Dihantui kemungkinan adanya unjuk rasa susulan, puluhan WNI kembali mendatangi bandara Hong Kong, Selasa (13/08), untuk pulang ke Indonesia setelah sempat terjebak unjuk rasa di bandara itu pada Senin.
Selasa pagi, sekitar pukul 09.15 waktu setempat, 47 orang atlet renang DKI Jakarta serta pelatih dan pengurusnya, meninggalkan Kantor KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Hong Kong, menuju bandara.
Rombongan ini terdiri tim pelatda DKI Jakarta yang berjumlah 28 orang serta tim renang mahasiswa (PPLM) Jakarta berjumlah 19 orang.
- Protes Hong Kong: Seberapa parah pariwisata Hong Kong kena dampaknya?
- Protes Hong Kong: Unjuk rasa selesai, bandara Hong Kong kembali beroperasi
- Protes Hong Kong: Ribuan orang duduki bandara, 160 penerbangan dibatalkan
Menurut pelatihnya, para atlet renang ini berada di Hong Kong untuk melakukan try out dalam kejuaraan renang Hong Kong Open 2019.
Mereka menginap di kantor konsulat setelah dijemput pihak KJRI di bandara Hong Kong pada Senin malam setelah penerbangan mereka ditunda karena pengunjukrasa memblokade bandara.
Selain atlet renang asal Jakarta, ada sekitar 20 WNI lainnya, seperti pekerja migran dan perorangan, yang sempat terjebak di bandar udara Hong Kong, sehingga tertunda penerbangannya, kata pejabat KJRI.
"Kita sedang mempersiapkan keberangkatan (puluhan WNI) untuk balik ke bandara untuk memproses penerbangan ke Indonesia," kata Pelaksana Tugas Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Mandala Purba, saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, Selasa pagi.
Mereka memutuskan kembali ke bandara setelah mendapat kepastian bahwa bandara "sudah dibuka kembali" dan kepastian "adanya penerbangan", kata Mandala.
Sementara, pelatih renang DKI Jakarta, Albert Sutanto, mengatakan pihaknya memutuskan lebih awal mendatangi bandara untuk mengantisipasi kemungkinan adanya unjuk rasa susulan pada Selasa siang atau sore.
Sebagai opsi pertama, mereka akan meninggalkan Hong Kong pada penerbangan Chatay Pasific sekitar pukul 15.00 atau opsi keduanya pada sekitar pukul 19.00.
"Kita belum tahu penerbangan jam berapa," kata Albert, saat dihubungi BBC News Indonesia melalui sambungan telepon dari Jakarta, Selasa.
Saat dihubungi, Albert dan tim renang Indonesia baru saja meninggalkan KJRI di Hong Kong, sekitar pukul 09.05 WIB untuk menuju bandara Hong Kong, dengan mengendarai bus.
Sesuai masukan dari KJRI, mereka memutuskan lebih awal ke bandara untuk mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa akan terulang.
"Kalau naik yang jam 19.00 waktu setempat, kita dengar ada demo lagi antara pukul dua dan tiga. Jadi, kalau bisa kita sudah berada di dalam airport," papar Albert.
Belum lagi kalau nanti aparat kepolisian Hong Kong memblokade pengunjuk rasa dari kawasan bandara, tambahnya. "Kita takut enggak bisa masuk ke bandara juga."
'Saya khawatir ada bentrokan pendemo dan polisi?
Pelatih timnas renang DKI Jakarta, Albert Sutanto, yang bersama rombongannya sempat terjebak sekitar lima jam, mengaku dirinya sempat "takut" jika unjuk rasa di bandar udara Hong Kong itu berakhir bentrok.
"Yang kita khawatirkan kalau terjadi bentrokan antara polisi dan massa," ungkap Albert saat dihubungi melalui telepon.
Apalagi, setelah melihat tayangan live televisi di bandara yang memperlihatkan kemungkinan aparat kepolisian akan melakukan sweeping di bandara.
Di titik inilah, Albert mulai risau dan agak khawatir bahwa bakal terjadi bentrokan terbuka antara pengunjukrasa dan polisi.
