Eddy meraih gelar doktor dalam waktu 2 tahun 20 hari
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Jakarta, IDN Times - Nama Edward Omar Sharif atau akrab disapa Eddy Hiariej menjadi sorotan dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Saksi ahli TKN tersebut menjawab dengan lugas pertanyaan Ketua Tim Kuasa Hukum BPN, Bambang Widjojanto, tentang keahlian yang dimilikinya. Eddy menyampaikan hal tersebut dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jumat (21/6).
"Kalau Anda tanya berapa bukti, saya sudah kasih CV. Kalau saya sebutkan poin 1-200, sidang ini selesai," kata Eddy dalam ruang sidang.
Eddy menyampaikan, soal keahlian bukan hanya bukti yang harus diutamakan. Baginya, kualitas harus menjadi prioritas utama untuk pembuktian.
Eddy juga memamerkan buku-buku yang pernah ia tulis. Salah satunya tentang hukum pembuktian.
Eddy juga memamerkan buku-buku yang pernah ia tulis. Salah satunya tentang hukum pembuktian.
"Saya menulis pelanggaran berat HAM, penghantar pelanggaran internasional. Saya lebih mengerti hukum pembuktian," ucap Eddy.
1. Eddy menjadi Guru Besar Hukum Pidana UGM di usia muda
Dikutip dari laman hukumonline.com, Eddy merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Ia meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda.
Sebagai perbandingan, bila Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun, Eddy mendapatkan gelar profesornya di usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tutur pria kelahiran 10 April 1973 ini.
Eddy mengatakan, gelar profesor yang dia raih di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuh dalam waktu lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain.
“Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.
2. Eddy menulis disertasi soal pelanggaran berat HAM
Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007 itu menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008. Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM).
Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo–sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu–dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.
“Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009. 2 tahun 20 hari, dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” kenang Eddy.
3. Pernah gagal masuk Fakultas Hukum UGM
LANJUTKAN MEMBACA ARTIKEL DI BAWAH
Editor’s Picks
Keinginan dan ketertarikannya akan dunia hukum rupanya sudah dimiliki Eddy sejak lama, walaupun ia mengaku tak ingat sejak kapan. “Kalau saya lihat karakteristikmu, cara kamu berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa,” ucap Eddy menirukan ucapan almarhum ayahnya.
Meski jadi jaksa bukanlah amanah, tetapi di akhir hayatnya ayah Eddy kembali mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara bila benar ingin masuk fakultas hukum. Pesan itu disampaikannya ayahnya saat itu Eddy masih duduk di bangku SMA.
“Mungkin dia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti orang yang salah dan saya bela bisa bebas. Itu juga mengapa dia bilang saya untuk jadi jaksa. Ya saya kaget juga waktu itu,” ungkap pria berdarah Ambon ini.
Namun, jalan Eddy untuk bisa masuk FH UGM nyatanya tak semulus itu. Di tahun 1992, begitu lulus SMA, Eddy tidak langsung lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). “Saya setahun itu gagal loh masuk Gadjah Mada itu. Jadi tahun 1992 saya tes UMPTN tidak masuk,” ujarnya.
“Saya stres tuh enam bulan. (Karena) saya stres, saya liburan ke mana-mana aja udah. Terus enam bulan kemudian, mulai Desember, saya betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Baru lah kemudian saya lolos, masuk FH UGM,” kata pemilik hobi olahraga tenis, renang, dan juga membaca ini.
4. Eddy diminta menjadi dosen UGM
Di semester lima, Prof. Maria Soemardjono--Dekan FH UGM kala itu–lah yang pertama kali mencetuskan agar Eddy menjadi dosen. Hubungan Eddy dan Prof. Maria diakui Eddy memang sangat dekat sampai-sampai orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria.
Faktanya bagi Eddy, Prof. Maria memang merupakan pakar hukum yang menjadi panutannya. “Dia ngomong apa saja bisa karena dia kan mempunyai background pendidikan yang memang berbeda-beda. Selain itu di usianya yang sudah 72 tahun dia masih saja menerbitkan buku dan masih melakukan penelitian di lapangan,” ucap Eddy.
Satu ketika Prof. Maria mengatakan kepada Eddy, “kamu habis ini mau ke mana?”. Karena saat itu Eddy juga menjawab belum tahu akan ke mana, Prof. Maria menyarankan agar Eddy menjadi dosen di UGM. Eddy sendiri berpengalaman menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar di Yogyakarta.
Pasca wisuda program sarjana yang digelar 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. “6 Desember 1998 pengumuman dan saya diterima. Mulai 6 Desember itu saya sudah asisten sampai SK saya turun 1 Maret 1999,” papar Eddy.
Eddy yang akhirnya lebih memilih menjadi dosen ketimbang jaksa mengatakan senang menjadi dosen karena ia dapat banyak berinteraksi dengan orang, senang karena mau tidak mau ia harus terus belajar dan belajar, dan ia juga senang bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa.
“Yang keempat, katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy seraya tersenyum.
5. Nama Eddy sempat jadi trending topic di Twitter
Dalam sidang MK beberapa waktu lalu, nama Eddy sempat menjadi trending topic di Twitter dengan tagar #ProfEddy. Banyak warganet yang mengelu-elukannya lantaran Eddy begitu lihai menjawab semua pertanyaan yang diajukan.
"Gara-gara nonton Prof Eddy di sidang MK, saya posting pesan Gus Dur yang dikutip Prof Eddy 'Kalau beda pendapat cukup di kerongkongan, jangan sampai di hati,'" Pesan sangat berarti bagi saya. #ProfEddy," kata pemilik akun @Mr_RonyRaj
"Juaranya memang. Beberapa pertanyaan Prof Eddy jawab dengan baik sebaik-baiknya, dari kuasa hukum 02, dan beberapa hakim. Ternyata #profEddy #petarungsejati di dalam MK," kata @AriaRahmanPutra.
Kapan Sidang Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2019?
Minggu, 23 Juni 2019 – 00:45 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Majelis Hakim Konstitusi harus membacakan putusan sengketa hasil Pilpres 2019 paling lambat 28 Juni mendatang. Diketahui, sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli berakhir Jumat (21/6) malam.
Sepanjang pekan depan, hakim melanjutkan pemeriksaan bukti-bukti dan melaksanakan rapat permusyawaratan hakim secara tertutup. Paling lambat, pada 28 Juni mendatang putusan harus sudah dibacakan secara terbuka.
Ketua tim kuasa hukum paslon 02 Bambang Widjojanto mengungkapkan, pihaknya memiliki harapan besar kepada MK. ”Kami berharap mahkamah ini bisa menelurkan, melahirkan satu progresivitas,’’ terangnya di MK.
Menurut dia, progresivitas berbasis pada tiga hal. Pertama adalah pandangan yang jauh ke depan. ”Orang yang hebat itu adalah yang mampu menyelesaikan problem hari ini dengan solusi dari masa depan yang dihadirkan pada hari ini,’’ lanjutnya.
Kedua, MK keluar dengan satu gagasan baru yang secara teknis mampu menyelesaikan persoalan yang muncul. Bukan sekadar paradigma. Terakhir, MK diharapkan membuat putusan yang bukan sekadar menang dan kalah. Namun putusan yang membuat semua pihak lega.
’’Jadi win-win gitu lho,’’ tutur mantan wakil ketua KPK itu. Tentu saja dengan disertai penjelasan yang pas dan dapat diterima masyarakat.
Sementara itu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan menuturkan, selama persidangan, pihaknya sudah berupaya mementahkan dalil-dalil pemohon. Mengingat, pihaknyalah yang menjadi termohon.
Meski pada perspektif tertentu kadang ada persamaan kepentingan antara KPU dan pihak terkait, pihaknya keberatan bila disebut sebagai bagian dari pihak terkait.
Harapan KPU sudah tertuang di dalam permohonan yang diajukan ke MK. Yakni, majelis hakim menolak seluruh permohonan pemohon. ’’Kenapa begitu, kan kami harus membela keputusan KPU sendiri,’’ lanjutnya. Meski demikian, tetap saja semua pihak termasuk KPU harus menerima apa pun yang diputuskan MK nanti.
Secara keseluruhan, hakim telah mendengar kesaksian 16 saksi fakta, pendapat lima ahli, dan satu keterangan tertulis ahli. Baik dari kubu paslon 02, KPU, kubu 01, plus keterangan Bawaslu. Sepanjang hari kemarin, MK meminta keterangan dua saksi dan dua ahli dari paslon 01. (byu/c17/fat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar