatu. Ia juga mendengar percakapan seorang dokter forensik yang diduga sebagai “jagal” bagi jurnalis 59 tahun itu, yang mengatakan bahwa dia melakukan tugas itu sambil mendengarkan musik. Allah yarham Jamal Khashoggi!
sumber:
https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/12/09/pjg27c440-khashoggi-dan-pembicaraan-tentang-tuhan-di-istanbul