"Polisi kalau sudah sweeping, biasanya mereka tidak melihat lagi (apakah pendemo atau warga biasa), dan kita takut terkena dampaknya," katanya. "Kita takut terkena pukulan, lemparan benda keras."
Mereka kemudian memutuskan ke Terminal Dua dengan asumsi bahwa lokasi itu lebih sepi dan tidak dijangkau pengunjukrasa.
"Karena itulah, kami kemudian memutuskan untuk pindah ke Terminal Dua, sebelum aparat kepolisian datang," katanya.
Selain memikirkan kemungkinan adanya bentrokan, Albert mengaku memikirkan pula keluarganya di Jakarta yang ingin terus mengetahui kondisinya di Hong Kong. "Mereka yang khawatir," ujarnya.
Untuk menenangkan keluarganya, dia mengirimkan video pendek dan foto-foto dari bandara saat dirinya dan rekan-rekannya terjebak.
"Dan keluarga saya merasa tenang, setelah saya kabarkan bahwa kami sudah diamankan oleh KJRI yang datang menjemput kami," ungkapnya.
Bagaimanapun, menurutnya, dirinya agak tenang lantaran aksi tersebut berjalan damai, "Kita orang Indonesia, demo di Indonesia justru lebih mengerikan. Di sini mereka tidak anarkis, mungkin karena lebih berpendidikan. Mereka tidak merusak, bahkan mereka memberi minuman dan makanan," ungkap Sutanto.
Sepengetahuannya, massa pendemo hanya meneriakkan pernyataan dan tuntutannya, tetapi tanpa ada aksi kekerasan.
Dihantui kemungkinan adanya unjuk rasa susulan, puluhan WNI kembali mendatangi bandara Hong Kong, Selasa (13/08), untuk pulang ke Indonesia setelah sempat terjebak unjuk rasa di bandara itu pada Senin.
Selasa pagi, sekitar pukul 09.15 waktu setempat, 47 orang atlet renang DKI Jakarta serta pelatih dan pengurusnya, meninggalkan Kantor KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Hong Kong, menuju bandara.
Rombongan ini terdiri tim pelatda DKI Jakarta yang berjumlah 28 orang serta tim renang mahasiswa (PPLM) Jakarta berjumlah 19 orang.
- Protes Hong Kong: Seberapa parah pariwisata Hong Kong kena dampaknya?
- Protes Hong Kong: Unjuk rasa selesai, bandara Hong Kong kembali beroperasi
- Protes Hong Kong: Ribuan orang duduki bandara, 160 penerbangan dibatalkan
Menurut pelatihnya, para atlet renang ini berada di Hong Kong untuk melakukan try out dalam kejuaraan renang Hong Kong Open 2019.
Mereka menginap di kantor konsulat setelah dijemput pihak KJRI di bandara Hong Kong pada Senin malam setelah penerbangan mereka ditunda karena pengunjukrasa memblokade bandara.
Selain atlet renang asal Jakarta, ada sekitar 20 WNI lainnya, seperti pekerja migran dan perorangan, yang sempat terjebak di bandar udara Hong Kong, sehingga tertunda penerbangannya, kata pejabat KJRI.
"Kita sedang mempersiapkan keberangkatan (puluhan WNI) untuk balik ke bandara untuk memproses penerbangan ke Indonesia," kata Pelaksana Tugas Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Mandala Purba, saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, Selasa pagi.
Mereka memutuskan kembali ke bandara setelah mendapat kepastian bahwa bandara "sudah dibuka kembali" dan kepastian "adanya penerbangan", kata Mandala.
Sementara, pelatih renang DKI Jakarta, Albert Sutanto, mengatakan pihaknya memutuskan lebih awal mendatangi bandara untuk mengantisipasi kemungkinan adanya unjuk rasa susulan pada Selasa siang atau sore.
Sebagai opsi pertama, mereka akan meninggalkan Hong Kong pada penerbangan Chatay Pasific sekitar pukul 15.00 atau opsi keduanya pada sekitar pukul 19.00.
"Kita belum tahu penerbangan jam berapa," kata Albert, saat dihubungi BBC News Indonesia melalui sambungan telepon dari Jakarta, Selasa.
Saat dihubungi, Albert dan tim renang Indonesia baru saja meninggalkan KJRI di Hong Kong, sekitar pukul 09.05 WIB untuk menuju bandara Hong Kong, dengan mengendarai bus.
Sesuai masukan dari KJRI, mereka memutuskan lebih awal ke bandara untuk mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa akan terulang.
"Kalau naik yang jam 19.00 waktu setempat, kita dengar ada demo lagi antara pukul dua dan tiga. Jadi, kalau bisa kita sudah berada di dalam airport," papar Albert.
Belum lagi kalau nanti aparat kepolisian Hong Kong memblokade pengunjuk rasa dari kawasan bandara, tambahnya. "Kita takut enggak bisa masuk ke bandara juga."
'Saya khawatir ada bentrokan pendemo dan polisi?
Pelatih timnas renang DKI Jakarta, Albert Sutanto, yang bersama rombongannya sempat terjebak sekitar lima jam, mengaku dirinya sempat "takut" jika unjuk rasa di bandar udara Hong Kong itu berakhir bentrok.
"Yang kita khawatirkan kalau terjadi bentrokan antara polisi dan massa," ungkap Albert saat dihubungi melalui telepon.
Apalagi, setelah melihat tayangan live televisi di bandara yang memperlihatkan kemungkinan aparat kepolisian akan melakukan sweeping di bandara.
Di titik inilah, Albert mulai risau dan agak khawatir bahwa bakal terjadi bentrokan terbuka antara pengunjukrasa dan polisi.
"Polisi kalau sudah sweeping, biasanya mereka tidak melihat lagi (apakah pendemo atau warga biasa), dan kita takut terkena dampaknya," katanya. "Kita takut terkena pukulan, lemparan benda keras."
Mereka kemudian memutuskan ke Terminal Dua dengan asumsi bahwa lokasi itu lebih sepi dan tidak dijangkau pengunjukrasa.
"Karena itulah, kami kemudian memutuskan untuk pindah ke Terminal Dua, sebelum aparat kepolisian datang," katanya.
Selain memikirkan kemungkinan adanya bentrokan, Albert mengaku memikirkan pula keluarganya di Jakarta yang ingin terus mengetahui kondisinya di Hong Kong. "Mereka yang khawatir," ujarnya.
Untuk menenangkan keluarganya, dia mengirimkan video pendek dan foto-foto dari bandara saat dirinya dan rekan-rekannya terjebak.
"Dan keluarga saya merasa tenang, setelah saya kabarkan bahwa kami sudah diamankan oleh KJRI yang datang menjemput kami," ungkapnya.
Bagaimanapun, menurutnya, dirinya agak tenang lantaran aksi tersebut berjalan damai, "Kita orang Indonesia, demo di Indonesia justru lebih mengerikan. Di sini mereka tidak anarkis, mungkin karena lebih berpendidikan. Mereka tidak merusak, bahkan mereka memberi minuman dan makanan," ungkap Sutanto.
Sepengetahuannya, massa pendemo hanya meneriakkan pernyataan dan tuntutannya, tetapi tanpa ada aksi kekerasan.
Mengapa sampai 'bertahan' di bandara Hong Kong hingga lima jam?
Pada Senin, rombongan atlet renang DKI Jakarta menuju bandara Hong Kong untuk kembali ke Indonesia.
Saat tiba di bandara Hong Kong sekitar pukul 16.00 waktu setempat, Senin (12/08), Albert mengaku sempat "bingung" berada di antara "lautan manusia" yang semuanya mengenakan baju hitam.
"Kebingungan kami bertambah, karena saat tiba di counter Cathay, counter-counternya sudah diduduki pengunjukrasa," ungkap Albert saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, sekitar pukul 09.15 WIB, Selasa (13/08).
"Dan di sana tidak ada petugas Cathay," tambahnya.
Di hadapkan ketidakpastian, Albert dan rombongan berusaha mencari informasi tentang kepastian keberangkatan mereka kembali ke Indonesia. Tapi hasilnya nihil. "Ternyata memang tidak ada yang bekerja saat itu," ujarnya.
Walaupun mereka akhirnya memahami kemungkinan penerbangannnya ditunda, rombongan WNI ini masih berharap pada penerbangan sekitar pukul 12 malam. Toh harapan ini juga kandas. "Karena semua penerbangan dicancel seketika."
Mereka kemudian memutuskan ke Terminal Dua dengan asumsi bahwa lokasi itu lebih sepi dan tidak dijangkau pengunjukrasa.
"Di sana kita duduk-duduk dan berusaha kontak KJRI. Dan mereka tanggap dan langsung datang," jelasnya. Mereka kemudian 'diamankan', diberi makanan dan dijemput untuk dilarikan ke KJRI.
Setelah tertahan di bandara Hong Kong sejak pukul empat sore, mereka akhirnya meninggalkannya sekitar pukul 23.00 waktu setempat. "Jadi kita terjebak lebih dari lima jam."
Pada Senin, rombongan atlet renang DKI Jakarta menuju bandara Hong Kong untuk kembali ke Indonesia.
Saat tiba di bandara Hong Kong sekitar pukul 16.00 waktu setempat, Senin (12/08), Albert mengaku sempat "bingung" berada di antara "lautan manusia" yang semuanya mengenakan baju hitam.
"Kebingungan kami bertambah, karena saat tiba di counter Cathay, counter-counternya sudah diduduki pengunjukrasa," ungkap Albert saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, sekitar pukul 09.15 WIB, Selasa (13/08).
"Dan di sana tidak ada petugas Cathay," tambahnya.
Di hadapkan ketidakpastian, Albert dan rombongan berusaha mencari informasi tentang kepastian keberangkatan mereka kembali ke Indonesia. Tapi hasilnya nihil. "Ternyata memang tidak ada yang bekerja saat itu," ujarnya.
Walaupun mereka akhirnya memahami kemungkinan penerbangannnya ditunda, rombongan WNI ini masih berharap pada penerbangan sekitar pukul 12 malam. Toh harapan ini juga kandas. "Karena semua penerbangan dicancel seketika."
Mereka kemudian memutuskan ke Terminal Dua dengan asumsi bahwa lokasi itu lebih sepi dan tidak dijangkau pengunjukrasa.
"Di sana kita duduk-duduk dan berusaha kontak KJRI. Dan mereka tanggap dan langsung datang," jelasnya. Mereka kemudian 'diamankan', diberi makanan dan dijemput untuk dilarikan ke KJRI.
Setelah tertahan di bandara Hong Kong sejak pukul empat sore, mereka akhirnya meninggalkannya sekitar pukul 23.00 waktu setempat. "Jadi kita terjebak lebih dari lima jam."
'Sempat kesulitan berkomunikasi dengan keluarga di Jakarta'
Sementara itu, Gama Hakim, 28 tahun, official PPLM (Pusat Pendidikan Pelatihan Mahasiswa) Swimming team, Dinas Olah raga Pemprov DKI Jakarta, mengaku sempat "panik" saat menyaksikan kehadiran ribuan orang pengunjukrasa pro-demokrai yang memblokade bandara.
"Kita enggak bisa kemana-mana, terus semua petugas tidak ada," ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Selasa pagi.
Apalagi, mereka kesulitan berkomunikasi dengan otoritas bandara untuk menanyakan kepastian penerbangannya.
"Mereka tidak bisa memberikan jawaban, selain bilang 'I don't know'," jelasnya.
Gama juga mengaku menghubungi keluarganya di Jakarta untuk menjelaskan situasi, namun dia sempat kesulitan berhubungan lantaran sinyalnya sempat hilang.
"Keluarga saya sempat panik, karena kesulitan kontak saya," akunya.
Dia mengaku khawatir terjadi bentroikan antara pengunjukrasa dan polisi.
"Kita khawatir polisi enggak pandang bulu," katanya
Sementara itu, Gama Hakim, 28 tahun, official PPLM (Pusat Pendidikan Pelatihan Mahasiswa) Swimming team, Dinas Olah raga Pemprov DKI Jakarta, mengaku sempat "panik" saat menyaksikan kehadiran ribuan orang pengunjukrasa pro-demokrai yang memblokade bandara.
"Kita enggak bisa kemana-mana, terus semua petugas tidak ada," ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Selasa pagi.
Apalagi, mereka kesulitan berkomunikasi dengan otoritas bandara untuk menanyakan kepastian penerbangannya.
"Mereka tidak bisa memberikan jawaban, selain bilang 'I don't know'," jelasnya.
Gama juga mengaku menghubungi keluarganya di Jakarta untuk menjelaskan situasi, namun dia sempat kesulitan berhubungan lantaran sinyalnya sempat hilang.
"Keluarga saya sempat panik, karena kesulitan kontak saya," akunya.
Dia mengaku khawatir terjadi bentroikan antara pengunjukrasa dan polisi.
"Kita khawatir polisi enggak pandang bulu," katanya
Apakah China bisa campur tangan secara militer dan politik?
Kekacauan di Hong Kong kini memasuki pekan ke-11, kekerasan semakin sering terjadi dan demonstrasi menyebabkan gangguan.
Pemerintah China mengecam keras pengunjuk rasa, tetapi banyak kalangan bertanya-tanya apakah pemerintah negara itu akhirnya nanti kehilangan kesabaran dan mengambil tindakan lebih langsung.
- 'Mogok massal' di Hong Kong sebabkan kekacauan transportasi, 200 penerbangan dibatalkan
- Pemerintah China peringatkan pengunjuk rasa Hong Kong agar tidak 'bermain api'
- Unjuk rasa Hong Kong: Massa pendemo kembali duduki bandara, rombongan WNI 'berhasil lolos'
Opsi hukum apa saja yang dimiliki Beijing untuk campur tangan? Berikut tiga hal penting.
Apakah China dapat mengirimkan militernya?
Hukum Dasar - konstitusi mini daerah administratif khusus Hong Kong yang berlaku sejak Inggris menyerahkan wilayah itu kepada China pada tahun 1997 - sangat jelas. Intervensi militer China hanya dapat dilakukan jika diminta oleh pemerintah Hong Kong, dan untuk tujuan "menjaga ketertiban umum dan penanganan bencana".
Sebagian besar analis berpendapat opsi itu hampir tidak mungkin akan ditempuh, bahkan oleh pemerintah yang sangar pro-Beijing sekali pun.
Foto-foto tentang pasukan China berbaris di Hong Kong dan menumpas protes prodemokrasi, sekali pun tidak sampai menggunakan kekuatan yang mematikan, merupakan bencana bagi reputasi wilayah tersebut, mengacaukan perekonomiannya dan menimbulkan kemarahan internasional.
Tentara Pembebasan China menempatkan sekitar 5.000 personel di Hong Kong sejak penyerahan wilayah ke pangkuan China.
Adam Ni, peneliti masalah China di Universitas Macquarie, Australia, menjelaskan kepada BBC bahwa Garnisun Hong Kong "lumayan tak menonjol" dan pada umumnya "sebagai kehadiran simbolis dari kedaulatan China".
Namun pada tanggal 31 Juli, garnisun tersebut mengeluarkan video yang antara lain berisi rekaman tentara - dalam bahasa Kanton - meneriakkan -"semua akibatnya adalah tanggung jawab Anda sendiri". Tampak pula tentara bergerak maju ke arah demonstran, dan rekaman yang memperlihatkan polisi membawa spanduk bertuliskan "Berhentilah menyerang atau kami akan menggunakan kekuatan".
Peringatan seperti itu biasa digunakan oleh kepolisian Hong Kong ketika menangani kekacauan.
Langkah itu dimaknai sebagai peringatan bahwa China dapat saja melakukan intervensi, jika diminta. Peneliti madya di Lowy Institute, Sydney, mengatakan kepada AFP bahwa China tampaknya menggunakan ancaman campur tangan itu "sebagai upaya menakut-nakuti pemrotes".
Apakah China dapat campur tangan secara politik?
China bisa dibilang telah melakukan sejumlah intervensi politik dan hal itulah yang menjadi pendorong utama aksi-aksi protes belakangan ini.
Parlemen Hong Kong atau Dewan Legislatif condong memihak Beijing dan pada tahun 2017, meskipun terjadi protes besar, disahkan undang-undang yang menetapkan bahwa calon pemimpin eksekutif harus disetujui terlebih dulu oleh komite pro-Beijing. Pemenangnya, yang juga harus disetujui oleh pemerintah pusat Beijing, memilih orang-orang yang duduk sebagai menteri.
Carrie Lam dipilih pada tahun 2017, dan dia lah sosok yang mengusulkan rancangan undang-undang ekstradisi yang menyulut aksi protes dan menjadikan dirinya sebagai sasaran kemarahan. RUU ekstradisi itu telah ditangguhkan sampai waktu yang tidak ditentukan.
Profesor Dixon Ming Sing dari University of Science and Technology di Hong Kong mengatakan Beijing telah "berusaha keras untuk menunjukkan kekuasaannya... dengan tegas menolak pengunduran diri Carrie Lam dan menolaknya menarik resmi RUU".
"Jika Beijing menghendakinya mundur, apakah hal itu bisa dilakukan? Tentu saja," katanya.
"Tetapi saya pikir Beijing tidak ingin melakukan itu karena ingin menunjukkan bahwa pihaknya tidak bisa disetir oleh opini umum."
Tentu saja, sekali pun Carrie Lam benar-benar mundur, penggantinya juga harus mendapat dukungan dari Beijing.
Apakah China dapat menyasar para aktivis?
Gelombang protes dipicu oleh RUU Ekstradisi, yang oleh kritikus dikhawatirkan dapat digunakan oleh China untuk menyiduk aktivis politik dan membawanya ke China. Di bawah sistem peradilan negara itu, mereka hampir dipastikan dinyatakan bersalah.
Carrie Lam mengatakan rancangan undang-undang itu sekarang sudah mati, tetapi tanpa produk itu pun, sejauh ini sudah banyak pemberitaan tentang China mengabaikan peraturan-peraturan seperti itu untuk menahan warga Hong Kong.
Salah satu kasus yang paling dikenal adalah kasus Gui Minhai, yang mengelola toko buku di Hong Kong. Tokonya menjual buku-buku yang kritis terhadap pemerintah China. Gui Minhai hilang di Thailand pada tahun 2015, tetapi ia kemudian muncul di China. Di sana ia ditahan terkait dengan kecelakaan mobil yang fatal pada tahun 2003.
Pengadilan China menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun. Ia akhirnya dibebaskan pada tahun 2017 tetapi diduga ditangkap lagi satu tahun kemudian ketika menumpang kereta di China. Hingga kini tidak diketahui bagaimana nasibnya.
Meskipun aktivis-aktivis itu sendiri tidak takut ditangkap, sebagian dari mereka mungkin mencemaskan akibatnya bagi anggota keluarga mereka yang berada di China.
Namun demikian, walaupun terdapat ketakutan akan adanya campur tangan langsung di Hong Kong, cara Beijing yang paling ampuh untuk meredam kekacauan kemungkinan adalah cara halus tetapi manjur - menyasar perekonomian.
Hong Kong adalah pusat ekonomi, dan tetap menyandang predikat itu sejak penyerahan wilayah dari Inggris ke pemerintah China, antara lain disebabkan karena status khususnya yang tetap dipertahankan. Tetapi kota-kota di wilayah China daratan seperti Shenzhen dan Shanghai, berhasil mengikuti jejak Hong Kong sejak 1997.
Jika Hong Kong terus menantang kewenangan Beijing, pemerintah lebih lanjut dapat mengalihkan investasi dan perdagangan ke China daratan, sehingga menekan perekonomian Hong Kong dan membuat wilayah tersebut bergantung pada niat baik Beijing.
Lima hal yang perlu Anda ketahui tentang protes menentang RUU ekstradisi ke China
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, mengatakan dirinya tidak akan mencabut rancangan undang-undang yang memungkinkan seorang tersangka diekstradisi ke China, walau terjadi unjuk rasa besar-besaran.
Kepada para wartawan, Lam berkeras RUU tersebut diperlukan dan langkah-langkah pelindung hak asasi manusia telah dicantumkan.
RUU itu juga tidak akan menggerus kebebasan-kebebasan khusus yang dinikmati warga Hong Kong.
"RUU itu bukan atas inisiatif Beijing," kata Lam pada Senin (10/6), seraya menjelaskan RUU tersebut diusulkan atas dasar "nurani" dan "komitmen untuk Hong Kong".
Pemerintah Hong Kong berencana menggulirkan pembahasan kedua terhadap RUU tersebut, pada Rabu (12/6).
- Unjuk rasa Hong Kong: 'Lebih satu juta orang' menentang undang-undang ekstradisi ke China
- Aktivis pro-demokrasi Hong Kong diadili atas unjuk rasa tahun 2014 yang 'mengganggu publik'
- Sembilan pegiat Hong Kong akan didakwa terkait unjuk rasa 2014
Sehari sebelumnya, penyelenggara unjuk rasa mengklaim ada satu juta demonstran, yang menjadikannya sebagai protes terbesar dalam lebih dari 20 tahun. Namun, polisi mengatakan terdapat 240.000 orang pada puncak demonstrasi.
Setelah unjuk rasa berakhir, bentrokan meletus antara ratusan demonstran dan polisi.
Media pemerintah China menuding "kekuatan-kekuatan asing" berada di balik unjuk rasa.
Dalam editorialnya, China Daily berargumen bahwa "sejumlah warga Hong Kong ditipu oleh kubu oposisi dan sekutu-sekutu asing mereka guna mendukung kampanye anti-ekstradisi".
Surat kabar itu menekankan, "orang yang berakal sehat manapun" akan mendukung RUU ini "demi menutup celah hukum dan mencegah Hong Kong menjadi tempat perlindungan para kriminal".
Para pengunjuk rasa, beberapa mengenakan masker, mencoba masuk ke kompleks Dewan Legislatif seraya melemparkan penghalang kendali kerumunan di sekitar. Polisi, dalam perlengkapan antihuru-hara, merespons dengan menggunakan tongkat dan semprotan merica.
Beberapa wajah pengunjuk rasa dan polisi terlihat berlumuran darah.
Para pengkritik RUU itu mengatakan mereka yang berada di teritori bekas jajahan Inggris itu terpaksa mengikuti sistem peradilan China 'yang sangat cacat', dan itu akan menggerus independensi peradilan Hong Kong.
Tetapi para pendukung RUU berdalih beberapa perlindungan diterapkan untuk mencegah siapa pun yang menghadapi persekusi agama atau politik diekstradisi ke daratan China, dan bahwa rancangan undang-undang ini akan menutup celah sistem peradilan.
Bagaimana protes itu berlangsung?
Selama beberapa jam pada hari Minggu (09/06) waktu setempat, para pengunjuk rasa berbaris di tengah panas terik berpakaian putih, dalam sebuah demonstrasi damai yang mencakup banyak orang - mulai dari pengusaha dan pengacara hingga mahasiswa, tokoh-tokoh pro-demokrasi, dan kelompok-kelompok agama.
Banyak yang membawa spanduk bertuliskan, "Hapus hukum yang jahat!" dan "Menentang ekstradisi Tiongkok!".
Angka-angka yang diberikan oleh penyelenggara dan polisi berbeda-beda karena berbagai metode yang mereka gunakan untuk menghitung kerumunan. Penyelenggara unjuk rasa memperkirakan jumlah keseluruhan, polisi melihat berapa banyak orang yang dikumpulkan pada puncak aksi demo.
Jika jumlah perkiraan penyelenggara dikonfirmasi sebagai benar, protes itu adalah yang terbesar di Hong Kong sejak wilayah itu diserahkan ke China pada tahun 1997.
Unjuk rasa itu dipandang sebagai teguran besar dari pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, yang mendesak amandemen itu disahkan sebelum Juli.
"Ini adalah pertandingan akhir bagi Hong Kong, ini adalah masalah hidup atau mati. Itulah sebabnya saya datang," ujar Rocky Chang, seorang profesor berusia 59 tahun, kepada kantor berita Reuters.
"Suara orang-orang tidak didengar," kata mahasiswa berusia 18 tahun Ivan Wong kepada kantor berita AFP.
"Perubahan undang-undang ini tidak hanya akan mempengaruhi reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional, tetapi juga sistem peradilan kami. Itu berdampak pada masa depan saya."
Menanggapi protes tersebut, seorang juru bicara pemerintah mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa undang-undang itu "didasarkan pada aturan hukum" dan bahwa pembahasan kedua perubahan undang-undang di Dewan Legislatif akan dilanjutkan pada hari Rabu.
Unjuk rasa terbesar setelah Hong Kong diserahkan ke China
Martin Yip, BBC Chinese, Hong Kong
Unjuk rasa ini disebut sebagai yang terbesar di Hong Kong, tidak hanya sejak Gerakan Payung pada tahun 2014, tetapi sejak serah terima Hong Kong ke Beijing pada tahun 1997.
Gerakan pro-demokrasi Hong Kong mendapat pukulan telak sejak Gerakan Payung karena pengunjuk rasa gagal mendapatkan konsesi setelah menempati jantung kota selama 79 hari.
Angka-angka pada unjuk rasa terakhir pasti akan meningkatkan moral kelompok pro-demokrasi, tetapi banyak pengunjuk rasa tidak optimis bahwa pemerintah akan mundur sekarang. Bagaimanapun, partai-partai pro-Beijing menjadi mayoritas di legislatif.
Namun bentrokan yang terjadi kemudian menunjukkan beberapa masih tidak percaya politik arus utama.
Bersamaan dengan berakhirnya unjuk rasa, pemerintah bersikeras akan melanjutkan pembahasan kedua perubahan undang-undang tersebut. Akankah bentrokan mengubah pikiran pemerintah? Mundur? Menjadi lebih keras? Kita lihat saja nanti.
Apa saja perubahan yang diajukan?
RUU tersebut akan memungkinkan pihak berwenang di China daratan, Taiwan, dan Makau mengekstradisi tersangka yang dituduh melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan.
Permintaan kemudian akan diputuskan berdasarkan kasus per kasus.
Para pejabat Hong Kong mengatakan pengadilan Hong Kong akan memiliki keputusan akhir mengenai apakah akan memberikan permintaan ekstradisi seperti itu, dan tersangka yang dituduh melakukan kejahatan politik dan agama tidak akan diekstradisi.
Pemerintah telah berusaha meyakinkan masyarakat dengan beberapa konsesi, termasuk berjanji untuk hanya menyerahkan buronan pelanggaran yang membawa hukuman maksimum setidaknya tujuh tahun.
Masyarakat banyak yang menentang kebijakan ini dan kritikus mengatakan orang-orang akan dikenakan penahanan sewenang-wenang, peradilan yang tidak adil, dan penyiksaan di bawah sistem peradilan Tiongkok.
Mengapa berubah sekarang?
Rancangan undang-undang terbaru mengemuka setelah seorang pria Hong Kong berusia 19 tahun diduga membunuh pacarnya yang berusia 20 tahun saat mereka berlibur di Taiwan bersama pada Februari tahun lalu. Pria itu melarikan diri dari Taiwan dan kembali ke Hong Kong tahun lalu.
Para pejabat Taiwan telah meminta bantuan dari otoritas Hong Kong untuk mengekstradisi pria itu, tetapi para pejabat Hong Kong mengatakan mereka tidak dapat mematuhinya karena kurangnya perjanjian ekstradisi dengan Taiwan.
Tetapi pemerintah Taiwan mengatakan tidak akan berupaya mengekstradisi tersangka pembunuhan di bawah perubahan yang diusulkan, dan mendesak Hong Kong untuk menangani kasus ini secara terpisah.
Bukankah Hong Kong di bawah pemerintahan China?
Sebagai mantan koloni Inggris, Hong Kong semi-otonom dengan prinsip "satu negara, dua sistem" setelah kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997.
Kota ini memiliki undang-undang sendiri dan penduduknya menikmati kebebasan sipil yang tidak tersedia bagi rekan senegara mereka di China daratan.
Hong Kong telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan 20 negara, termasuk Inggris dan AS, tetapi tidak ada perjanjian seperti itu dengan China daratan meskipun negosiasi sedang berlangsung dalam dua dekade terakhir.
Para pengkritik mengaitkan rancangan undang-undang tersebut dengan perlindungan hukum yang buruk bagi para terdakwa berdasarkan hukum China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar